Jumat, 20 Desember 2013

Yang Berjasa, Yang Terlupakan (Bagian 3): Syekh Jalaluddin al-Kisa’i Sungai Landai, Agam.

Oleh: al-Faqir Apria Putra

Ulama-ulama yang kita tulis ini, meskipun tercatat dalam lembaran sejarah, namun sayang hanya segelintir kecil diantara kita yang mengenal, dan masih mengenang jasa beliau-beliau tersebut. Padahal, bila ditinjau dimasa-masa silam, ulama-ulama ini menjadi tumpuan ilmu pengetahuan Islam, selalu menjadi teladan. Meski mereka telah lama tiada, mereka tetap dipanuti, makamnya tetap diziarahi sebagai bentuk ta’zhim kepada ulama-ulama yang berjasa terhadap Islam di Minangkabau. Tulisan bersambung ini dilansir sebagai pengingat bagi kita, generasi penerus, untuk mengenal serta meneladani, hingga mempererat tali rohani dengan ulama-ulama Minangkabau di masa yang lampau itu.

Syekh Jalaluddin Sungai Landai ialah salah seorang ulama besar Luak Agam. Ia hidup pada paruh kedua abad 19 hingga awal abad 20. Mengenai riwayat intelektualnya belum diketahui dengan pasti, namun ia mempunyai peran signifikan dalam jaringan ulama Minangkabau pada periode tersebut. Laqab (gelar) al-Kisa’i dibelakang namanya memberikan indikasi bahwa beliau ialah salah seorang yang ‘alim dalam ilmu al-Qur’an dan juga seorang hafizh. Al-Kisa’i adalah laqab seorang ulama ahli Qira’at yang masyhur. Gelar yang sama juga dimiliki oleh datuk Buya Hamka sendiri, yaitu Syekh Amarullah Tuanku Kisa’i, yang hafal al-Qur’an.

Di antara peran Syekh Sungai Landai ini ialah menjadi “adviseur” dari perkumpulan “Ittihad Ulama Sumatera”, sebuah wadah persatuan ulama-ulama Minangkabau di awal abad 20. Di dalam Majalah al-Mizan, Th. 1916 No. 25 (terbitan Syarikat al-Ihsan, Maninjau) disebutkan susunan kepengurusan Ittihad Ulama Sumatera 1916, bahwa Syekh Sungai Landai bersama dengan ulama-ulama lain seumpama Syekh Bayang Padang, Syekh Khatib ‘Ali Padang, Syekh Abdul Manaf Lantai Batu, Syekh Abdullah Halaban, Syekh Muhammad Jamil Pariaman, Syekh Sutan Ibrahim Parabek dan Syekh Sutan Banten Bukittinggi bersama-sama memajukan perkumpulan Ittihad Ulama Sumatera tersebut. Dalam daftar pengurus itu disebutkan nama Syekh Sutan Kisa’i Sungai Landai.

Salah seorang murid Syekh Jalaluddin yang dapat diketahui ialah Syekh Ibrahim Musa Parabek (1882-1963), ulama besar pendiri Perguruan Thawalib Parabek.

Kitab Karangan Syekh Sungai Landai


Satu diantara karya Syekh Sungai Landai ialah sebuah risalah mengenai Rukun Islam dan Rukun Iman, berjudul “Risalah Rukun Syarat Sembahayang dan Rukun Iman serta dengan Akidah Iman.” Karya ini, sebagai yang tertera pada judul, berisi tentang hal ihwal Rukun Islam yang mencakup kewajiban syari’at, yaitu perkara bersuci, shalat, zakat dan haji. Pembahasan syari’at ini kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tentang Akidah Iman, yaitu mengenai sifat-sifat yang wajib bagi Allah yaitu sifat 20. pembahasan dalam term akidah ini cukup runtun yang agak terperinci.

Satu kutipan dari karya ini, yang menjabarkan tentang mustahilnya istilah Duur dan Tasasul dalam ilmu Tauhid sebagai berikut:
Bermula makna berlingkar-lingkar [duur. Pen] yaitu berganti-ganti seperti bertiga atau berempat atau lebih, dan berganti-ganti semuanya mengadakan dirinya dengan berlingkar-lingkar maka yaitu mustahil karena jadi daripada demikian itu orang yang kemudian menjadikan akan orang yang dahulu daripadanya.


Foto: Risalah Rukun Syarat Sembahyang karya Syekh Jalaluddin Sungai Landai

Cetakan ketiga karya ini dicetak atas nafkah HMS. Sulaiman. Dicetak pada Mathba’ah Islamiyah Fort de Kock, tanpa menyertakan tahun.

Mesjid dan Makam Syekh Sungai Landai

Mesjid Syekh Jalaluddin Sungai Landai terletak diketinggian, di kaki Gunung Singgalang yang cukup asri. Mesjid itu telah dipugar dengan gaya modern. Sedangkan makam Syekh Sungai Landai tak jauh dari Mesjid ini. Pada makam itu terdapat inskripsi yang sudah memudar oleh masa.


Foto: Mesjid Syekh Jalaluddin Sungai Landai, Agam.


Foto: Makam Syekh Jalaluddin Sungai Landai

Al-Fatihah...

Al-Faqir al-Haqir Apria Putra.

Minggu, 10 November 2013

Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan Matematika

Oleh: al-faqir al-Haqir Apria Putra

Senin, 4 November 2013, Pemda Sumatera Barat mengadakan sebuah seminar bertajuk “Seabad Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi”. Seminar tersebut berlangsung di Pangeran Beach Hotel, Padang, dihadiri oleh berbagai pakar Islam Minangkabau, cendikiawan, akademisi dan tak ketinggalan alim ulama. Seketika mendapat kabar tentang seminar ini, saya cukup bergembira. Ternyata ulama besar Minangkabau yang telah didendangkan berpuluh-puluh tahun oleh para cendikiawan masa silam telah mulai dilirik oleh pemerintah daerah. Sebuah kesadaran untuk menghargai orang besar negeri ini, bukan sekedar ulama oposan, lebih dari itu ialah ulama internasional yang menghabiskan umurnya di Mekah sambil mendidik kader-kader ulama untuk dunia Melayu. Tak tanggung-tanggung, seminar itu menghadirkan 4 cendikiawan Minang sendiri, yaitu Prof. Azyumardi Azra, Prof. Mafri Amir, Dr. Putra Eka Wirman dan terakhir Yasrul Huda, Ph.D. Besar hati kita dengan terlaksanakan seminar tersebut. Terobat sudah penantian perhatian pemerintah buat ulama-ulama besar Minangkabau. Karena saya berhalangan untuk hadir pada seminar itu, saya ambil pena, saya tulis perihal Ulama besar Minangkabau ini. Hal ini sebagai pelengkap terhadap penelitian yang ada, tersebab saya telah lama melirik-lirik ulama besar ini, mengumpulkan peninggalan-peninggalan tangannya, sudah sepatutnya pula memberikan sedikit dari secuil pengetahuan tentang beliau ini. Semoga bermanfaat kiranya.

Biografi Ringkas

Berdasarkan penyelidikan sepintas saya, tokoh pertama yang menulis panjang lebar mengenai ketokohan dan dedikasi Syekh Ahmad Khatib ini ialah al-marhum Buya Hamka. Beliau menulis perihal Syekh Ahmad Khatib pertama sekali dalam bukunya “Sejarah Islam di Minangkabau” (1938), yang kemudian diuraikan secara lebih detail dalam buku “Ayahku” (1950), dan lengkapi hingga terbitan terakhir tahun 1981. Selain itu Buya Hamka menulis pula paper untuk Seminar Islam di Padang 1970, dengan topik “Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan Syekh Thaher Jalaluddin”, yang kemudian dimuat dalam “Islam dan Adat Minangkabau” (1982). Selain itu, Abuya Sirajuddin Abbas, ulama Minang yang semasa dengan Buya Hamka, juga menulis dalam “Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i” (1971) dan “Thabaqat Syafi’iyyah” (1978). Tulisan Hamka, tepatnya, kemudian banyak dikutip dan diperluas oleh peneliti-peneliti lainnya seperti Deliar Noer, Akhira Nazwar, Muhammad Sanusi Latief, Burhanuddin Daya, bertali-tali hingga saat ini.

Pada tulisan ini, kita akan mengambil informasi biografinya bukan dari sumber-sumber itu, melainkan dari “Siyar wa Tarajum Ba’d Ulama’ina fi Qarn Rabi’ Asyr Hijri”, yang ditulis oleh Syekh Umar Abdul Jabbar, seorang tokoh pendidik dan sejarawan di Arab Saudi. Sebelumnya perlu kita ketahui bahwa Syekh Ahmad Khatib pernah meninggalkan autobiografi yang ditulisnya sendiri, sayang kabarnya autobigrafi yang masih berbentuk manuskrip itu masih bersemayam di Perpustakaan Leiden, negeri Belanda.

Syekh Umar Abdul Jabbar memulai riwayatnya. Dimasa silam, datanglah salah seorang alim dari Mekah, beliau bernama Abdullah. Beliau menetap di Ampek Angkek, Agam. Karena kealimannya, oleh masyarakat beliau diangkat sebagai Khatib dan dinikahkan dengan gadis setempat. Beliau kemudian dikenal dengan Syekh Abdullah Khatib. Beliau mempunyai seorang anak laki-laki yang juga ‘alim, yaitu Abdullatif. Abdullatif inilah ayah dari Ahmad Khatib muda. Niscaya informasi Umar Abdul Jabbar ini berbeda dengan apa yang disebutkan Hamka dalam “Ayahku”. Hamka menyebutkan bahwa Datuk Syekh Ahmad Khatib merupakan turunan dari pejuang-pejuang Paderi, artinya keturunan orang Minang asli (lihat “Ayahku”, cetakan Umminda, 1982, halaman 271).

Syekh Ahmad Khatib dilahirkan pada hari senin, 6 Dzul Hijjah 1276. Sebelum belajar agama lebih intens, Ahmad Khatib berhadap dengan ayahnya untuk belajar dasar-dasar agama, dan membaca al-Qur’an.

Diwaktu masih belia, umur yang masih kecil, Ahmad Khatib telah dibawa ayahnya ke Mekah, selain menunaikan rukun Islam kelima, tujuan lainnya untuk menuntut ilmu agama di kampung halaman kakeknya. Mekah ketika itu sangat harum sekali sebagai pusat ilmu pengetahuan, disamping sebagai pusat ibadah kaum muslimin.

Di Mekah Syekh Ahmad Khatib menimba ilmu pengetahuan secara mendalam, diantaranya ialah menghafal al-Qur’an. Selain itu Syekh Ahmad Khatib juga belajar bahasa Inggris. Menurut informasi Umar Abdul Jabbar, Syekh Ahmad Khatib selama belajar di Mekah menimba ilmu kepada tiga orang ulama besar ketika itu, yaitu Sayyid Umar Syatha, Sayyid Usman Syatha dan Sayyid Bakri Syatha (Pengarang I’anah al-Thalibin). Beliau hanya menimba ilmu kepada tiga ulama ini. Berkat kesungguhan, keuletan dan kerajian, Syekh Ahmad Khatib dapat menangkap pelajaran dengan sangat baik, dan kemudian mampu memapankan karir ulamanya di Haramain tersebut.

Kecerdasan dan kealimannnya membuat seorang tokoh masyarakat Mekah, Syekh Shaleh Kurdi tertarik. Konon Syekh Shaleh Kurdi seorang pemilik toko kitab di Mekah. Syekh Ahmad Khatib ketika itu selalu Singgah untuk membeli dan membaca kitab. Syekh Ahmad Khatib kemudian diambil menjadi menantu oleh Syekh Shaleh Kurdi.

Setelah lama mengajar dan dikenal luas sebagai seorang yang ‘alim, Syekh Ahmad Khatib kemudian mencapai posisi prestius yaitu menjadi Imam dan Khatib dalam Mazhab Syafi’i di Mesjidil Haram. Hal mana posisi ini belum pernah dipegang oleh orang non-Arab.
Menurut Umar Abdul Jabbar (Siyar wa Tarajum, halaman 41), Syekh Ahmad Khatib meninggalkan 46 karangan dalam berbagai vak keilmuan. Namun sayang, karangan-karangannya tersebut sangat sulit kita dapati saat ini, tidak seperti rekannya sesama ulama, yaitu Syekh Nawawi Banten yang digelari “Sayyid Ulama Hijaz” (Penghulu Ulama Hejaz), yang masih banyak dicetak, dalam dan luar negeri, dan tetap dijadikan buku pokok pelajaran-pelajaran pesantren di dunia Melayu. Hanya ada 1 karangan Syekh Ahmad Khatib yang tetap dicetak ulang, dan menjadi pelajaran satu dua pesantren, yaitu “al-Nafahat ‘ala Syarah Waraqat”, kitab ushul fiqih Mazhab Syafi’i, syarah dari kitab Waraqat karya Imam al-Haramain.

Syekh Ahmad Khatib wafat pada 6 Jumadil Awal 1334 (1916). Beliau meninggalkan murid-murid yang cakap dan kemudian dikenal sebagai ulama-ulama besar dunia Melayu, diantaranya Syekh Sulaiman ar-Rasuli Candung (w. 1971, usia 99 tahun), Syekh Muhammad Jamil Jaho, Syekh Thaher Jalaluddin, Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Abdul Karim Amrullah, Syekh Muhammad Nur “Qadhi Langkat”, Syekh Hasyim Asy’ari (Pendiri NU), Kyai Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), dan lain-lain banyak lagi.

Pribadi yang disalah-tafsirkan


Syekh Ahmad Khatib menjadi kebanggaan sendiri bagi Indonesia, dengan segala kebesaran dan prestasi keulamaannya, sehingga banyak dikalangan akademisi, terutama dari Minangkabau yang mencoba menulis dan mendalami pribadinya. Namun sayang, dari beberapa tulisan, hasil penyelidikan, kita temukan beberapa kesimpulan tentang pribadi dan pemikiran Syekh Ahmad Khatib yang terlalu tergesa-gesa dan acap keliru. Di antara anggapan-anggapan tersebut dinyatakan bahwa Syekh Ahmad Khatib ialah anti taqlid, hal ini sangat keliru. Syekh Ahmad Khatib ialah pemegang teguh Mazhab Syafi’i dan Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy’ari dan Maturidiyyah). Beliaulah tiang tengah Mazhab Syafi’i di Indonesia awal abad 20 itu. Begitu pula murid-muridnya, pemegang teguh Mazhab Syafi’i. Dan itu tergambar dari karya-karya tulisnya yang puluhan banyak itu. Disini tampak para penulis biografi beliau tidak membaca karya-karya itu, kasihan. Bukankah beliau ialah Imam dan Khatib dalam Mazhab Syafi’i? Kita tentu maklum. Hal ini disebabkan oleh keterangan Hamka dalam Ayahku (dalam “Ayahku”, Hamka acap keliru menulis nama kitab karya Syekh Ahmad Khatib), dan karena akademisi Minang yang masih terbawa euforia “Kaum Muda” itu, sebab tentang Syekh Ahmad Khatib belum ada satupun “orang surau” yang menulisnya.

Kesimpulan kedua yang gegabah, ialah menyatakan Syekh Ahmad Khatib penyokong pembaharuan ala “Kaum Muda” atau ala “Wahabi” (sekarang bernama Salafi) di Indonesia. Ini keliru. Sebab Syekh Ahmad Khatib ialah tokoh yang tidak setuju terhadap paham “Muda” dan “Wahabi” itu. Beliau menulis sebuah kitab yang berjudul “al-Khuttah al-Mardhiyyah” sebagai kritik kerasnya terhadap Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim, dan sebagai pertahanan ulama-ulama Mazhab Syafi’i dan Ahlussunnah wal Jama’ah. Sayang, mereka tidak membaca.

Kritik Syekh Ahmad Khatib terhadap Tarekat Naqsyabandiyah yang dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap tradisi, bentuk pembaharuan orientasi Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Lagi-lagi ini keliru. Syekh Ahmad Khatib memang mengkritisi Tarekat Naqsyabandiyah, tapi hanya tertentu pada “Rabithah” (Bukankan Syekh Dr. Al-Buthi sebagai pengamal Tarekat Naqsyabandiyah juga tidak suka dengan Rabithah?). Bila tuan-tuan membaca Izhar dan al-Ayah, dua karangannya, tentu tuan akan mengerti. Kritikan Syekh Ahmad Khatib dibantah oleh ulama-ulama dari berbagai negeri ketika itu, misalnya dari Minangkabau Syekh Muhammad Sa’ad Mungka Payakumbuh, menulis “Irgham Unuf Muta’annitin” dan “Tanbihul Awam” (karangan terakhir tidak dijawab Syekh Ahmad Khatib lagi), Syekh Husein Madinah menulis “al-Suyuf al-Maslulah”, dan Habib Husen al-Attas. Sayang, banyak akademisi yang hanya bercermin dari “sumber kedua”, tidak membaca langsung kitab-kitab tersebut. (Hampir semua kitab-kitab tua itu ada dalam simpanan Kutubkhannah penulis artikel ini, al-Faqir Apria Putra)

Kesimpulan kita, Syekh Ahmad Khatib ialah ulama besar Syafi’yyah di zamannnya, peneguh Ahlussunnah wal Jama’ah. Beliau ialah sosok yang berjiwa tasawuf sebagai mana pendiriannya dalam kitabnya “al-Fath al-Mubin”.
Semoga tuan-tuan membuka mata.

Syekh Ahmad Khatib dan ilmu Matematika

Dalam tulisan ini kita akan melirik salah satu karangan Syekh Ahmad Khatib yang menurut hemat saya cukup mengagumkan. Karangan beliau itu berjudul “Riyadh al-Hussab fi ‘ilm al-Hisab” (cetakan Mathba’ah al-Maimuniyyah, Mesir, 1310 H). Kitab ini merupakan pembahasan panjang lebar mengenai ilmu Matematika. Kitab ini terdiri dari 176 halaman. Pada permulaan kitab ini, Syekh Ahmad Khatib memaparkan alasan penulisan kitab ini. beliau mengemukakan alasan agama, bahwa matematika diperlukan untuk mengukur kiblat, hisab falaki dan pembagian harta pusaka. Oleh sebab itu setiap muslim mesti mengetahuinya, lanjutnya. Selanjutnya, Syekh Ahmad Khatib menyebutkan bahwa guru pertama ilmu Hisab ini ialah Nabi Idris Alaihi Salam.
Pembahasan dalam kitab ini cukup mendalam, apakah trigonometri, logaritma dan lainnya. Kitab ini juga dipenuhi dengan “raqam-raqam” untuk pemudah penuntut ilmu.


Foto: Halaman depan Riyadh al-Hussab


Foto: Halaman pertaman kitab Riyadh al-Hussab


Foto: Halaman Riyadh al-Hussab yang dipenuhi raqam Matematika


Foto: Halaman Riyadh al-Hussab yang dipenuhi raqam Matematika

Ini sebuah karya, yang menurut saya dapat dikategorikan sebagai sains dari seorang ulama tradisional, yang hidup dan mengembangkan diri di lingkungan Madrasah.

Murid yang mahir “hitung-hitungan”

Matematika dalam kajian agama merupakan sesuatu yang sangat penting. Beberapa vak keilmuan yang urgen hanya bisa dikuasai dengan kemahiran hitungan-hitungan, seperti Ilmu Faraidh dan Ilmu Falak. Oleh karenanya, para ulama dalam konteks khusus, dapat dikatakan sebagai saintis Matematika. Seperti itu pula yang diusahakan oleh Syekh Ahmad Khatib dengan penulisan kitab-kitab bidang Matematika.
Salah seorang murid Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang mewarisi ilmu Hitung-hitung ini ialah Syekh Abdul Karim Amrullah, atau Haji Rasul. Dalam salah satu tulisan tangannya, ia pernah mengukur perjalanan seseorang dari suatu tempat ke tempat lainnya, dalam berapa menit, berapa panjang jaraknya.


Foto: Tulisan tangan hasil hitung-hitungan Syekh Abdul Karim Amrullah Maninjau

Ciputat, Jakarta. Awal November 2013.
Al-Faqir Apria Putra.

Jumat, 25 Oktober 2013

Syekh Muhammad Thayyib Umar Sungayang: Ulama Besar Ahlussunnah wal Jama’ah dari Fort van der Capellen

oleh: al-faqir al-haqir Apria Putra

Artikel ini ditulis secara ringkas, tidak dimaksudkan untuk berpanjang-panjang bicara; namun sekedar usaha kecil untuk pelurus riwayat mengenai ulama kami al-Marhum Syekh Muhammad Thayyib bin Umar bin Abdul Qadir Sungayang, Batusangkar, yang disebut-sebut sementara orang sebagai “Ulama Kaum Muda” dan “Ulama Wahabi” yang menganut mazhab Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan Muhammad bin Abdil Wahhab an-Najdi.

Siapa tak kenal dengan Syekh Thayyib Umar Sungayang. Ulama besar yang mempunyai nama yang harum dikalangan orang Siak (baca: santri) di Minangkabau di awal abad 20. Salah seorang muridnya yang terkemuka ialah Prof. Mahmud Yunus, ulama dan tokoh pendidikan Islam Indonesia. Demikian harumnya, sampai-sampai generasi muda saat ini tetap mengenal namanya, bahkan diabadikan menjadi salah satu nama pesantren Modern, yaitu Pesantren Syekh Muhammad Thayyib Umar yang disokong oleh alumni-alumni Mesir masa kini.

Kenal nama, tentu kita kenal “Syekh Thayyib Umar Sungayang”. Namun mengenal pribadi secara mendalam, kita belum tentu tahu. Sekedar membuka-buka masa silam yang penuh kegemilangan, kita singkap riwayat ringkas beliau ini; untuk pengingat, untuk mempahamkan kita bagaimana sebenarnya jalan agama di ranah Minangkabau ini.

Riwayat rngkas mengenai Syekh Muhammad Thayyib Umar Sungayang pertama kali disitir oleh Hamka dalam buku “Ayahku”, riwayat itu ringkas, tak memuaskan hati. Dari tulisan Hamka, kita mengenal sosok Syekh Thayyib sebagai konco Haji Rasul. Riwayat yang agak lekap dan lebih kita percayai ditulis oleh Prof. Mahmud Yunus, murid kesayangan Syekh Thayyib Umar sendiri. Beliau menulis riwayat gurunya itu dalam “Sejarah Pendidikan Islam di Minangkabau”. Selanjutnya riwayat hidup beliau ditulis oleh Tim Islamic Centre Sumatera Barat pada tahun 1981, dikompilasi dalam buku “Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat”. Kita akan sari dari buku-buku masyhur ini, dan kita tambah dengan bahan-bahan yang belum dmasukkan oleh para sarjana tersebut.

Syekh Muhammad Thayyib bin Umar bin Abdul Qadir dilahirkan di Sungayang, Batusangkar, yang masa itu dikenal dengan nama Fort van der Capellen, pada tahun 1974. Diusia belia, beliau telah belajar dengan beberapa orang guru agama di kampung halamannya. Di usia remaja, beliau meninggalkan kampung halamannya untuk menambah pengetahuan, diantaranya kepada Syekh Abdul Manan Padang Gantiang dan Syekh Muhammad Shaleh Padang Kandih (ulama besar Tarekat Naqsyabandiyah Sumatera Tengah, w. 1912). Setelah cukup lama belajar kepada kedua ulama besar ini, Syekh Thayyib Umar berangkat ke Mekah dan mukim disana selama 5 tahun. Diantara gurunya disini ialah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (w. 1916), khatib dan guru besar dalam Mazhab Syafi’i di Mesjidil Haram. Pada tahun 1897 beliau kembali ke Sungayang dan langsung mengabdi mengajar agama di surau Tanjuang Pauah. Pada tahun 1910 beliau membuka Madras School, sebuah madrasah (setingkat pesantren di Jawa) dengan sistem klasikal sebagai trobosan baru sekolah agama masa itu. Syekh Thayyib Umar wafat pada tahun 1920.

Syekh Thayyib Umar: Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah

Sebagai ulama tua Minangkabau, Syekh Thayyib Umar Sungayang ialah ulama yang teguh memegang Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy’ariyyah dan Maturidiyyah), sebagai pegangan ulama besar Minangkabau sebelumnya, seperti Syekh Abdul Manan, Syekh Muhammad Shalih Padang Kandih Suliki dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Begitu juga ulama-ulama seangkatan beliau, seperti Haji Rasul, Syekh Jamil Jambek, Abdullah Ahmad dan Syekh Thaher Jalaluddin. Sebagai sokongannya terhadap pegangan ulama Minangkabau itu, beliau karang sebuah risalah yang berjudul “Aqa’id al-Iman”, menjelaskan Aqidah Lima Puluh (terutama Sifat Dua Puluh). Risalah ini dicetak bersama kitab “Irsyadul Awam ilal Islam” karya Syekh Muhammad Zain Simabur Batusangkar.


Foto: Halaman pertama kitab "Aqa'id al-Iman" oleh Syekh Muhammad Thayyib Umar Sungayang, berisi tentang penjabaran Aqidah Lima Puluh sesuai dengan akidah Ahlussunnah wal Jama'ah (Asy'ariyyah dan Maturidiyyah), dicetak bersama kitab "Irsyadul Awam Ilal Islam" karya Syekh Muhammad Zain Simabur, hal. 137.

Kita ingin membanding beberapa tulisan para sarjanawan yang menyebut Syekh Muhammad Thayyib dengan nada “ulama Wahabi”. Dalam beberapa penelitian disebutkan Syekh Thayyib Umar Sungayang sebagai kelompok kaum Muda (modernis) yang progresif seperti Haji Rasul. Mencap Syekh Thayyib Umar dengan “Ulama Muda” hanya semata-mata berpegang kepada buku “Ayahku”-nya Hamka saja, itu tidak mencukupi untuk sebuah tulisan ilmiah.

Syekh Muhammad Thayyib Umar memang ternyata pernah menulis di Majalah al-Moenir (Padang), majalah Kaum Muda Minangkabau. Namun itu bukan berarti beliau sehaluan dengan Ulama Muda yang Pro al-Manar Rasyid Ridha. Bukan.

Benar Syekh Thayyib pernah menulis sya’ir sindiran terhadap orang siak (para santri). Sya’ir sindiran itu dimuat dalam al-Moenir tahun 1912, diantaranya berbunyi:

Jangan diikut masa yang lata
Menuntut ilmu suatu mata
Sekedar fiqih hanya dicinta
Sehabis umur sendi anggota

Habislah masa fiqih tak terang
Rupa yang sungguh berupa karang
Awaklah faqih disangka orang
Ilmu yang tahqiq dapatnya jarang

Adapun masa dahulu hari
Ilmu dituntut pemagar diri
Sekedar bergelar faqih dan kari
Untuk pelepas rodi negeri
…………
Lebih-lebih di Minangkabau
Guru masyaikh pandai menghimbau
Ditipunya awam seperti kerbau
Ke dalam khalwat banyak terambau


Namun sindiran yang beliau ungkap ini menyerang teman-teman dan guru-guru surau yang menjadikan agama sebagai jualan semata; tidak berikhlas diri belajar dan mengajar agama. Bukan menolak ulama-ulama surau tentunya.

Sebagai bantahannya terdapat cap “Kaum Muda”, Syekh Thayyib Umar Sungayang mengeluarkan pernyataan pada Majalah Soeloeh Melajoe (tahun 1914), bahwa beliau bukannya “Ulama Muda” menganut mazhab al-Manar (majalah Syekh Rasyid Ridha), yang menyelisihi Ahlussunnah wal Jama’ah dan Mazhab yang Empat.

Syekh Thayyib sebagai guru-guru dan teman-temannya ulama Minangkabau tetap berpegang kepada Ahlussunnah wal Jama’ah dan Mazhab Syafi’i. Meski dalam satu dua masalah beliau berbeda dalam furu’ (cabang), dalam ushul (pokok) tetap perpegang kepada tali yang satu. Itulah kemudian yang dikembangkan oleh murid-murid Syekh Thayyib Umar selanjutnya seperti Syekh Abdul Wahid al-Khalidi Beliau Tobek Godang (pimpinan besar Perti), Prof. Mahmud Yunus, Angku Ajhuri, dan lainnya; mereka tetap asy’ariyyah dan syafi’iyyah.

Al-Fatihah.

Ditulis sesaat sebelum berziarah ke makam Syekh Abdul Aziz “Beliau Simpang Kapuak” (w. 1985, dalam usia 175 tahun), Simpang, Luak Lima Puluh Kota.
Se-dha’if manusia, Apria Putra, yang dimasyhurkan orang dengan “Angku Mudo Khalis”.

Senin, 21 Oktober 2013

Pembawa Muhammadiyah ke Minangkabau adalah Pembela “Qunut Subuh” dan “Jahar Bismillah”

Oleh: Hamba yang Dha’if; yang karam dalam taqshir Apria Putra
Tulisan ini berdasarkan kitab “al-Syir’ah fi al-Radd ‘ala man Qala al-Qunut…” (1938), buku “Ayahku” dan “Islam dan Adat Minangkabau” (Hamka), buku-buku lainnya, dan kesaksian mata Abuya H.Sya’rani Khalil Dt. Majo Reno dan Abuya Drs.H. Abdul Jalal.

Minangkabau (baca: Sumatera Barat) ialah daerah pijakan Muhammadiyah periode awal diluar Jawa. Beberapa disertasi dan tesis mengenai Muhammadiyah di Minangkabau telah ditulis, diantaranya yang populer Dr. Alfian dengan judul terjemahannya: “Politik Modernism Muhammadiyah di Indonesia” (Cornell University), yang fokus penelitiannya ialah Minangkabau, selain Yogyakarta.

Di daerah ini, Minangkabau, organisasi modernis Muhammadiyah cukup berkembang disokong oleh ulama-ulama yang tergolong kepada “Kaum Muda” ketika itu. Ulama-ulama dari Kaum Muda telah menguatkan pengaruh sekitar tahun 1906, diwaktu sebagian ulama mendapat pengaruh Majalah al-Urwatul Wusqa (yang dipimpin Jamaluddin al-Afghani) dan al-Manar (diasuh oleh Rasyid Ridha, Mesir). Salah seorang tokoh utama “Kaum Muda” di Minangkabau ialah Syekh Doktor fid Din Abdul Karim Amrullah (1879-1949), atau yang lebih dikenal dengan “Inyiak De-er” atau “Haji Rasul”, beliau ialah ayahanda dari Buya Hamka.

Buya Hamka dalam bukunya yang terkenal “Ayahku” menuliskan tentang awal mula Muhammadiyah masuk ke Minangkabau. Ketika itu ayahnya –Haji Rasul- melawat ke Yogyakarta, beliau bertemu dengan pendiri Muhammadiyah, Kyai Haji Ahmad Dahlan. Sangat besar sambutan Kyai Ahmad Dahlan kepada Haji Rasul, sebab Majalah al-Moenir (terbitan Padang yang salah satu redaksinya ialah Haji Rasul) ternyata telah sampai ke Yogyakarya, dan majalah tersebut menyokong faham ulama-ulama Muhammadiyah. Apatah lagi, konon Kyai Ahmad Dahlan juga satu guru dengan Haji Rasul di Mekah, yaitu Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (w. 1916). Bertemulah kedua ulama ini dengan hangatnya; keduanya saling isi-mengisi, Haji Rasul memberikan ide-ide segar kepada Kyai Ahmad Dahlan, dan Kyai Ahmad Dahlan menitipkan Muhammadiyah kepada Haji Rasul.

Pada tahun 1925, menurut cacatan Buya Hamka, pulanglah Haji Rasul ke kampung halamannya Sungai Batang, Maninjau. Di Sungai Batang ini pertama sekali dibuka cabang Muhammadiyah untuk daerah Minangkabau. Dibentuk sebuah pengurus cabang yang diisi oleh murid-murid Haji Rasul, termasuk anak beliau, Buya Hamka, namun Haji Rasul tidak pernah tercatat menjadi anggota Muhammadiyah, meski beliau dalam muktamar-muktamar Muhammadiyah menjadi tetamu kehormatan, sederajat dengan Kyai Mas Mansur.

Meski digolongkan kepada “Kaum Muda”, dan menjadi pionirnya, dan bertindak sebagai pembawa “Muhammadiyah” ke Minangkabau, Haji Rasul tetap dalam pendiriannya. Pendiriannya dalam soal agama dituangkan dalam karya tulisnya, yang sampai saat ini baru ditemukan sebanyak 31 judul. Dari karya-karya ini kita bisa mengenal secara mendalam mengenai kepribadian dan pemikiran Haji Rasul sebenarnya, yang saat ini banyak disalahfahami oleh sebagian peneliti.

Salah satu karyanya yang cukup populer ialah “al-Syir’ah fi Radd ‘ala man Qala al-Qunut fi al-Shubh Bid’ah wa anna al-Jahr bi al-Basmallah Bid’ah aidhan” (Bukittinggi: Drukkerij Tsamaratul Ikhwan, 1938), yang secara sederhana judul ini bermakna: “al-Syir’ah (pengumuman) penolak orang yang mengatakan Qunut Subuh bid’ah dan menjaharkan Bismillah bid’ah.” Dalam karyanya ini Haji Rasul mengupas dalil-dalil, berupa hadis-hadis dan qaul Fuqaha mengenai Qunut Subuh dan menjaharkan Bismillah. Kesimpulannya Qunut Subuh tidak bid’ah, malah sebaliknya, Qunut Subuh ialah sunnat diamalkan. Begitu pula mengenai menjaharkan Bismillah dalam shalat Jahar (Shalat Maghrib, Isya dan Subuh berjama’ah) bukan merupakan Bid’ah, malah menjaharkan Bismillah disyari’atkan, terbentang dalam dalil-dalil yang sharih.


Foto: Kulit depan kitab "al-Syir'ah" karya Haji Rasul

Begitulah sosok ulama-ulama silam: baju boleh berupa-rupa warna, namun yang namanya prinsip pantang diubah, dianjak, digeser walau sedikitpun; mereka ialah ulama-ulama yang berprinsip dan teguh dalam prinsip tersebut sampai badan berkalang tanah. Begitu pula yang dipegang oleh generasi yang digolongkan kepada “ulama modernis” berikutnya, seperti Prof. Mahmud Yunus, Buya Hamka dan Buya MD Dt. Palimo Kayo. Saya mendapat kesaksian mata dari tokoh-tokoh yang pernah menyaksikan mereka ini. Dari Abuya Sya’rani Khalil Dt. Majo Reno (87 tahun), Pimpinan Madrasah al-Manar Batu Hampar Payakumbuh, saya mendapat kesaksian pandangan mata beliau, ketika Mahmud Yunus dan Buya Datuak Palimo Kayo ketika diundang ke Batu Hampar, mereka dijadikan imam shalat Subuh, dan mereka berqunut subuh. Begitu juga Buya Hamka, ketika mengimami shalat Subuh di Mesjid Taqwa Muhammadiyah Padang juga berqunut subuh. Hal ini diungkap oleh Abuya Drs. H. Abdul Jalal, dosen senior Ushul Fiqih dan Fiqih IAIN Imam Bonjol Padang.

Al-Fatihah.....
Rahimahumullah, semoga mereka –ulama besar Minangkabau itu- mendapat tempat yang selayak-layaknya di sisi Allah. Amin.


Ditulis di sisi Mesjid Jami’ Shalihin “Muhammadiyah” Padang Batang,
Diwaktu subuh, 17 Dzulhijjah 1434/ 22 Oktober 2013.
ditangan faqir yang berlumur dosa, Apria Putra.

Senin, 07 Oktober 2013

Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Putri Bengkawas Tinggal Sejarah

Oleh: al-Faqir al-Haqir Apria putra
Berdasarkan ziarah ke Makam Ummi Hajjah Syamsiyah Abbas Bengkawas, dan kunjungan ke bekas kompleks MTI Putri Bengkawas. Kamis/ 3 Oktober 2013.

Dikalangan ulama muda terkenal Diniyyah Putri Padang Panjang sebagai ikon sekolah agama khusus perempuan, sedangkan dikalangan ulama Tarbiyah Islamiyah (ulama tua) dikenal Madrasah Tarbiyah Islamiyah Putri Bengkawas sebagai wadah pendidikan perempuan. Pendidikan perempuan telah menjadi salah satu perhatian dikalangan ulama Minangkabau. Berbagai-bagai artikel untuk mengedepankan pendidikan agama dikalangan kaum hawa banyak bermunculan diberbagai media masa (majalah) ketika itu, yaitu diawal abad 20 tersebut. Hal ini paling tidak telah banyak diungkap oleh berbagai peneliti, diantaranya Jeffrey Hadler lewat disertasinya “Muslim and Matriarchs: Cultural Resilience in Indonesian through jihad and Colonialism” (2008). Namun, dikalangan ulama surau hal ini menjadi satu trobosan baru, dan “MTI Putri Bengkawas” menjadi model yang cocok peningkatan pendidikan agama; pencetak ulama perempuan.

MTI Putri Bengkawas didirikan pada tahun 1940, didirikan oleh seorang ulama perempuan dari Luak Agam, yaitu Ummi Hj. Syamsiyah Abbas binti Syekh Abbas Qadhi Ladang Laweh. Beliau ialah saudara dari ulama terkemuka, Abuya H. Sirajuddin Abbas. Keulamaan –Ummi Syamsiyah- dibuktikan telah karangannya yang populer dalam menengahi perdebatan dengan ulama-ulama Muda. Beliau, Ummi, juga terkemuka karena dipercaya menduduki posisi-posisi penting dalam mengisi kemerdekaan.

MTI Bengkawas telah memainkan peran penting dalam peningkatan mutu pendidikan agama perempuan dalam wadah Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Dari 360 madrasah (baca: Pesantren), menurut data tahun 1954, yang dinaungi Persatuan Tarbiyah Islamiyah, baru MTI Bengkawas yang diketahui menyelenggarakan pelajaran agama khusus perempuan.

Meski telah mencapai masa jaya, MTI Bengkawas terkena musibah sebagaimana yang menimpa sekolah-sekolah agama (baca: Pesantren) ketika itu. Berbagai peristiwa, apakah itu peperangan dan sejenisnya, telah menjadi perintang keberlanjutan surau dan madrasah di Minangkabau. Hal ini pulalah agaknya yang menimpa MTI Bengkawas; ia terhanyut waktu, sehingga sisa gedung madrasah ini saja yang dapat kita temui saat ini.

Inilah sejarah yang dapat kita kenang; kenangan atas ulama-ulama Minangkabau silam.


Foto: Bagian depan bekas gedung MTI Putri Bengkawas


Foto: Rumah Ummi Syamsiyah Abbas di komplek MTI Bengkawas


Foto: Gedung MTI Bengkawas, yang kemudian dimanfaatkan oleh "STIKES Fort de Kock"


Foto: Rumah Ummi, sekaligus sebagai asrama


Foto: Gedung MTI yang kemudian digunakan sebagai "play group"


Foto: bekas gedung MTI Putri Bengkawas


Foto: Makam Ummi Syamsiyah Abbas

Sungai Antuan,
Luak Limo Puluah Kota.

al-Faqir al-Haqir Apria putra al-masyhur bi-Angku Mudo Khalisi

Yang Berjasa, yang Terlupakan (Bag. 2): Maulana Syekh Abdurrahman al-Khalidi “Beliau Kumango” (1812-1932), Ulama Besar Tarikat Sammaniyah dan Pencipta Silek Kumango

Oleh: Hamba yang dha’if Apria Putra

Ulama-ulama yang kita tulis ini, meskipun tercatat dalam lembaran sejarah, namun sayang hanya segelintir kecil diantara kita yang mengenal, dan masih mengenang jasa beliau-beliau tersebut. Padahal, bila ditinjau dimasa-masa silam, ulama-ulama ini menjadi tumpuan ilmu pengetahuan Islam, selalu menjadi teladan. Meski mereka telah lama tiada, mereka tetap dipanuti, makamnya tetap diziarahi sebagai bentuk ta’zhim kepada ulama-ulama yang berjasa terhadap Islam di Minangkabau. Tulisan bersambung ini dilansir sebagai pengingat bagi kita, generasi penerus, untuk mengenal serta meneladani, hingga mempererat tali rohani dengan ulama-ulama Minangkabau di masa yang lampau itu.

Kumango, Sungai Tarab, Tanah Datar, negeri yang agamis, kaya dengan budaya, dan sebenarnya menjadi sebuah kebanggaan Ranah Minangkabau. Rumah-rumah gadang dengan gonjong menjulang memenuhi kampung, surau-surau lama yang berusia lebih seabad berdiri kokoh, tokoh-tokoh agama (ulama) dari daerah ini terkemuka sampai ke Tanah Suci Mekah.

Sebuah aliran Silek Tuo lahir di daerah ini, itulah Silek Kumango “Lahia Mancari Kawan, Batin mencari Tuhan”, yang kental dengan unsur Islam. Silek ini kemudian terkenal luas, sampai ke Amerika hingga negeri Belanda. Luar biasa memang. Kabarnya, tersebab silek ini banyaklah orang-orang non Muslim tertarik untuk mempelajari Islam, hingga menjadi mu’allaf belaka. Dari sini pula, Kumango, berpangkal Tarikat Samaniyyah, sebuah ilmu Tarekat Mu’tabar yang berperan dalam mempertahankan negeri dari penjajah. Tercatat, tarekat Saman yang berhulu ke Kumango ini menyebar sampai ke Thailand dan Malaysia, dan memainkan peran dalam sosio-kultural masyarakat di daerah tersebut.

Siapa ulama besar Kumango itu? Yang bila kita kenang akan membuat mata meleleh, bila kita kunjungi akan menyebabkan haru itu, beliaulah al-‘Alim al-Wara’ Maulana Syekh Abdurrahman bin Khatib ‘Alim Kumango al-Sammani al-Khalidi Naqsyabandi. Ulama besar yang satu ini cukup istimewa, di samping syekh-syekh besar Tarekat lainnya.

Menurut salah satu sumber Syekh Kumango tersebut lahir pada tahun 1812 dan wafat ditahun 1932. Nama kecil Beliau ialah “Alam Basifat”. Pada mulanya Beliau mengaji kepada Syekh Abdurrahman Batu Hampar Payakumbuh terkenal itu. Namun kemudian Alam Basifat muda terpengaruh lingkungan di daerahnya yang membawanya untuk hidup gaya parewa.

Pada satu waktu beliau berdagang di Padang, ada seorang kakek yang membuatnya marah karena selalu nyinyir meminta uang, sehingga membuat darah Alam Basifat naik hendak menghajar si kakek, rupanya setelah berusaha keras hendak memukul si kakek bagaimanapun cara memukulnya, namun tak kena sasaran satu pun. Sehingga beliau mengaku dan hendak berguru kepada si kakek. Namun si kakek mengajukan persyaratan yang cukup pelik, Alam Basifat diperintahnya untuk mengikutinya di Mekah, di Mekah nanti Beliau akan bertemu lagi. Oleh kesungguhan Alam Basifat, Beliau terus jua mengikuti si kakek ke Mekah sebagai mana dijanjikan, sedangkan si kakek entah kemana saat itu, karena ulama saat itu masyhur keramat-keramatnya si kakek telah sampai dulu di Mekah. Alam Basifat pergi ke Mekah dengan berjalan kaki dari Minangkabau berjalan ke Sumatera Utara, kemudian terus ke Aceh dan lalu ke Thailand terus ke tanah Mekah.

Di Mekah beliau bertemu si Kakek dan mulai belajar agama dan istimewa Tharikat Sufiyah dengan beberapa ulama terkemuka di “Tanah Haram” kala itu. Tercatat Syekh Kumango di tanah suci selama 12 tahun menuntut ilmu, termasuk mengambil Tarekat Samaniyah di Madinah al-Munawwarah kepada Sayyidina Muhammad Amin bin Ahmad Ridhwan (mengenai riwayat Syekh ini dapat dilihat pada “Siyar wa Tarajum Ba’dh ‘Ulama’inan fi al-Qarn al-Rabi’ ‘asyr”). Alam Basifat kemudian dikenal dengan nama Abdurrahman, lengkapnya Syekh Abdurrahman Kumango al-Samani al-Khalidi.

Setelah Syekh Abdurrahman pulang ke kampung halamannya, beliau kemudian membuka surau yang dikenal dengan “Surau Subarang” untuk mengajar agama, khususnya Tarekat Samaniyah dan Tarekat Naqsyabandiyah al-Khalidi. Selain itu Beliau Kumango dikenal sebagai pencipta gerakan-gerakan ilmu “Silat Kumango” yang masyhur itu, sebuah silat yang sarat dengan aspek tasawuf dan filosofis yang “dalam”.

Saat ini, Surau Subarang masih berdiri. Surau kayu itu sudah lapuk, tua, tapi masih gagah. Silat Kumango masih diajar di surau ini, namun Tarekat Sammaniyah dan Tarekat Naqsyabandiyah tidak terdengar lagi.
Al-Fatihah...


Foto: Surau Syekh Kumango; tempat belajar agama dan silat, khususnya tarekat Samaniyah dan Naqsyabandiyah al-Khalidiyah


Foto: Surau Syekh Kumango; tempat belajar agama dan silat, khususnya tarekat Samaniyah dan Naqsyabandiyah al-Khalidiyah


Foto: Surau Syekh Kumango; Bagian dalam surau


Foto: Surau Syekh Kumango; lantai dua, tempat Suluk dalam Tarekat Naqsyabandiyah al-Khalidiyyah


Foto: Surau Syekh Kumango; bagian surau yang telah tua dimakan usia


Foto: Kubah Makam al-'Alim al-'Allamah Syekh Abdurrahman al-Khalidi Kumango

Padang Batang, Sungai Antuan, Mungka.
Yang karam dalam laut dosa al-faqir Apria Putra.

Rabu, 25 September 2013

Tangis di Makam Syekh Muhammad Thahir Barulak dan Syekh Muhammad Jamil Tungkar

Oleh: Hamba yang dha’if Apria Putra
Berdasarkan perjalanan ziarah ke Barulak, Sabtu/ 14 September 2013.

Dua Ulama Besar

Dalam catatan sejarah yang lama-lama disebutkan nama besar Barulak sebagai pusat keilmuan Islam di abad ke-19. Pistorius misalnya, dalam “De Priester en Zijn Invloed op de Samenleving in de Padangsche Bovenlanden” menyebutkan kebesaran Syekh Barulak, seorang ulama besar yang pulang dari Mekah dan mempunyai pengaruh yang luas di kalangan penduduk. Martin van Brunessen dalam penelitiannya menyebutkan bahwa Syekh Barulak merupakan salah satu dari sekian ulama yang mempunyai dedikasi dalam penyebaran Islam, khususnya dalam mengajarkan Tarekat Naqsyabandiyah. Wan Shagir Abdullah, seorang peneliti Naskah Melayu di Malaysia yang berasal dari Indonesia, menyebutkan dalam “Penyebaran Tarekat Mu’tabarah di Dunia Melayu”, bahwa Syekh Barulak, berikut Syekh Tungkar merupakan ulama-ulama yang terkemuka dalam penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah. Dan masih banyak lagi sumber-sumber lain yang menyebutkan kebesaran dan ketenaran Syekh Barulak dan Syekh Tungkar ini.

Siapa Syekh Barulak itu? Beliau ialah Syekh Muhammad Thahir bin Abdullah, atau yang dimasyhurkan dengan gelar “Beliau Barulak”, seorang ulama besar di abad 19. Dalam catatan yang ada kita temui informasi mengenai gurunya, yaitu Syekh Isma’il bin Abdullah al-Khalidi Simabur, ulama besar dalam Tarikat Naqsyabandiyah yang berdiam dan wafat di Mekah.

Siapa pula Syekh Tungkar itu? Beliau ialah Syekh Muhammad Jamil, digelari dengan “Beliau Tungkar”, ia merupakan murid dari Syekh Barulak di atas. Ulama besar yang mempunyai murid-murid yang kemudian juga menjadi ulama besar, seperti Syekh Abdullah Beliau Halaban, Syekh Abu Bakar Tabiang Pulai, Syekh Muhammad Sa’ad Mungka, Syekh Ibrahim Beliau Aia Angek dan lainnya. Syekh Tungkar wafat di akhir abad 19, setelah bertahun-tahun mengajar agama, khususnya dalam Tarekat Naqsyabandiyah.

Syekh Barulak dan Syekh Tungkar, dua ulama besar, yang tidak dapat disangkal lagi pengaruh dan dedikasinya sebagai salah satu pejuang-pejuang agama di Tanah Andalas ini. Namanya disejajarkan dengan ulama-ulama besar Sumatera lainnya seperti Syekh Muhammad Yatim Padang, Syekh Abdul Halim Labuh, Syekh Mustafa al-Khalidi Sungai Pagu, Syekh Abdul Fatah Natal, Syekh Jalaluddin Cangkiang, dll.

Tangis di Makam Barulak

Makam Syekh Barulak dan Syekh Tungkar berada dalam satu kubah di Mesjid Taqwa Barulak. Tidak sukar bagi kita untuk memastikan bahwa Mesjid ini dulunya ialah Surau Syekh Barulak, yang telah sekian lama dipugar dan dipugar, sehingga saat ini dikenal dengan “mesjid”. Bagunan tua Mesjid itu masih ditemui bekasnya, berupa bangunan batu dimana dindingnya dipenuhi oleh kaligrafi-kaligrafi yang indah. Sedangkan lantainya, berupa keramik dengan ubin khas klasik. Sedangkan kubah makam dua ulama yang berada di bagian mihrab berupa satu bagunan bergaya lama, mempunyai tiga labu-labu yang dibuat dari batu. Artistik memang.

Adalah saya, al-faqir, telah ziarah ke makam Syekh Barulak dan Syekh Tungkar mula-mula di tahun 2010. Ketika itu kondisi makam Syekh Barulak dan Syekh Tungkar yang berdampingan itu cukup nyaman. Namun mencengangkan, setelah al-faqir mengulang ziarah ke mawan beliau pada 14 September 2013, ruangan makam dua ulama besar itu telah menjadi gudang penyimpanan keperluan pertukangan, hingga pintu makam tertutup, entah oleh seng, bebatuan, atau lainnya. Tragis. Saat itu tangis berderai.

Bila ditanya kepada seorang nenek pemegang kunci macam, dengan enteng ia menjawab: “nanti kita baguskan lagi!”. Namun apakah ia tiada menaruh hiba? Pabila kedua makam ulama besar Minangkabau itu dijadikan gudang? Tiada terlihat dari raut wajahnya. Sungguh besar tangisku.

Urang Darek yang tidak menghargai Ulama

Dari beberapa tokoh nagari Barulak diperoleh keterangan, bahwa sebelum-sebelumnya telah ada niat seorang kaya yang hendak memperluas mesjid untuk menggusur Makam Syekh Thahir dan Syekh Tungkar itu. Dengan uang yang cukup, tinggal menggaji beberapa orang untuk membongkar makam dan memindahkannya, namun tanpa kesadaran bahwa akan melenyapkan monumen sejarah Islam di Sumatera Tengah ini. Maka samalah keadaannya dengan Wahabi di Mekah, membongkar monumen-monumen sejarah untuk perluasan atau dengan alasan lainnya, tentu dengan uang petrodollar yang besar.

Di sini terbukti benar ungkapan salah seorang Tuanku di Pariaman ketika saya berkunjung ke Ringan Ringan. Tuanku yang berasal dari Batusangkar itu, kontan berkata: “Orang-orang darek itu banyak yang tidak menghargai ulama.” Sehingga pusara, mawan makamnya tidak dirawat. Ironis. Sedangkan makam pahlawan-pahlawan bangsa saja diperbagus indah, bertuliskan “Taman Makam Pahlawan”, namun pahlawan-pahlawan agama dibiarkan semak tak terurus. Maka kaburlah sejarah Islam itu dihadapan anak-anak cucu kelak. Hal ini sudah banyak kita lihat, misalnya saja makam Syekh Harun Toboh Pariaman di Padang Panjang yang dibiar merimba, makam Syekh Abdullah Khatib Ladang Laweh, makam Syekh Abdullah Halaban di Tungkar, dll. Jangan tercengang bila nanti orang-orang Malaysia misalnya lebih tahu tentang sejarah Islam Minangkabau ini dibandingkan kita, sebab kita tidak sadar akan pentingnya monumen sejarah, apakah itu makam-makam ulama tadi atau situs Surau yang ditinggalkannya.

Kondisi Surau dan Makam saat ini

Surau Barulak, yang telah bermetamorfosis menjadi Mesjid Taqwa itu kini telah megah. Keramik-keramik mengkilat menggantikan kaligrafi-kaligrafi indah, atau marmer klasik. Namun, keindahan masa kini telah menghilangkan bekas-bekas sejarah penyebaran Islam oleh Syekh Thahir di lokasi ini. Tidak ada lagi Tarekat Naqsyabandiyah, mungkin malah ia telah dimusuhi? Tidak ada lagi mengaji kitab kuning, mungkin telah dianggap kuno ketinggalan zaman? Semua gambaran kejayaan surau Barulak hanya tinggal dalam catatan sejarah orang Belanda, atau tulisan-tulisan tangan ulama-ulama di negeri lain, atau sepenggal riwayat yang diterima dari orang tua-tua.

Ukiran indah khas Minangkabau di gobah-gobah mesjid ini niscaya sebentar lagi akan dibongkar, ditukar dengan keramik impor atau lainnya. Dinding kaligrafi indah mesjid ini akan diruntuh beberapa saat lagi. Lampu-lampu antik akan ditukar dengan bola philip atau lampu modern. Maka cerita Surau Barulak itu akan tinggal kenangan belaka.

Sayang sekali, Surau Syekh Thahir Beliau Barulak yang berpengaruh sejak tahun 1800-an itu tak sempat dilirik dinas Sejarah dan Kepurbakalaan, tak sempat lagi dicatat menjadi salah satu benda cagar budaya, sehingga orang-orang kini leluasa membongkar dan mengganti monumen sejarah perjalanan Islam ini.


Foto: Mesjid Taqwa (baca: Surau Barulak) ketika dipugar. (2013)


Foto: Ruangan makam Syekh Muhammad Thahir Barulak yang dijadikan gudang (2013)

Foto: Ruangan makam Syekh Muhammad Thahir Barulak yang dijadikan gudang. Dibelakang tumpukan seng itu Makam Syekh Muhammad Jamil Tungkar (2013)

Foto: Ruang lama Mesjid yang dipenuhi kaligrafi indah.

Foto: Ruang lama Mesjid yang dipenuhi kaligrafi indah.

Foto: Ruang lama Mesjid yang dipenuhi kaligrafi indah.

Foto: Ruang lama Mesjid yang dipenuhi kaligrafi indah.

Setiap tahun masih ramai orang-orang menziarahi Makam Syekh Thahir dan Syekh Jamil ini, tentu orang-orang dari jauh-jauh. Mereka mengenang guru dari pada ulama-ulama mereka, sambil berdo’a, mengirimkan bacaan al-Fatihah untuk beliau. Hanya kepingan sejarah, khitmat orang-orang dari jauh-jauh itu yang akan abadi. Sebab mereka tak pernah lupa dengan guru mereka, dan tak lupa akan ilmu yang diwariskan oleh dua ulama besar ini.


Padang Batang, Sungai Antuan. Mungka.
Yang karam dalam laut dosa al-faqir Apria Putra.

Selasa, 10 September 2013

Yang berjasa, yang terlupakan (Bag. 1): Syekh Abdullah Khatib (w. 1890) gelar “Beliau Ladang Lawas”

Oleh: Hamba Allah yang dha’if Apria Putra
Ditulis berdasarkan ziarah ke makam Syekh Abdullah Khatib “Beliau Ladang Lawas”, Banuhampu, Agam. Selasa, 27 Agustus 2013, bertepatan dengan Syawal 1434 H. Dilengkapi dengan catatan-catatan tua dari Prof. Mahmud Yunus, Syekh Yunus Yahya Magek dan Abuya H. Sirajuddin Abbas.

Ulama-ulama yang kita tulis ini, meskipun tercatat dalam lembaran sejarah, namun sayang hanya segelintir kecil diantara kita yang mengenal, dan masih mengenang jasa beliau-beliau tersebut. Padahal, bila ditinjau dimasa-masa silam, ulama-ulama ini menjadi tumpuan ilmu pengetahuan Islam, selalu menjadi teladan. Meski mereka telah lama tiada, mereka tetap dipanuti, makamnya tetap diziarahi sebagai bentuk ta’zhim kepada ulama-ulama yang berjasa terhadap Islam di Minangkabau. Tulisan bersambung ini dilansir sebagai pengingat bagi kita, generasi penerus, untuk mengenal serta meneladani, hingga mempererat tali rohani dengan ulama-ulama Minangkabau di masa yang lampau itu.


Ulama-ulama besar masa silam yang terlupakan dari Ladang Lawas

Ladang Lawas, Banuhampu, ialah sebuah daerah yang terletak di lereng gunung Merapi, termasuk kawasan Luak Agam. Sejak berabad silam Ladang Lawas telah menjadi salah satu pusat keilmuan Islam yang mempunyai nama yang harum seantero Minangkabau. Beberapa daripadanya merupakan ulama kosmopolitan yang menorehkan tinta emas dalam perjalanan agama Islam di bumi Minangkabau. Di antara ulama-ulama yang pernah mukim dan memapankan karirnya di Ladang Lawas, di antara yang dapat kita catat, seperti Syekh Abdussalam Banuhampu yang hidup pada pertengahan abad 19 hingga awal abad 20, Syekh Muhammad Abbas yang lebih dikenal dengan Syekh Abbas Qadhi Ladang Laweh (wafat pertengahan abad 20), Syekh Abdul Malik Gobah (wafat dipertengahan abad 20), sedangkan yang menjadi ulama tertua yang dapat dicatat dari daerah ini ialah Syekh Abdullah Khatib, atau yang lebih dimasyhurkan dengan “Beliau Ladang Lawas”, ulama besar di abad 19.
Pada tulisan kali ini kita akan mengenang ulama besar Minangkabau dari Ladang Lawas, yang menjadi salah satu mata rantai keilmuan Islam Minangkabau pada abad ke 19, namun sangat jarang dibicarakan, apakah oleh para “orang siak” (baca: santri) masa kini, ataupun oleh para peneliti. Beliau ialah Syekh Abdullah Khatib Ladang Lawas, ulama tua yang menjadi guru dan panutan generasi ulama-ulama Minangkabau dimasa selanjutnya.

Syekh Abdullah Khatib dan kejayaan pendidikan Islam Minangkabau

Pada mawam makam beliau masih jelas inskripsi nisannya. Di sana tertulis “al-Fadhil Syekh Abdullah al-Khatib”, dengan khat naskhi yang cukup rapi. Dari nisan yang hampir hancur dimakan usia itulah informasi ringkas tentang pribadinya kita dapati. Beberapa orang yang ditanyai di sekitar makam tidak mengetahui siapa beliau, yang terucap hanya “beliau ulama tertua”. Syukur beberapa literatur lama (yang mungkin sekarang tidak dibaca dan dibuka oleh generasi-generasi muda) memberikan beberapa catatan perihal beliau Syekh Abdullah Khatib tersebut, sehingga masih terbuka celah bagi kita buat mengenal ulama besar yang satu ini.

(foto: al-faqir di makam Beliau Ladang Lawas, Agustus 2013)

Al-‘Allamah Prof. Mahmud Yunus, seorang tokoh pendidikan terkemuka dan ulama dari Batusangkar mencatat dalam “Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia” bahwa di antara ulama-ulama Minangkabau di abad 19 yang menjadi ikon keilmuan Islam ialah Syekh Abdullah Khatib Ladang Lawas ini. Namun, beliau tidak mengemukakan lebih lanjut perihal riwayat hidup Syekh tersebut, yang pasti Syekh Abdullah Khatib bersama ulama-ulama sezaman telah memainkan peran penting dalam transmisi keilmuan Islam, sehingga keilmuan Islam di Minangkabau dapat disebut setara dengan keilmuan Islam di Mekah. Sedangkan ketika itu Mekah menjadi pusat keilmuan. Hal ini dikarenakan Syekh Abdullah Khatib bertahun-tahun belajar agama dengan berbagai vak keilmuan di Mekah. Ketika beliau kembali ke Minangkabau, melalui lembaga surau, beliau terapkan sistem Mekah di lembaga tersebut. Sehingga banyak orang-orang berdatangan menimba ilmu pengetahuan darinya, murid-murid ini kemudian meneladani pula sistem yang beliau pakai di daerahnya masing-masing. Demikian Prof. Mahmud Yunus.

Dalam catatan tua Syekh Yunus Yahya Magek (1908-2000) dijelaskan lebih lanjut bahwa “Beliau Ladang Lawas” mempunyai dua keistimewaan yang membuat suraunya di Ladang Lawas terkenal diantara penuntut-penuntut ilmu kala itu, yaitu (1) keilmuan yang dimilikinya dalam bidang keagamaan sangat mendalam; (2) sistem pelajaran dan kitab yang diterapkannya di Surau Ladang Lawas ialah sistem dan kitab yang dipakai oleh lembaga-lembaga pendidikan di Mekah. Maka wajar bila Surau Syekh Ladang Lawas mempunyai nama besar, sering menjadi model percontohan dikalangan ulama-ulama kala itu. Tercatat bahwa ulama besar Syekh Muhammad Sa’ad Mungka Payakumbuh (1954-1922) perlu mengadakan perjalanan ke Ladang Lawas, disamping untuk menemui Beliau Ladang Lawas tersebut, beliau Sa’ad juga mengadakan semacam studi banding, sehingga ketika Syekh Sa’ad pulang ke Mungka (Suliki, Payakumbuh), beliau berupaya pula untuk menerapkan model pendidikan yang dipakai Syekh Ladang Lawas tersebut.

Demikian catatan yang ada.

Syekh Abdullah Khatib dan ulama-ulama besar Minangkabau

Dalam catatan-catatan yang ada disebutkan bahwa Syekh Abdullah Khatib mempunyai 2 orang murid yang menjadi ulama besar dikemudian hari. Dua ulama besar itu ialah (1) Syekh Yahya al-Khalidi Magek; dan (2) Syekh Abdullah “Beliau Halaban” (w. 1926).

Syekh Abdullah Halaban, atau yang lebih dikenal dengan gelar “Beliau Halaban” (Beliau Loban), ulama besar yang diakui kealimannya di Tigo Luak (Tanah Datar, Agam dan Lima Puluh Kota). Beliau terkemuka dikalangan ulama-ulama semasa karena kemahirannya dalam ilmu-ilmu keagamaan yang pelik-pelik, seperti fiqih, ushul fiqih dan mantiq. Di antara murid-muridnya yang terkemuka ialah (1) Syekh Sulaiman ar-Rasuli Candung; (2) Syekh Muhammad Jamil Jaho; (3) Syekh Ibrahim Harun Tiakar Payakumbuh; (4) Syekh Syarif Lintau; (2) Syekh Muhammad Ruslan Limbukan Payakumbuh; (3) dan lain-lainnya.
Syekh Yahya al-Khalidi dikenal sebagai ulama besar, seorang sufi yang memegang tarekat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Syekh Yahya mempunyai surau terkemuka di Magek Kamang. Surau tersebut bernama Surau Baru, yang kemudian menjadi salah satu pusat keilmuan pula di Luak Agam. Di antara murid-murid Syekh Yahya Magek yang kemudian menjadi ulama besar ialah, (1) Syekh Sulaiman ar-Rasuli Candung; (2) Syekh Abbas Qadhi Ladang Laweh Banuhampu; (3) Syekh Sulaiman Ghani Magek; (4) Syekh Mahmud Abdullah Tarantang Harau Payakumbuh; (5) anak beliau, Syekh Yunus Yahya Magek; (6) dan banyak lagi lainnya.

Dari jaringan murid-murid yang berhulu dari “Beliau Ladang Lawas” ini, dapat dikatakan bahwa “Beliau Ladang Lawas” sebagai guru dari guru ulama-ulama besar Minangkabau. Beliau menjadi teladan, mata rantai keilmuan, hingga sampai kepada ulama-ulama kita saat sekarang ini, terutama ulama-ulama yang tergabung dalam Persatuan Tarbiyah Islamiyah.

Mawan Syekh Abdullah Khatib dan situasi masa kini

Lebih seabad sudah Syekh Abdullah Khatib “Beliau Ladang Lawas” wafat. Makamnya masih dapat dikenali meski telah rimbun ditumbuhi semak-semak liar. Makamnya terletak dalam satu kubuh yang masih kokoh meski berusia tua. Dalam kubah tersebut, selain makam beliau, terdapat pula batu mejan lainnya, yang tidak dikenali siapa yang bermakam di situ.
Demikianlah sepenggal riwayat seorang ulama besar Minangkabau, guru dari guru ulama-ulama Minangkabau. Semoga kita semakin mempunyai kesadaran dalam mengenang, meneladani perjuangan ulama silam, dan mempunyai kesadaran untuk merawat pusaranya, serta kesadaran dalam menghargai orang-orang yang berjasa terhadap Islam di Minangkabau ini.


Sungai Antuan
Mungka, negerinya ulama-ulama di masa silam.

al-faqir Apria Putra al-Khalidi Naqsyabandi

Sabtu, 24 Agustus 2013

Syekh Batu Bara: Ahli Qira’at dari Nagari Andaleh

Oleh: Hamba yang dha’if Apria Putra

Andaleh: Rekam Negeri Agraris

Andaleh, sebuah nagari di kecamatan Luak, Luak Lima Puluh Kota, negeri yang kaya akan potensi alam; sesawahan membentang menghijau sampai Taram, kolam-kolam ikan menghiasi setiap rumah, ladang ditumbuhi dengan tanaman-tanaman produktif. Disamping anugrah alam itu, Andaleh, dulunya terkenal sebagai pusat agama. Betapa tidak, di Andaleh pernah berdiri pusat pengembangan ilmu al-Qur’an ala surau Minangkabau berpuluh-puluh tahun yang lalu, sehingga nama Andaleh pernah harum dikalangan urang-urang Siak di berbagai daerah. Satu di antara ulama yang pernah berkhitmat mengembangkan ilmu al-Qur’an itu ialah Syekh Batu Bara.


Foto: Salah satu surau tua di Nagari Andaleh yang telah ditinggalkan; lapuk tidak dihuni.

Syekh Batu Bara dan Pelajaran al-Qur’an
Siapa Syekh Batu Bara tersebut? Beliau ialah seorang ‘alim dalam ilmu Tilawah al-Qur’an, terutama Qira’at al-Qur’an yang tujuh. Nama asli beliau tidak tercatat lagi. Di Andaleh beliau membuka sebuah surau khas Minangkabau, surau itu bernama “Surau Botuang” (Botuang: Bambu). Di sini beliau mendirikan pekerjaan agama, mendidik orang-orang siak dalam ilmu agama, khususnya ilmu Tilawah al-Qur’an. Salah seorang murid Syekh Batu Bara yang dapat kita catat ialah Khalilur Rahman, putra dari Syekh Muhammad Arsyad “Beliau Batu Hampar” yang terkenal itu.

Murid ulama Besar Minangkabau
Syekh Batu Bara merupakan murid dari ulama besar Minangkabau di abad 19, yaitu Syekh Abdurrahman “Beliau Batu Hampar” (Payakumbuh). Syekh Batu Hampar ulama terkemuka dalam ilmu agama, khususnya ilmu Tilawah al-Qur’an dan Tarekat Naqsyabandiyah. Surau beliau di Batu Hampar menjadi basis keislaman sejak pertengahan abad 19, dan sampai saat ini masih berdiri kokoh dikenal dengan “Madrasah al-Manar Batu Hampar”. Maka Syekh Batu Bara menjadi salah satu murid Syekh Batu Hampar yang menonjol selaku ulama.

Perjalanan masa kini
Masa telah berganti. Kita tidak menemui lagi jejak-jejak Syekh Batu Bara di Andaleh, apakah surau, atau pewarisnya, tidak ada penjelasan; yang tersisa hanya sekeping kenangan yang terucap dari lisan orang tua-tua. Andaleh sekarang tetap agraris seperti sedia kala; indah dengan hamparan sawah-sawah menghijau, namun gaung ulama-ulama besar dulu itu tidak lagi sampai ketelinga kita. Negeri ini konon kemudian dihuni oleh keturunan Syekh Abdullah Halaban, yang kemudian menjadi tokoh-tokoh di bidang agama. Andaleh saat ini dikenal sebagai salah satu basis Muhammadiyah di Lima Puluh Kota, disamping Guguak (Kubang) dan Halaban.


Sungai Antuan,
Yang karam dalam laut dosa al-faqir Apria Putra.

Minggu, 30 Juni 2013

Surau Batu Hampar dan Tradisi Sufi Minangkabau

Oleh: al-Haqir Apria Putra
dikutip dari makalah penulis pada Comprehensive Study Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, juni 2013.

Batu Hampar ialah daerah kecil di gerbang selatan Luak Limo Puluah, yang saat ini termasuk teritorial kabupaten Lima Puluh Kota. Sejak abad 19, Batu Hampar dikenal sebagai salah satu sentra pendidikan Islam ala Surau yang terkemuka di Minangkabau. Di sana berdiri sebuah Surau, yang kemudian diidentikkan dengan Surau Batu Hampar, yang merupakan semacam perkampungan bagi urang siak (baca: santri) yang belajar agama. Paling tidak ada dua hal yang menjadikan Surau Batu Hampar menonjol di antara surau-surau lainnya saat itu. Pertama, pendidikan al-Qur’an yang ditawarkannya. Surau Batu Hampar ketika itu menjadi pusat pengkaderan para qari (ahli baca al-Qur’an). Kedua, Surau Batu Hampar merupakan salah satu pusat Tarekat Naqsyabandiyah, yang sampai saat ini tercatat yang tertua.

Sebagai pusat pengkaderan qari, Surau Batu Hampar telah memainkan peran penting dalam menyebarkan ilmu-ilmu yang terkait dengan al-Qur’an, seperti Tajwid, tarannum (lagu al-Qur’an) dan Qira’at. Namun disamping itu, Batu Hampar sebagai pusat tarekat sufi lebih terkemuka, karena pada abad 19 itu Minangkabau terjadi peningkatan aktifitas Tasawuf, yang ditandai dengan populernya ordo Sufi Naqsyabandiyah di dataran tinggi Minangkabau, dan Surau Batu Hampar menjadi salah satu lokus penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah ketika itu. Sebelum kita berbica mengenai hal tersebut lebih jauh, terlebih dahulu kita akan mengenal fase perkembangan Surau ini.

Surau Batu Hampar, dalam perkembangan sejarah Islam di Minangkabau, merupakan prototipe surau dalam arti lembaga pendidikan Islam yang proporsional. Informasi mengenai Surau ini, aktifitas belajar mengajar, denah lokasi, kurikulum, terbilang apik dan cukup lengkap.

Surau ini didirikan oleh Shaykh Abdurrahman (1783-1899), seorang ulama terkemuka di pedalaman Minangkabau. Ia, dalam pengembaraan intelektualnya, menghabiskan waktu hampir setengah abad berpetualang menimba ilmu. Semenjak keberangkatannya di usia 15 tahun, baru pada usia 63 tahun ia kembali ke kampung halamannya. Salah satu kisah dramatis mengenai panjangnya waktu buatnya untuk menuntut ilmu terekam dari kepulangannya tersebut. Ia dikabarkan tidak tahu lagi jalan menuju kampung halamannya, sehingga ia bertanya kepada perempuan tua yang sedang bekerja di pesawahan. Lama berpandangan, ternyata perempuan tua itu ialah ibunya sendiri. Ibu anak ini kemudian berangkulan dengan meneteskan air mata; ibunya selama ini menyangka bahwa si-anak telah wafat karena tidak ada berita, sedangkan si-anak juga menyangka ibunya telah lama wafat, namun keduanya dipertemukan dalam usia yang terbilang senja.

Shaykh Abdurrahman menimba ilmu di berbagai tempat, di antaranya di Gologandang (Batusangkar), Tapaktuan (Aceh) dan Mekah. Di Mekah ia menuntut ilmu selama lebih kurang 7 tahun, termasuk suluk dalam Tarekat Naqsyabandiyah di Jabal Abi Qubaysh. Ia pulang ke kampung halamannya sekitar tahun 1846. Pekerjaan berat pertama yang dilakukannya ialah membina masyarakat. Meski Masyarakat ketika itu telah memeluk Islam, namun segala perintah agama belum dijalankan dengan baik. Shaykh Abdurrahman melakukan pekerjaannya itu dengan bijaksana dan persuasif. Di antaranya, ketika ia menyuguhi tebu kepada anak-anak gembala, ia mengatakan “tebu ini bila dimakan dengan terlebih dahulu membaca basmallah, maka rasanya akan semakin manis”, maka anak-anak gembala-pun melakukan apa yang dikatakan Shaykh Abdurrahman. Dengan demikian sedikit demi sedikit rasa beragama itu ditanamkan kepada anak-anak tersebut.

Prototipe Surau Batu Hampar ketika itu dapat disebut unggul dibanding surau-surau kebanyakan. Lokasi Surau Batu Hampar terletak di areal yang luas yang terdiri dari sebuah Mesjid bergaya Minangkabau yang terletak di tengah-tengah pemukiman, balai pertemuan berupa rumah gadang, surau-surau yang merupakan pondok bagi urang siak berjumlah puluhan mengelilingi Mesjid dan balai pertemuan itu. Tak ketinggalan, dibeberapa tempat terdapat kolam-kolam ikan, selain itu juga terdapat kios-kios bahan makanan, saluran air bersih, berikut petugas-petugas Shaykh yang senantiasa bertugas mengurus urang-urang siak. Melihat kompleksitas Surau Batu Hampar, tak heran bila surau ini untuk masa-masa setelah itu menjadi masyhur, sehingga mampu menarik minat urang siak dari berbagai daerah, bahkan dari luar Minangkabau.

Shaykh Abdurrahman wafat diakhir abad 19. kepemimpinan Surau Batu Hampar kemudian dipegang oleh anaknya, Shaykh Muhammad Arshad, surau Batu Hampar mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Di samping penyempurnaan materi pelajaran, juga diusahakan pembangunan beberapa gedung, seperti menara khas Timur Tengah dan kubah makam. Urang siak dari berbagai daerah semakin ramai belajar agama di Surau Batu Hampar.

Satu kekhasan Surau Batu Hampar, yang masih tetap bertahan hingga saat ini, ialah Suluk Tarekat Naqshabandiyah. Ordo sufi ini termasuk satu tarekat internasional yang tersebar luas diberbagai belahan dunia. Batu Hampar dapat dicatat sebagai salah satu pusat tarekat tertua di dataran tinggi Minangkabau. Hal ini dapat kita lihat dari aktifitas Shaykh Abdurrahman yang dimulai sekitar tahun 1846. Namun, kita tidak mempunyai cukup data mengenai jalur sanad Shaykh Abdurrahman dalam bidang tarekat ini, kecuali selembar ijazah yang dilengkapi cap mahor Shaykh sendiri. Ijazah itu merupakan pemberian Shaykh Abdurrahman kepada anaknya Shaykh Muhammad Arshad, di tahun 1317 H, yang menurut hisab Arius Syaikhi bertepatan dengan hari senin, 23 oktober 1899, sesaat sebelum Shaykh Abdurrahman wafat. Tidak banyak informasi dalam ijazah ini, kecuali berupa wasiat Shaykh Abdurrahman serta beberapa do’a tawajjuh.

Dalam tradisi sufi, begitu juga di Batu Hampar, perjalanan ziarah merupakah salah satu aspek penting terkait dengan peningkatan spritualitas. Ziarah, dalam kamus sufi, bukan sekedar mengingat mati, atau menimbulkan rasa takut sehingga menggiatkan amal, lebih dari itu ziarah merupakan satu bentuk upaya mengunjungi guru atau ulama yang telah wafat. Dalam konteks ini, ziarah bisa dimaknai sebagai pengikat rohani antara sufi yang satu dengan sufi yang lain. Tak jarang, dalam riwayat-riwayat sufi, dalam ritual ziarah terjadi keanehan yang dalam istilah sufi disebut kharij li-al-‘adah (keramat), dimana penziarah bisa bercakap-cakap dengan arwah mayat. Hal ini tidak mengherankan, sebab dalam ilmu tasawuf, ruh seorang mukmin yang bersih, yang tingkat spritualnya tinggi, tetap bisa ber-tasarruf (berkomunikasi) dengan kita di alam dunia.

Tarekat Naqshabandiyah, sebagai ordo sufi yang banyak dianut di dataran tinggi Minangkabau, menekankan pentingnya mempererat hubungan guru-murid. Hal ini tercermin dari salah satu amalan yang selalu dilanggengkan pengikut suluk, yaitu rabit
Salah satu poin penting dalam yang menjadi amalan sufi ialah tawassul. Secara bahasa tawassul berarti al-taqarrub (mendekatkan diri). Sedangkan menurut istilah syara’ terdapat perbedaan defenisi di kalangan ulama. Al-Maliki dalam Mafahim-nya menyebutkan aspek penting terkait pengertian tawassul, yaitu salah satu cara berdo’a, satu bagian dari tawajjuh kepada Allah, maka tujuan hakiki permintaan do’a tersebut ialah Allah. Maka al-Mutawassal hanya sebagai wasatah dan wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pemakaian wasatah sebagai wasilah karena kedudukannya sebagai sesuatu yang mulia disisi Allah. Ketika seorang sufi datang ke makam ulama-ulama saleh, kemudian berdo’a kepada Allah, maka do’anya tersebut didorong oleh karena makam tersebut merupakan makam ulama yang mulia disisi Allah, sehingga barokah dari makam itu menjadi nilai tambah dalam munajatnya.
Oleh karenanya, ziarah bagi seorang muslim, terutama sufi, merupakan fenomena penting. Lebih dari itu, kegiatan safar (perjalanan) ilmiah menjadi salah satu tradisi yang melekat kuat dikalangan tasawuf. Perjalanan ini telah dibarengi dengan perintah Haji, sehingga kegiatan tersebut lebih menjadi bermakna karena digolongkan kepada aspek ibadah.

Abad 17, sebagaimana diutarakan oleh Azra, merupakan gerbang hubungan kosmopolitan dikalangan ulama jawi (baca: Indonesia) dengan Timur Tengah. Jaringan kosmopolitan ini berdampak pada tingginya animo murid-murid dari negeri bawah angin untuk mengembara di Haramain untuk menuntut ilmu, disamping melaksanakan rukun Islam kelima, haji. Belajar di Haramain telah membawa satu dampak bagi pelajar-pelajar tersebut, karena mereka akan secara tidak langsung terhubung dengan beberapa ulama terkemuka sebelum mereka, terutama yang termasuk dalam jajaran sadat al-sufiyyah. Keadaan ini membuat ruang keilmuan mereka melebar, menjadi kosmopolis, bersifat internasional. Ruang keilmuan yang terjalin dengan hubungan isnad kemudian membuat pelajar –dalam konteks ini pelajar dari Nusantara- merasa perlu, bahkan menjadi sebuah keabsahan, untuk menziarahi makam-makam pendahulu mereka itu. Apakah dengan tujuan mengikat diri secara rohani, yang dalam istilah sufi disebut rabitah, atau mengambil manfaat berupa barakah.

Henri Chambert-Loar dan Claude Guillot dalam pengantar kumpulan tulisan, Ziarah dan Wali di Dunia Islam (yang merupakan terjemahan dari Le culte des saints dans le monde musulma), yang mereka sunting menekankan bahwa fenomena ziarah bukan saja soal ibadah dan perilaku agama. Selanjutnya mereka menyebutkan, “aspek sosial dan politik juga tidak kurang penting, antara lain melalui peranan berbagai tarekat.” Kesimpulannya terbukti dengan adanya ritus-ritus sejarah yang dipelopori oleh tokoh berbagai tarekat. Dalam hal ini, Shaykh Muhammad Arshad Batu Hampar menjadi satu contoh penting. Ia merupakan tokoh terkemuka tarekat Naqshabandiyah, yang di-ijazah-i oleh ayahnya Shaykh Abdurrahman al-Khalidi Batu Hampar. Ia memimpin surau, sebuah lembaga pendidikan, merangkap tempat latihan rohani (riyadah, atau dikenal dengan zawiyah) hingga wafatnya ditahun 1924. aktifitas ziarah yang tertekam dalam catatan perjalanannya menjadi penegas bahwa kesufiannya menjadi dasar kokoh dalam safar-safar ziarahnya itu.

Sabtu, 18 Mei 2013

Paderi versus Wahabi: Catatan dari Surau Mengenai Faham Keagamaan Ulama Paderi

Oleh: al-Faqir Apria Putra

Sejarah Paderi yang tersiar.

Paderi merupakan salah satu fase penting dalam sejarah Islam di Minangkabau di awal abad 19. Sejarah mengenai Paderi; mulanya, jalannya peperangan, hingga berakhirnya karir Tuanku Imam Bonjol dengan dibuang ke Menado, telah maklum diketahui dari generasi ke generasi, dibarengi dengan publikasi artikel, jurnal, buku, hasil penelitian mengenai Paderi yang semakin digemari. Publikasi itu telah lama kita dengar, kita baca, apakah dari sumber-sumber Belanda sendiri, sumber pribumi (yang ditulis oleh ilmuan Indonesia sendiri, seperti Radjab, Hamka dan lainnya), hingga manuskrip-manuskrip peninggalan ulama-ulama yang mempunyai keterkaitan dengan Paderi tersebut (seperti manuskrip yang dikenal dengan memori Tuanku Imam Bonjol yang raib setelah festival Istiqlal dua dasawarsa lalu).

Salah satu bagian menarik, dan menggelitik dari beberapa buku yang menguraikan mengenai Paderi tersebut ialah disebutkan bahwa “Paderi ialah Wahabi”. Sebuah pernyataan yang menyentakkan saya, karena bukan hanya dibicarakan oleh orang-orang terkemuka dalam lapangan kesejarahan negeri ini, tapi tertulis rapi dalam buku-buku yang familiar dengan kita seperti “Sedjarah Minangkabau (1950)” dan lainnya. Penyataan ini sekaligus menjadi cemeti bagi sebahagian “kalangan”, dengan niat menekankan pengaruhnya, bahwa di sini, Minangkabau, sejak dahulu Wahabi itu telah ada. Bagaimana 3 orang Haji asal Minangkabau; Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumaniak menyebarkan ajaran baru, hingga merona merekah tersebar ajaran itu di negeri ini. Ini membuat heran kita, selaku orang-orang di Surau, negeri yang menjadi salah satu pusat keislaman di Nusantara ini pernah menjadi sentra gerakan radikal-puritan, membid’ahkan segala yang yang tidak sesuai dengannya; melalap habis tasawuf, memalingkan furu’ syari’ah dari Mazhab Syafi’i menjadi ber-Mazhab ala Ibnu Taymiyah. Benarkah demikian adanya? Bila kita tinjau secara mendalam, berbeda keadaannya 180 derajat antara Paderi dengan Wahabi. Kita urai sekedar dalam tulisan sederhana ini.

Siapa Wahabi. Dari karya-karya klasik yang ditulis semasa dengan gerakan Wahabi di Mekah awal abad 19, seperti “Fitnatul Wahabiyyah” karya Mufti Mekah Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, “al-Shawa’iq al-Ilahiyyah” karya Syekh Sulaiman Sulaiman bin Abdul Wahhab (saudara Syekh Abdul Wahhab al-Najd tersebut), atau buku-buku baru penelitian muslim maupun non muslim sendiri, seperti “al-Wahabiyyah Firqah lil-Tafriqah Baynal Muslimin: Dirasah Tarikhiyyah Syamilah” karya Hamid Ibrahim Abdullah dan “Wahabi Islam: From Revival and Reform to Global Jihad” karangan Natana J. Delong-Bas, diketahui sepak terjang Wahabi sejak permulaan kemunculannya, hingga gerakannya hingga saat ini. Di sini akan kita ringkas. Wahabi dinisbahkan kepada pendirinya Syekh Muhammad ibn Abdul Wahhab al-Najd. Gerakan ini bermula dari pemahaman Syekh Muhammad ibn Abdul Wahhab sendiri, yang nota bene-nya dipengaruhi oleh pemahaman Ibnu Taymiyah. Gerakan ini pernah menguasai Mekah pada awal abad 19, namun tidak beberapa lama setelahnya terusir oleh Syarif Mekah. Dan kembali menguasai Mekah pada tahun 1925. Sampai saat ini, Wahabi menjadi faham resmi Saudi Arabia, dan mereka menamakan sendirinya dengan “Salafi”, sehingga tampak lebih menawan. Dan sekarang lebih canggih lagi setelah populernya Muhammad Nashiruddin al-Albani yang mereka elu-elukan sebagai muhaddis besar malah sampai menyatakannya sebagai Mujtahid Muthlaq; yang kemudian menjadi tameng untuk menjustifikasi ajaran-ajaran yang berseberangan dengannya. Pokok ajarannya, menolak ajaran-ajaran yang berseberangan dengan mereka; seperti tawassul, ziarah, tasawuf berikut tarekat-tarekat yang ada, taqlid kepada imam-imam mazhab (meski mereka mengaku diri bermazhab Hanbali), Maulid Nabi, I’tikad Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy’ari dan Maturidi), dan banyak lagi lainnya. Semua yang berseberangan, dengan mudah, dilabeli dengan “bid’ah”.
Kemudian bagaimana dengan Paderi?

Paderi, Samakah dengan Wahabi?

Dari beberapa buku tulisan orang-orang negeri bawah angin ini kita baca, sebahagian darinya menekan betul bahwa Paderi ialah Wahabi sendiri, dalam artian berfaham sebagaimana faham Wahabi yang kita paparkan di atas. Benarkan demikian adanya.

Hamka, sebagai seorang tokoh yang gandrung dengan pembaharuan, menulis dalam “Ayahku”, yang kemudian dipertegasnya dalam “Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao” (buku bantahan terhadap “Tuanku Rao” yang ditulis Parlindungan), bahwa 3 Haji yang bersinggunggan dengan kondisi sosial Mekah ketika Wahabi menyerang Mekah mendapat inspirasi. Inspirasi untuk menegakkan agama sebagai orang-orang Wahabi yang keras. Ketika mereka pula ke kampung halamannya, semangat itulah yang dibawa untuk menghentikan sabung ayam, minum tuak, judi dan lainnya (baca “Ayahku”, 1982, hal. 14-15). Namun apakah ketiga Haji, kemudian diejawantahkan oleh Tuanku nan Renceh dan Harimau nan Salapan perpaham ala Wahabi pula? Ternyata tidak. Hamka meneruskan dalam “Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao”, bahwa semenjak dahulu Mazhab Syafi’i telah berurat berakar di Minangkabau khususnya, Nusantara umumnya. Artinya, meski Paderi dikenal radikal dalam tindakan, namun secara faham keagamaan tidak ada yang berubah. Dan kita menemukan banyak bukti tentang hal itu, di sini kita lansir sekedar.

(1) Paderi dan Tarekat.

Keberadaan Tasawuf, sebagai salah satu cabang keilmuan terpenting dalam Islam telah jauh ada di Minangkabau, semenjak Islam itu masuk ke daerah ini. Munculnya gerakan Paderi di awal abad 19 ternyata tidak merubah kentalnya ajaran Tarekat (Tasawuf) di daerah ini. Ini kita lihat, dari perihal kehidupan tokoh-tokohnya sendiri. Tuanku nan Tuo (1723-1830), dikenal sebagai ulama yang lautan ilmu, dikenal luas sebagai Wali-Allah yang bertuah. Dalam satu catatan langka, catatan dari Syekh Jalaluddin Cangkiang (muridnya) yang masih berbentuk manuskrip, kita ketahui bagaimana sosoknya yang menjadi “tempat menimba ilmu, fatwa dan bernazar” (manuskrip tersebut telah berusia hampir 2 abad, tersimpan di Surau Calau Sijunjung). Beliau telah menerima tarekat Syattariyah dari Syekh Mansiangan yang Tuo, silsilahnya bersambung kepada ulama besar Syekh Burhanuddin Ulakan (semua informasi ini dalam “Surat Keterangan Syekh Jalaluddin Ahmad” yang terbit dalam “Verhaal van den Aanvang der Padri-Onlusten op Sumatera”, 1857). Salah satu cabang keilmuan yang diajar, di samping fikih, tafsir, ma’ani dan lainnya, oleh Tuanku nan Tuo ialah Tasawuf, dengan mengajarkan tarekat Syattariyyah ini. Sebagian murid-muridnya inilah yang kemudian menjadi penggerak Paderi, di antaranya Tuanku nan Renceh dan Harimau nan Salapan. Meski mereka tidak sependapat dengan gurunya yang konservatif, namun mereka tidak membantah keilmuan Tuanku nan Tuo. Begitu juga, Syekh Jalaluddin Cangkiang, dikenal dengan tokoh awal Tarekat Naqsyabandiyah di Darat (ini dibicarakan oleh banyak sumber, seperti dalam “al-Miftah al-Shadiqiyyah”-nya Syekh Chatib ‘Ali). Selain itu, pasukan Paderi, di antaranya ialah Syekh Ibrahim bin Pahati Kumpulan, seorang ulama besar yang kemudian dikenal sebagai tokoh Tarekat Naqsyabandiyah di Sumatera. Kesemuanya adalah ulama yang berpegang dengan Ahlussunnah wal Jama’ah dan Mazhab Syafi’i (Baca “Syair Syekh Ahmad Jalaluddin Cangkiang”, manuskrip).

Jelas bahwa, Tarekat dan Paderi bergandeng kuat; dengan tarekat itu pula mereka berjuang (kemudian) melawan Holanda. Hal ini diperkuat, bila kita sempat berjalan-jalan ke kawasan Bonjol, Lintau, Lima Puluh Kota, dll, kita akan temui daerah itu sebagai pusat Tarekat-Tarekat yang diwariskan dari ulama ke ulama semenjak dahulu.

(2) Paderi dan Maulid Nabi.

Syekh Jalaluddin Ahmad Cangkiang, menulis (dalam sumber pribumi yang menjadi rujukan sejarah) dalam “Surat Keterangan”, bahwa dimasa Paderi inilah dimulai perayaan Maulid Nabi (baca “Verhaal”). Dengan ini, Schrieke, sarjana Filologi dan Sosiologi dimasa Belanda menegaskan bahwa Paderi bukanlah Wahabi.

(3) Paderi, Makam Keramat dan Mantera.

Juga berdasarkan saksi mata Paderi, Syekh Jalaluddin Cangkiang, beliau menulis bahwa Paderi tidak menegahkan berziarah kepada makam-makam ulama yang dianggap keramat (baca “Verhaal”). Ini kemudian bisa kita saksikan makam pejuang-pejuang Paderi yang dapat kita lihat, semuanya dibuatkan kubah, dan diziarahi layaknya ulama-ulama sufi. Misalnya Makam Tuanku nan Garang di Pandai Sikek, Haji Piobang di Payakumbuh dan Tuanku nan Garang di Harau, mereka dikenal masyarakat sebagai tokoh-tokoh Tasawuf. Bahkan dikabarkan bahwa dimasa Tuanku nan Renceh inilah populernya mantera-mantera berbahasa Minang yang kental unsur Islamnya. Tentu hal ini 180 derajat membelakangi Wahabi. Lagi, bila kita lihat peninggalan bekas tangan Tuanku Imam Bonjol, kita temui beberapa manuskrip mengenai pengetahuan hari baik dan hari buruk, ilmu Mantiq, dll, tentu semakin membuat jelas.


(4) Riwayat Paderi: Riwayat Sufi-Sufi.

Bila tuan membaca scrip (tulisan) asli mengenai sejarah Paderi, niscaya kita akan melihat kisah-kisah jalannya gerakan ini seperti riwayat sufi-sufi. Ini misalnya ketika membaca “Surat Keterangan”, “Nazham Syekh Jalaluddin”, “Memori Tuanku Imam Bonjol”, dll, semuanya (kecuali yang terakhir) masih dalam bentuk manuskrip, tulisan tangan dengan huruf Arab Melayu.


Walhasil.

Kembali kita kutip analisa Hamka dalam “Antara Fakta”nya, bahwa ketiga Haji (pelopor Paderi) itu memang terpengaruh Wahabi, namun mereka tidak mengikuti mazhab Hanbali (mazhab-nya Wahabi). Berikut schrieke berujar, pengikut Islam yang ketat bukanlah Wahabi. Hasilnya, Paderi, sepakat kita akui awalnya sebagai gerakan radikal dalam menegakkan syari’at (shalat, shalat berjema’ah, puasa, meninggalkan maksiat dan lainnya), yang kemudian menjadi perjuangan mengusir penjajah Belanda. Namun, perlu kita tekankan, meski 3 Haji terinspirasi oleh radikalisme Wahabi di Mekah, Paderi tidak mengambil faham Wahabi sebagai ideologi perjuangannya; mereka tetap ber-Ahlussunnah wal Jama’ah, bermazhab Syafi’i dan ber-Tarikat sebagai sedia kala, dan itulah yang diwariskan dari ulama ke ulama, hingga saat sekarang ini. Kesimpulan ini akan sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Prof. Adrianus Chatib dalam disertasinya “Paderi dan Faham Keagamaan di Minangkabau” (1991, yang sampai saat ini belum dipublis).

Tulisan ini saya niatkan sebagai pembangun teman sepetiduran di Surau; supaya terjaga, menggenggam erat-erat Ahlussunnah wal Jama’ah yang diwariskan ulama-ulama silam di negeri seribu ulama ini. Menginggat, semakin maraknya propaganda dari teman-teman kita yang telah menompang biduk yang asing, sepulang Kairo, di mana mereka hendak menyisihkan Surau, membelakangi Ahlussunnah wal Jama’ah yang mayoritas diperpegangi oleh ulama dan kaum Muslimin di dunia, hendak menukar itu semua dengan faham Salafi-Wahabi. Ingat, meski mendapat diploma al-Azhar, mereka yang berfaham seperti itu bukanlah orang yang menimba ilmu kepada ulama-ulama al-Azhar, tapi belajar di halakah-halakah Salafi-Wahabi yang bertebaran di luar al-Azhar.
Semoga terjaga dari lelap, wahai Urang Siak!!!

Dalam khalwat yang hening,
Jakarta.

Selasa, 02 April 2013

Syekh Harun al-Rasyidi at-Tobohi al-Fariyamani (w. 1959) dan karya tulisnya

Oleh: al-faqir al-haqir Apria Putra

Toboh, seperti daerah-daerah lainnya di Pariaman, merupakan kampung yang agamis. Daerah Toboh berdekatan dengan pusat-pusat keislaman basis tarekat Syattariyah masa lalu, seperti Bintungan Tinggi dan Lubuak Ipuah. Bintungan Tinggi dikenal dengan “Surau Baru Bintungan Tinggi”, pusat pendidikan Islam dengan ulamanya yang masyhur Syekh Abdurrahman Bintungan Tinggi. Demikian juga Lubuak Ipuah juga merupakan salah satu sentra pendidikan Islam, tentunya kita kenal “Surau Lubuah Ipuah” dan “Syekh Lubuak Ipuah”.

Dari Toboh, lahirlah seorang tokoh ulama yang terkemuka di masanya. Beliau tidak banyak dikenal dengan generasi muda saat ini, namun beliau telah meninggalkan bekas tanggan, berupa jasa-jasa terhadap Islam dan ilmu pengetahuan bagi generasi kita saat ini. Tokoh ulama tersebut ialah Syekh Harun al-Rasyidi al-Tobohi al-Fariyamani. Kata-kata al-Tobohi al-Fariyamani merupakan nisbah beliau, berupa kampung halaman yang diabadikan pada namanya, yang berarti Syekh Harun al-Rasyidi yang berasal dari negeri Toboh di Pariaman.

Dalam inskripsi makam beliau, Syekh Harun Toboh diketahui wafat pada tahun 1959. Mengenai masa kecil beliau dan pengembaraan menuntut ilmu masih tertutup kabut sejarah. Namun mengenai perjuangannya dalam bidang agama masih dibaca oleh orang tua-tua dan masih tertulis dalam catatan-catatan lama.

Beliau –Syekh Harun Toboh- merupakan salah seorang ulama yang mengajar pada Diniyyah School, yang merupakan sekolah agama yang dikelola oleh Jam’iyyah Tarbiyah al-Khairiyyah al-Islamiyyah, di kampung Sunur. Pada sekolah agama ini beliau berstatus sebagai “akbar khadim thalabah al-Ilmi”, yaitu “guru besar”. Sunur, daerah tempat Diniyyah School ini berdiri, ialah salah satu negerinya ulama. Di abad 19, dikenal di kampung Sunur ini seorang ulama yang masyhur yaitu Syekh Daud Sunur, dengan karangannya yang monumental “Sya’ir Sunur” dan “Sya’ir Mekah Madinah”. Selain mengajar agama di Sunur, Syekh Harun Toboh juga mengajar agama di Batipuah, Pedalaman Minangkabau. Tepatnya di “Surau Lubuak Bauak”, Syekh Harun menggelar pengajian. Sampai beliau wafat di tahun 1959 dan dimakamkan di sini, Batipuah.


Foto: Surau Lubuak Bauak

Mengenai pribadi Syekh Harun Toboh, Buya Hamka (Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah) pernah bersua dengan Syekh Toboh di masa Belanda, dalam bukunya “Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao” menyebutkan Syekh Toboh sebagai ulama terkemuka di masa itu. Dr. Schieke, seorang orientalis kebangsaan Belanda yang lama bercokol di Minangkabau, dalam Bijdrage van de huidige godsdienstige beweging ter Sumatra’s Westkust (TBG 59,1919-1921) menyebutkan Syekh Harun Toboh sebagai ulama pejuang dari kalangan “Kaum Tua” lewat karya-karyanya, dan punya andil dalam perdebatan antara ulama modernis dan ulama tradisional di Minangkabau.

Sebagai ulama tempo dulu, Syekh Harun Toboh, bukan hanya dikenal karena keaktifannya mengajar agama, tapi juga produktif menulis karya-karya. Dalam catatan saya, terdapat 4 karya Syekh Harun Toboh yang dapat diinventaris. Karya-karya itu ialah (1) Falahan Mubtadi, sebuah karya apologetis, yang dicatat Schieke sebagai bantahan terhadap ulama modernis (kaum muda), (2) Sejarah Syekh Burhanuddin Ulakan, yang dipakai oleh Hamka sebagai rujukan mengenai biografi Syekh Burhanuddin Ulakan, (3) Mafatih al-Fikriyyah fi al-Ilm al-Manthiqiyyah, dan (4) Mafatih al-Mabahist fi Istilah al-Ahadist.

Mengunjungi Batipuah, ke surau Lubuk Bauak dan ziarah ke makam Syekh Harun Toboh.


Pada juni tahun 2011, saya sempat mengunjungi Surau Lubuak Bauak dan berziarah ke makam Syekh Harun Toboh di Batipuah. Dalam kunjungan itu saya bertemu dengan penjaga Surau Lubuak Bauak, seorang tua, yang ketika ditanya hanya menjawab “o... Haji Harun”. Penjaga Surau itu tidak lagi kenal dengan pribadi Haji Harun tersebut, namun ia menyodorkan satu kitab tua yang disimpannya sebagai kenang-kenangan, entah peninggalan Syekh Harun. Kitab itu ialah Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd cetakan lama, sebuah kitab perbandingan mazhab fiqih.


Foto: Saya (kiri) bercakap-cakap dengan penjaga Surau Lubuak Bauak.

Lama bercerita, sambil menikmati keunikan Surau Lubuak Bauak, yang saat ini telah menjadi salah satu cagar budaya. Penjaga surau kemudian membawa kami untuk menziarahi makam Syekh Harun Toboh. Makam itu terletak di tebing, di seberang Surau, yang harus ditempuh dengan mendaki semak belukar. Di atas tebing terdapat banyak makam yang tidak terurus lagi. Beberapa di antaranya ialah makam ulama yang tidak diketahui lagi siapa, hal ini ditandai dengan dinding dan nisannya yang unik. Makam Syekh Harun terletak di tengah-tengah, dalam kondisi juga ditumbuhi rumput liar.


foto: Makam Syekh Harun Toboh

Di sini, saya sempat membaca al-Fatihah dan berdo’a untuk beliau, al-Marhum.

Dua Karya Syekh Harun Toboh: Mantiq dan Musthalah

Terdapat dua karya Syekh Harun Toboh yang terbilang unik. Saya katakan unik karena jarang ulama-ulama Minang di masanya yang menulis karya mengenai bidang keilmuan ini, yaitu ilmu Mantiq dan ilmu Mustalah Hadist.

Dua kitab karya Syekh Harun Toboh mengenai dua fan keilmuan ini ialah, 1- Mafatih al-Fikriyyah fi al-Ilm al-Manthiqiyyah (kunci-kunci berfikir, dalam ilmu mantiq), dan 2- Mafatih al-Mabahist fi Istilah al-Ahadist (kunci-kunci dalam membahas masalah, dalam menjelaskan istilah-istilah hadis). Bersyukur, saya menjumpai dua karya langka ini, tepatnya di Balai Gurah, Ampek Angkek, Agam.

Ilmu Mantiq (Logika), atau disebut juga ilmu Nazhar, ialah salah satu ilmu alat yang mesti dimiliki oleh seorang ahli agama. Ilmu ini berdekatan dengan ilmu Ushul Fiqih. Secara sederhana Mantiq merupakan ilmu yang membahas metode berfikir lurus, logis, sehingga terhindar dari pemahan yang salah dan fikiran yang keliru. Kegunaan ilmu ini di antaranya untuk berhujjah, mempertahankan argumen didepan para mu’taridh (orang yang membantah). Ulama-ulama minang tempo dulu, khususnya, sangat menekuni ilmu ini, disamping belajar ilmu-ilmu agama lainnya secara mendalam.



Selain Mantiq, ilmu Mustalah Hadis merupakan ilmu alat lainnya yang mesti dimiliki oleh seorang yang ahli agama. Ilmu ini membahas kedudukan satu hadis, apakah hadis itu sahih, hasan atau dha’if. Biasanya keilmuan ini, dikalangan ulama-ulama silam, didalami dengan segenap aspeknya, sebelum memberikan fatwa di tengah-tengah masyarakat.

Syekh Harun Toboh, mengarang dua karya dalam disiplin ilmu ini. Seperti tertera pada mukaddimah, karya-karya ini ditulis untuk membantu “urang-urang siak” (baca: santri) dalam memahami dasar-dasar ilmu Mantiq dan ilmu Mustalah Hadist, sebelum melangkah mendalaminya lewat kitab-kitab muthawwalat (kitab-kitab besar).

Mafatih al-Fikriyyah dan Mafatih al-Mabahist karya Syekh Harun Toboh diterbitkan pada tahun 1928, diterbitkan oleh penulis sendiri dan Syarikah Muhammad Thayyib ibn Haji Ahmad Pasir Baru Padang Panjang. Dicetak oleh Mathba’ah Tsamaratul Ikhwan, Fort de Kock (Bukittinggi).

Demikian tipikal ulama-ulama silam, sebagai terpotret dalam pribadi Syekh Harun Toboh Pariaman. Semoga menjadi kaca bercermin bagi kita, disamping meneladani ulama lalu.


Ciputat, Jakarta.
Jum’at, di waktu Dhuha, 5 Jumadil Awwal 1434 H /15 Maret 2013.