Rabu, 17 Oktober 2012

ber-Nazham (bersya'ir): Tradisi mengaji di Surau Minangkabau

Oleh: al-Faqir Apria Putra

Hampir setiap sore terdengar lantunan nazham dari santri-santri, terdengar merdu dengan ritme dan alunan suara yang khas. Kadangkala mereka melantun nazham al-Baiquniyah, karya populer mengenai ilmu Mustalah Hadist, kadangkala nazam Adab al-Thullab, mengenai tata krama menuntut ilmu. Pada hari-hari tertentu dilantunkan nazham istighasah. Sungguh menarik, menggugah hati untuk kembali giat menuntut ilmu agama. Begitulah suasana di tempat saya tinggal, di rantau orang, persis di sebelah Darus Sunnah International Institute for Hadith Sciences, pondok pesantren Mahasiswa khusus pendalaman ilmu Hadist yang dipimpin oleh Prof. DR. KH. Ali Mustafa Ya’qub, imam besar Mesjid Istiqlal itu.

Seketika itu, teringat hati akan kampung halaman yang jauh di sana, Minangkabau. Demihal mendengar nazham-nazham santri Darus Sunnah, aku terkenang akan surau, akan kitab-kitab tua yang ku baca, dan orang-orang alim di Minangkabau dimasa lalu. Jika kita kembali ke surau, tidak berbeda keadaannya. Surau dengan segala hal ihwalnya telah menjadi lahan tumbuhnya tradisi-tadisi keagamaan yang luar biasa kayanya. Termasuk ber-nazham, dendang ilmu pengetahuan yang mengakar pada sistematika dan estetika sya’ir Arab.

Secara umum nazham (secara bahasa berarti susunan) hampir sama dengan sya’ir (dalam istilah sastra Arab dibaca Syi’ir). Ungkapan kalimat yang indah, mempunyai ritme, intonasi teratur dan susunan yang metris. Perbedaannya, Sya’ir lebih kepada ungkapan hati si-penggubah, disertai lompatan-lompatan khayal yang terangkum dalam kalimat yang penuh ungkapan majaz. Sedangkan nazham, meskipun disusun seperti halnya sya’ir Arab, namun muatannya bersifat ilmiah, sehingga seringkali nazham disebut dengan nazham ‘ilmi. Namun untuk konteks nusantara, Minangkabau khususnya, antara nazham dan sya’ir tidak terlalu dibedakan. Bisa saja istilah sya’ir untuk ungkapan bermuatan ilmiah, seperti Sya’ir Burung Nuri (pengajaran ilmu al-Qu’an), dan nazham untuk ungkapan yang penuh khayal seperti Nazham Kanak-kanak.

Ulama-ulama silam lebih senang menulis karya dibidang keilmuan agama dengan memakai susunan sastra, salah satunya nazham. Karya-karya ini biasanya ditujukan untuk penuntut-penuntut ilmu pemula. Karya-karya pemula ini dikenal dengan istilah matan. Tapi kita mesti tahu, bahwa walaupun karya-karya itu ditulis ringkas, biasanya para ulama silam memakai kalimat ringkas dan padat, serta simbol-simbol dalam karya itu, sehingga kalau satu karya itu di-syarah (diuraikan) bisa menjadi berjilid-jilid kitab. Banyak kitab matan dalam bentuk nazham yang tersebar di Nusantara, misalnya matan Zubad (fiqih), matan Alfiyah (gramatikal Arab), matan Baiquniyah (Ilmu Mustalah Hadist), Jauhar al-Maknun (Balaghah-Strilistika), ‘Imrithi (Nahwu), nazam al-Maqsud (Sharaf), matan Sullam (mantiq-Logika), ad-Durr al-Yatimah (Nahwu) dan lain-lainnya. Karakteristik Nazham ini sama, memakai susunan sya’ir dan ditulis dalam bahasa Arab.

Di Nusantara, selain diajarkan kitab-kitab matan di atas, para ulamanya juga mengadopsi gaya penulisan nazham Arab ini ke dalam tradisi lisan dan tulisan mereka. Tetap bernama nazham, namun telah memakai bahasa Melayu. Setidaknya ada beberapa aspek dari Nazham Arab yang melekat dalam Nazham Melayu, yaitu (1) tata letak penulisannya yang masih serupa dengan sya’ir dan nazham Arab, dengan memakai sathar awal (penggal pertama) dan satar akhir (penggal kedua), (2) memakai jumlah suku kata yang berjumlah sama antar bait, seperti taf’ilah pada Sya’ir Arab, (3) akhir suku kata tiap kalimat yang sama, seperti qawafi pada sya’ir Arab.

Kembali kita kepada Minangkabau. Di Minangkabau, ber-nazham (ber-sya’ir) merupakan
satu tradisi yang khas dari ulama-ulama surau. Dalam memberikan pelajaran dasar kepada orang-orang siak (baca: santri), ulama-ulama surau mengarang sya’ir-sya’ir untuk memudahkan penghafalan, selain itu berguna untuk menyemangati murid-murid dengan bersenandung bersama-sama ketika belajar. Selain itu gaya bersya’ir juga digunakan untuk menjelaskan kisah perjalanan, riwayat dan ilmu tasawuf yang tinggi-tinggi. Hal ini membuktikan betapa ber-nazham (ber-sya’ir) menempati posisi penting paling tidak dalam dunia tulis menulis kala itu. Kita dapat melihat bahwa betapa karya-karya sya’ir Syekh Daud Sunur Pariaman begitu digemari, sehingga dicetak berulang-ulang kali di berbagai tempat. Atau nazham-nazham karangan Labai Sidi Rajo Sungai Pua tetap dapat pasaran sampai saat ini. Dalam satu katalog kitab-kitab yang dijual di toko kitab Haji Ahmad Chalidi Bukittinggi pada awal abad XX, kita lihat betapa karya-karya sya’ir (nazham) mendominasi dibandingkan karya-karya prosa.

Kita dapat mencatat beberapa tokoh ulama besar Minangkabau yang menjadikan nazham sebagai tren karya-karyanya. Di abad XIX tersebut nama ulama terkemuka di Pariaman, Syekh Daud Sunur (kajian tentang sya’ir-sya’irnya telah dilakukan salah satunya oleh Suryadi, Leiden) yang menulis sya’ir populer, sya’ir Sunur dan sya’ir Mekah Madinah. Selain tokoh ini kita catat Syekh Isma’il al-Minangkabawi, ulama yang sukses berkarir di Mekah, beliau banyak menulis Nazham dalam bahasa Arab yang menunjukkan tingkat intelektualnya yang tidak bisa diabaikan. Di antara karyanya Nazham al-Miqat an-Naqsyabandi, Nazham Silsilah Naqsyabandi dan lainnya. Tokoh ulama besar lainnya, Syekh Jalaluddin Cangkiang, menulis Nazham menunjukkan tuah kebesaran Tuanku Koto Tuo. Dan yang terakhir yang kita catat, nazham-nazham Buya Mansuruddin Tuanku Bagindo Lubuak Ipuah, yang konon masih dibaca dan didendangkan oleh komunitas terbatas.

Pada awal abad XX terdapat banyak karya-karya Nazham kita temui. Tersedianya informasi yang banyak mengenai nazham-nazham ulama di awal abad XX ini disebabkan karena karya-karya itu dicetak dan diedarkan secara luar di berbagai daerah. Di sini kita catat karya-karya Nazham yang populer, seperti Nazham Darul Mau’izhah tertang apologetis tarekat Naqsyabandiyah karya Syekh Bayang, Nazham Thalaq al-Shalah karya Qasim Bakri Talawi, Nazham Sifat Dua Puluh yang ditulis oleh beberapa tokoh. Syamsul Hidayah karya Syekh Abdul Karim Amrullah. Salah satu ulama yang intens menulis dengan Nazham dalam karya-karyanya ialah Syekh Sulaiman ar-Rasuli Candung, diantaranya Kitab Enam Risalah, Dawa’ul Qulub, Tsamarat al-Ihsan, Sya’ir Yusuf dan Ya’qub dan lain-lainnya.

Ulama Tasawuf dan kegemaran ber-Nazham

Dalam beberapa manuskrip karya ulama Minangkabau kita temui berbagai nazham (sya’ir) yang ditulis dengan penuh keindahan. Nazham-nazham yang memiliki muatan yang“dalam”, penuh filosofi dan dirangkai dengan kata-kata indah tersebut biasanya ditulis oleh ulama-ulama sufi untuk menjelaskan pelajaran tasawuf.

Kita teringat dengan Sufi besar yang bermakam di Damaskus, yang digelari Syekh Akbar (Guru besar) dan Kibrit Ahmar (Belerang merah), yaitu Ibnu ‘Arabi. Sya’ir-sya’ir tasawuf-nya telah berpengaruh luas diberbagai belahan dunia, diakui bukan hanya para ulama juga para orientalis yang terpiut dengan karya ini, dan menjadi prestise reputasinya yang memang luar biasa. Sya’ir-sya’irnya sangat indah menawan, dirangkai dengan kata-kata yang indah, balaghi yang tinggi. Satu hal yang perlu digarisbawahi dari sya’ir-sya’ir yang sufi ini ialah ramziyyah (simbol) yang digunakan. Pembaca yang tidak mengerti akan “rumuz” (simbol) niscaya akan tersesat membaca karya-karyanya ini. oleh karena itu sampai saat ini masih banyak, baik para akademisi yang mencap Ibnu ‘Arabi sebagai tokoh yang ghulat (sesat), karena antologi sya’ir-nya Tarjuman al-Asywaq (diterbitkan oleh RA. Nicholson dalam The Tarjuman al-Ashwaq: a collection of Mystical odes by Muhyiddin Ibn ‘Arabi, 1911) yang dianggap menyimpang. Hamka sendiri dalam Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya menyindir “pengajian” Ibn ‘Arabi dengan judul “cinta membawa larat”, beliau menyebut sang sufi sebagai pencetus panteis dengan teori wahdah al-wujud. Sampai dimana kebenaran ungkapan Hamka? Apakah Ibnu ‘Arabi meyakini bersatu dua zat yang berbeda??? Sudahkah Hamka membaca Dzakha’ir al-A’laq syarah Tarjuman al-Asywaq (terbit di Beirut, 1891) itu? Kita dapat menduga.

Hamzah Fansuri, Sufi besar Aceh sekaligus pujangga mistik Melayu sepanjang masa, juga dikenal dengan sya’ir-sya’ir-nya (nazham) yang penuh simbol, disusun dengan kata-kata sarat estetik dan bermakna dalam.

Dalam al-Hubb al-Ilahy fi Tasawuf Islamy, Dr. Muhammad Mustafa Hilmi menyebutkan sebab dibalik kegemaran ulama sufi menulis sya’ir yang indah-indah itu. Beliau mengemukan: “semuanya karna cinta”. Cinta kepada ilahi menjadi menjadi ghayah (tujuan) utama dari hidup kesufian. Cinta menjadikan semuanya indah. Dengan cara apapun, para sufi ingin menyampaikan keindahan-Nya itu, apakah tulisan-tulisan indah (kaligrafi), puisi-puisi menawan, untaian kata-kata indah bersayap yang penuh makna. Maka hadirnya karya-karya sastra sufi besar, antologi-antologi sya’ir dalam bertuk matsnawi, ruba’i, qashidah dan lainnya.

Begitu pula ulama-ulama sufi di Minangkabau, mereka cenderung bertutur dan menulis dengan kalimat-kalimat sastra; penuh simbol. Ulama-ulama yang produktif menulis nazham (sya’ir) di Minangkabau kebanyakannya ialah ulama-ulama tasawuf belaka. Di sini kita akan melihat 2 nazham yang sarat dengan estetik dan simbolik, yaitu Sya’ir Nuraniyyah Rabbaniyyah dan Sya’ir Ma’rifat.

Sya’ir Nuraniyyah Rabbaniyyah masih berupa manuskrip yang dtulis dengan Arab Melayu. Penulisannya di-nisbah-kan kepada seorang ulama sufi di Alahan Panjang, Tuanku Syekh Talang Babungo. Sya’ir ini menguraikan tasawuf tingkat tinggi (muntahi). Di antara cuplikan sya’irnya:

Wa fi dubdari alam sempurnanya
A’udzubillah penolak balanya
Bismillah itu hendak disya’irkannya
Supaya ‘asyiq segala saudaranya

Johan perkasa Syah(i) alam
Menentang qaba qausain pada siang dan malam
Ke bahrul adam ia tenggelam
Bijaksana dzuq-nya dalam

Tuanku daulat sultan andar (?) bangsawan
Masyhur terbilang lagi perempuan
Pengasih penyayang lagi pahlawan
Kepada ma’rifat jua tertawan
…………
Hendaklah kau pandang kapas dan kain
Bangsanya satu namanya berlain
Satukah allahumma zhahir dan batin
Itulah ilmu kesudahan main
…………
Hendaklah engkau pejamkan kedua matamu
Gilang gumilang rupa[m]u
Itulah cahaya karunia Tuhanmu
Bukannya cahaya tubuh dan nyawamu

Nur yaqin sangat cahayanya
Tanda cahaya dari pada sebenarnya
Anbiya’ dan auliya’ di sanalah hari rayanya
Lailatul qadar-pun namanya
……………

Sya’ir Ma’rifat Tuanku Aluma Koto Tuo, manuskrip salinan Tuanku Isma’il. Di dalamnya terlihat filosofi yang “dalam” dari sebuah sya’ir ulama Minangkabau:

……………
Jalan syari’at sebelum hiasi
Dimana dapat jalan mengingati
Dinding yang tebal sebelum hanci
Mustahil hamba dapat badami

Siapa tuan ma’rifat hakikat
Jalan yang panjang hendaklah lipat
Halus dan kasar jangat bertekat
Siapa sanang kita melompat

Pandang muntahi bukan melangkah
Hanyalah adam sempurna fanah
Dari pada mengingati sudahlah lengah
Tiada sana kenal mengenal[lah]

Patutlah ia bernama qadim
Halus dan kasar sudahlah licin
Dihadirat Allah hanya bermain
Apa kehendak sudahlah amin

Jalan syari’at sebelum terang
Diam disana jadi belarang
Tidak siapa tempat berpegang
Hanyalah amal tempat menompang

Maqam ma’rifat bukanlah begitu
Hanyalah wahid jamaknya satu
Zhahir dan batin pandangnya satu
Tiada berlarang diam disitu
…………
Begitulah ulama tasawuf mengepresikan keindahan dalam bait-bait penuh makna. Di mana menjadi sebuah tren kehidupan Surau Minangkabau di masa lalu.

Kamis, 23 Agustus 2012

Mengenang Sjech Zakaria al-Anshari Labai Sati Malalo (1908-1973): Ahli Ushul dan Mantiq, Pemuka Tarikat Naqsyabandiyah di tepian Singkarak

Dituliskan berdasarkan perjalanan ziarah ke MTI Malalo dan Makam Syekh Zakaria Labai Sati, Juni 2010 dan 3 juni 2011. Dilengkapi keterangan dari catatan-catatan sejarah.
Oleh : Yang Dha’if Apria Putra

Foto: al-Marhum Syekh Zakaria Labai Sati Malalo
(Foto koleksi Buya Tigo Jangko, Lintau)

Bila kita berjalan-jalan di tepian Danau Singkarak, disamping kita disuguhi rumah-rumah gadang yang masih asli dan pemandangan alam yang permai, kita akan menemui satu komplek pendidikan Islam yang terbilang tua. Lembaga ini dimasa kejayaannya mempunyai pengaruh yang luas dan nama yang harum dikalangan masyarakat Minangkabau, yang menjadi salah satu tempat pengkaderan yang menghasilkan banyak ulama dan pejuang agama di berbagai daerah ranah Andalas ini. Lembaga pendidikan itu ialah “Madrasah Tarbiyah Islamiyah” (saat ini sebutan “Madrasah” diganti dengan “Pondok Pesantren” sesuai tuntutan Departemen Agama, padahal sebelumnya nama “Pondok Pesantren” tidak dikenal di Minangkabau, baru beberapa dasawarsa terakhir pemerintah memujuk-mujuk Madrasah-madrasah kita buat jadi “Pondok Pesantren” yang lebih berciri Jawa itu), yang terdapat di Padang Lawas, Malalo.

Pendidikan Islam tradisional yang telah berusia hampir seabad ini telah memainkan peran pentingnya dalam transmisi keilmuan Islam, dan mempunyai nama besar di kalangan ulama-ulama dan masyarakat Minangkabau. Di masa keemasannya, bukan hanya “urang-urang siak” (sebutan santri di Minangkabau) dari berbagai wilayah Minangkabau yang menuntut ilmu di lembaga ini, bahkan ada yang dari negeri yang jauh-jauh, seumpama Aceh. Selain itu tercatat tokoh-tokoh yang lahir dari MTI ini, yang sebahagian besarnya menjadi pejuang agama yang taguh dan pelanjut tradisi pendidikan Islam, penyambung estafet keulamaan di kemudian hari. Siapa tokoh dibalik kebesaran nama “Malalo” sebagai kota “Urang siak” tersebut? Yang telah menjadi pengerak utama Madrasah ini dan mata air ilmu di lembaga ini? Dialah ulama besar yang berenang di laut ilmu, yaitu Syekh Zakaria Labai Sati Malalo, “Alim Allamah”, salah seorang dari pendekar Naqsyabandiyah di Darek.

Demi mengenang hidup beliau, mengingat tokoh yang mempunyai dedikasi yang tak termungkiri dalam transmisi keilmuan Islam yang bertitik tolak kesinambuangan intelektual, maka sangat perlulah kita menilik biografi intelektual beliau, supaya menjadi kaca tempat bercermin terhadap kejayaan Islam masa lalu, dan supaya pula timbul rasa “ta’zhim” akan pejuang-pejuang agama di tanah Minang ini adanya.

Syekh Zakaria, dilahirkan di Padang Lawas Malalo, 1908. Nama kecil beliau ialah “Buyuang”, masyarakat luas mengenalnya dengan panggilan “Buyuang Malalo” saja. Kehidupan masa kecilnya, seperti layaknya anak-anak seusianya, mengaji ke surau di kampung halaman menjadi langkah awal sebelum menuntut ilmu di tempat yang jauh-jauh. Pada tahun 1916 sampai 1918, oleh orang tuanya diserahkan bersekolah pada Sekolah Rakyat (SR) di Pasar Malalo. Setahun setelahnya beliau melanjutkan menuntut ilmu khususnya dalam ilmu Agama di Madrasah Tarbiyah Islamiyah Jaho yang begitu terkenal seantero Minangkabau, kehadapan ulama yang sangat Alim Syekh Muhammad Jamil yang masyhur dengan gelar Angku Jaho atau Inyiak Jaho. Lebih kurang 7 tahun lamanya beliau menuntut ilmu di Jaho, mengaji seluk beluk agama sedalam-dalamnya, apakah Nahwu, Sharaf, Bayan, Ma’ani, Badi’, Mantiq, Tauhid, Fiqih, Tafsir, Hadist, Tasawuf, Ushul dan lain-lainnya. Tepat pada tahun 1926 beliau memperoleh Ijazah dari Madrasah yang masyhur ini.

Khusus dalam ilmu Tarikat, yaitu Tarikat yang tinggi Tarikat Naqsyabandiyah, beliau mengambil daripada Maulana Syekh Ja’far Pulau Gadang Kampar. Berdasarkan sebuah catatan yang disimpan oleh anak cucunya, pertalian silsilah Syekh Zakaria dengan Maulana Syekh Khalid Kurdi sebagai berikut: Syekh Zakaria menerima dari Syekh Ja’far Pulau Gadang, beliau menerima dari Syekh Abdurrahman Tanjuang Alai, beliau menerima dari Syekh Mahmud Alin ad-Dili (Deli?), beliau menerima dari Syekh Abdurrahman ad-Dili (Deli?), beliau menerima dari Maulana Syekh Khalid Kurdi an-Naqsyabandi, selanjutnya bertali-tali hingga kepada Sayyidul Anbiya’ wal Mursalin Nabi Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Menurut keterangan Syekh Idrus Batu Basurek Kampar, beliau Syekh Zakaria juga mengambil dari Guru dari sekalian ulama Syekh Abdul Ghani Batu Basurek Kampar. Ketika Tuanku Laskar ke Batu Basurek, Syekh Idrus mengisyaratkan tempat dimana Syekh Zakaria Labai Sati mendapat “Irsyad” di ruangan Suluk Batu Basurek tersebut.

Foto: Nazham Silsilah Tarikat Naqsyabandiyah dari Syekh Zakaria Labai Sati Malalo (teks asalnya ialah gubahan Syekh Ismail al-Khalidi Simabur al-Minangkabawi yang wafat pada pertengahan abad ke-19 di Mekah)

Setelah lama menuntut ilmu, telah pula memperoleh “Ijazah”, pada tahun 1930 Syekh Zakaria mendirikan Madrasah di Padang Lawas Malalo. Madrasah ini diberi nama sebegaimana nama Madrasah gurunya di Jaho, Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Madrasah ini merujuk kepada organisasi ulama-ulama Minangkabau yang teguh kepada i’tikad Ahlussunnah wal Jama’ah, bermazhab kepada Mazhab Imam besar Imam Syafi’i dan mempusakai Tasawuf dengan mengajarkan kearifan Tarikat-tarikat ahli Sufi yang Mu’tabarah, yaitunya Persatuan Tarbiyah Islamiyah (waktu itu disingkat dengan PERTI). Persatuan ini kala itu sangat besar pengaruhnya di Sumatera Tengah dan menaungi sebahagian besar ulama-ulama tua, madrasah-madrasah dan surau-surau yang tersebar luas saat itu.

Madrasah Tarbiyah Islamiyah Padang Lawas Malalo menjadi sangat tenar, dengan sosok ulama yang memimpinnya, dan ilmu agama yang sungguh-sungguh diajarkan lewat kitab kuning yang lautan ilmu itu. Banyak “urang siak” (istilah untuk santri) berdatangan dari berbagai penjuru Minangkabau untuk menuntut ilmu, bahkan dari rantau yang jauh, seperti dari Aceh, Riau, Jambi dan Maluku.

Adalah Syekh Zakaria Labai Sati sangat dekat hubungan beliau dengan ulama besar Aceh yang sangat Alim Syekh Muda Wali al-Khalidi tersebut, yang juga keturunan dari ulama Minangkabau, Syekh Pelumat asal Batusangkar. Hubungan ini begitu erat, sampai-sampai beliau berdua saling mengaku menjadi murid. Dinama Syekh Zakaria mengaku menjadi murid Syekh Muda Wali, Syekh Muda Wali pun mengaku murid Syekh Zakaria. Begitulah kerendahan hati dari kedua ulama yang Alim semasa dulu. Konon kabarnya yang memberi nama “Zakaria” ialah Syekh Muda Wali (yang masyhur di Minangkabau dengan Angku Aceh) ini. Adapun kisahnya ialah ketika Syekh Muda Wali membuka pengajian di Lubuk Alung (Padang). Kita ketahui bahwa Syekh Muda Wali setelah belajar bertahun-tahun di berbagai Dayah (istilah untuk Pesantren di Aceh) di Aceh, beliau oleh salah seorang tokoh Modernism disuruh belajar pada Normal Islam yang juga cenderung Modern di Padang. Sesampainya di Padang, dan memasuki Normal Islam, rupa-rupanya Syekh Muda Wali tidak berselera untuk sekolah di sekolah yang digembar-gemborkan ini. Sebabnya Normal Islam hanya kebanyakan mengajarkan ilmu umum, ilmu agama hanya diberikan sangat sedikit, sedangkan ilmu Syekh Muda Wali sudah melebihi apa yang diajarkan itu. Syekh Muda Wali lalu keluar dari Normal Islam setelah 3 bulan bertahan. Beliau Syekh Muda Wali kemudian tinggal bersama ulama besar Minangkabau di Padang, yaitu Syekh Khatib Ali al-Fadani (pengarang “Burhanul Haq” dan “Soeloeah Melajoe”) yang dikenal gigih memperjuangkan Ahlussunnah wal Jama’ah dan Mazhab Syafi’i. Perlu kita ketahui bahwa Syekh Muda Wali sudah begitu Alim, hafizh segala “matan” kitab, cakap mensyarah, hingga membuatnya seketika terkenal di Minangkabau. Karena kealimannya itulah banyak ulama Minang terpikat, sampai menjadikannya menantu, ada yang mengajukan syarat untuk berdebat masalah kitab “Alfiyah” (kitab Nahwu yang tertinggi dan terbilang rumit) sebelum mengambil mantu, namun itu semua dapat beliau penuhi.

Syekh Muda Wali kemudian membuka pengajian di Lubuk Alung. Cukup ramai. Disuatu waktu datangnya seorang yang serba putih, berjubah putih dan bertutup kepala putih, duduk paling belakang. Adapun pengajian hari itu seputar ilmu Ushul Fiqih. Setelah usai mensyarah, lelaki berjubah putih itu mengajukan pertanyaan tentang Ushul. Syekh Muda Wali dapat menjawabnya setelah merujuk “Waraqat”. Pada hari berikutnya, pada pengajian yang sama, lelaki serba putih itu mengajukan pertanyaan tentang juga tentang Ushul. Syekh Muda Wali-pun dapat menjawabnya, tetapi setelah merujuk kitab “Latha’if al-Isyarat” (lebih tinggi dari “Waraqat”). Pada hari berikutnya, juga pada pengajian yang sama, lelaki berkopiah putih itu mengajukan pertanyaan lagi-lagi pada Ushul fiqih. Syekh Muda Wali-pun akhirnya dapat menjawab, namun setelah merujuk kitab “Ghayah al-Wushul” (lebih tinggi dari “Latha’if al-Isyarat”). Rupa-rupanya lelaki serba putih itu ialah seorang Ahli Ushul Fiqih, lagi ahli berkata-kata (Mantiq), yang cukup membuat Syekh Muda Wali berpikir keras untuk menjawab soalan yang diajukannya. Lelaki serba putih itu tak lain “Buyuang Malalo”. Karena kealimannya dalam soal Ushul itu, Syekh Muda Wali memberinya nama Zakaria al-Anshari, mengambil berkat kepada pengarang kitab Ushul Fiqih “Ghayah al-Wushul” yaitu Syekhul Islam Syekh Zakaria al-Anshari al-Syafi’i. Sejak itu pulalah, “Buyuang Malalo” masyhur dengan nama Syekh Zakaria al-Anshari Labai Sati, atau yang lebih dikenal dengan Syekh Zakaria Labai Sati Malalo. Demikian penjelasan Buya Laskar Harun Tuanku Sutan nan Kuniang.

Foto: Cover depan kitab "Ghayah al-Wusul Syarh Lubb al-Ushul" karya Syekhul Islam Zakaria al-Anshari as-Syafi'i

Foto: Cover kitab "Hasyiyah 'ala Syarh Sullam lil Malawi" karya Abi al-Irfan Syekh Muhammad ibn Shabban, kitab ilmu Mantiq yang terbilang kitab kelas berat.

Mengenai kedekatan Syekh Zakaria dengan Syekh Muda Wali. Diceritakan di suatu tempat ada orang yang membatalkan amalan Tarikat. Maka datangnya Syekh Zakaria dan Syekh Muda Wali untuk meluruskan bantahan itu. Dimana kedua ulama ini saling isi mengisi, Syekh Muda Wali sangat hafizhnya akan kitab, sedangkan Syekh Zakaria pintar mensyarahnya. Ketika Syekh Muda Wali membacakan “matan” dari hafalannya, ketika itu Syekh Zakaria mensyarahkannya dengan cemerlang. Sehingga tiada yang dapat menegakkan hujjah didepan dua ulama besar ini.

Foto: al-Marhum Syekh Muda Wali al-Khalidi Naqsyabandi Aceh

Antara kedua ulama ini juga saling kunjung mengunjungi. Ketika Syekh Muda Wali sudah kembali ke Aceh, dan mendirikan Dayah Darussalam Labuhan Haji, Syekh Zakaria sering bertamu ke Aceh. Begitulah adab pergaulan ulama-ulama silam.

Madrasah Tarbiyah Islamiyah Malalo yang mencapai zaman keemasannya di masa Syekh Zakaria Labai Sati telah mengeluarkan ulama-ulama penerus estafet keilmuan Islam, tercatat tamatan Madrasah ini yang kemudian menjadi panutan selaku ulama terkemuka, dan memimpin Madrasah-madrasah pula dikemudian hari, diantaranya:
1. Tgk. H. Zamzami Zamra (pimpinan Dayah Darul Hasanah Syekh Abdurrauf Singkel Aceh Selatan)
2. Tgk. H. Abdul Aziz Calang (pimpinan Dayah Patik Calang Aceh Barat)
3. Tgk. H. Baharuddin Tawar (pimpinan Dayah Mulhallimin Tanah Merah Simpang Kanun Singkel)
4. Tgk. Baidhawi (pimpinan Dayah Shabul Yamin Aceh Selatan)
5. Tgk. Muhammad Rasyid (pimpinan Dayah Dayul Yakin Singkel)
6. Tuanku Ali Amran Ringan Ringan (pimpinan Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan Ringan Pariaman)
7. Tgk. Armin Kemunus Labuhan Haji Aceh Selatan
8. Tgk. Ibrahim Lamo Aceh Barat
9. Dan lain-lain banyak lagi.
(catatan murid-murid ini dari buku Sejarah Ringkas Ponpes Tarbiyah Islamiyah Malalo oleh Ibnu Hadjar, tahun 1993, hal. 17)

Foto: Syekh Ali Amran Ringan Ringan (lahir 1926), salah seorang murid Syekh Zakaria Labai Sati Malalo.

Dari Risalah Tablighul Amanah fi Izalah Khurafat wa Syubhah (karangan Maulana Syekh Sulaiman ar-Rasuli, tahun 1954) disebutkan bahwa pada tahun 1954 diadakan konferensi Tarikat Naqsyabandiyah se-Sumatera Tengah untuk membahas buku-buku Haji Jalaluddin, dimana waktu itu hadir 280 ulama-ulama besar Tarikat Naqsyabandiyah dari berbagai daerah di Sumatera Tengah, termasuk Syekh Abdul Ghani Batu Basurek Kampar (yang saat itu usianya sudah lebih 100 tahun), maka Syekh Zakaria Labai Sati Malalo juga hadir sebagai peserta, dicantumkan dalam karya Syekh Sulaiman ar-Rasuli ini.

Syekh Zakaria Labai Sati wafat pada tahun 1973. Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang merupakan peninggalan beliau, secara berganti-ganti di pimpin oleh murid-muridnya. Diantaranya dipimpin oleh Alm. Buya H. Thaharuddin (1941-2011), atau yang lebih dikenal dengan gelar Angku Andah Malalo. Saat ini Madrasah Tarbiyah Islamiyah ini diasuh, salah satunya oleh murid Syekh Zakaria pula, yaitu Buya Lasykar Harun Tuanku Sutan nan Kuniang, atau yang lebih akrab dengan panggilan Angku Lasykar.

Foto: al-Marhum Buya H. Thaharuddin (Angku Andah), yang wafat pada Ramadhan tahun lalu (2011)

Foto: Buya Lasykar Harun Tuanku Sutan nan Kuniang (Angku Lasykar)

Sedemikianlah sekeping tarikh perjalanan ulama Syekh Zakaria Labai Sati Malalo, ulama terkemuka Minangkabau dari Malalo setelah ulama Besar Tuanku Uwaih Limo Puluah, yang tercatat sebagai pejuang Agama. Beliau telah mewariskan keilmuan Islam yang luas dan dalam lewat kitab Kuning, mempusakai kita dengan Tarikat penghulu Naqsyabandiyah. Semoga kita bisa meneladani beliau, tempat bercermin, mengukur badan, untuk memperjuangkan Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana pitua ulama-ulama besar silam, di Tanah Seribu Ulama ini, Ranah Minangkabau yang elok permai. Amin.

Akhirnya, tersebut dalam Nazham Silsilah Naqsyabandiyah, gubahan dari Nazham Syekh Isma’il al-Khalidi Naqsyabandi Simabur al-Minangkabawi, halmana ditambahkan beberapa bait perihal 2 ulama besar, Syekh Zakaria Labai Sati Malalo dan Syekh Muda Wali al-Khalidi, sebagai berikut:

وبعده مرشـدنا لابي ساتى # أعني به زكريا الأنصاري
بصاحب العلامة الحـكيم # مرشدنا محمد والي الفهيم
فيا إلهـي قدسن سـرهما # وقربن بطه سكنا هــما

Terjemahannya:
“dan setelahnya (setelah syekh-syekh sesuai urutan Silsilah sebelumnya), Mursyid kami Labai Sati, yaitunya Syekh Zakaria al-Anshari.
Dan sahabatnya yang alim lagi bijaksana, yaitu mursyid kami Muhammad Wali yang luas fahamnya.
Wahai Tuhanku, sucikanlah Sir dari keduanya, dan dekatkan pula tempat keduanya, dengan tuah junjungan Thaha (Muhammad)…”
.
Amin ya Rabb al-‘Alamin. Wallahu al-Muwafiq ila Aqwam al-Thariq, wal Hadi Ila Sabil al-Rasyad.


Padang Batang, Mungka, 5 Syawal 1433 H/ 23 Agustus 2012.
Ditangan yang dha’if dan kurang ilmu
al-Faqir Apria Putra adanya.

Minggu, 15 Juli 2012

Dawa’ul Qulub fi Qishah Yusuf wa Ya’qub karya Syekh Sulaiman ar-Rasuli Candung: Sebuah Apologetik Tarekat Naqsyabandiyah dalam karya Sastra Ulama

Oleh: al-faqir Apria Putra

Dawa’ul Qulub merupakan salah satu karya Syekh Sulaiman ar-Rasuli Candung (1871-1970) yang ditulis sebagai sebuah apologetik terhadap Tarikat Naqsyabandiyah. Keunikan dalam karya ini, penjelasan yang beliau kemukakan dalam bingkai cerita dalam bentuk “nazham” atau “sya’ir”.

Foto: Halaman sampul kitab Dawa'ul Qulub (cet. 1924)

Sebagaimana tertera pada judulnya, risalah ini berisi tentang cerita Nabi Yusuf dan ayahnya Nabi Ya’qub. Bukan hanya sekedar cerita, Syekh Sulaiman lewat risalah ini memberikan hujjah mengenai Rabithah yang terpakai disisi Tarikat Naqsyabandiyah. Jadi, risalah ini dapat dilihat dari dua segi, pertama risalah yang bernilai sastra, yaitu penceritaannya Nabi Yusuf dengan bentuk nazhm. Kedua, merupakan apologetis terhadap rabithah yang dipakai pada murid Naqsyabandiyah sebelum berzikir.

Sebagai diketahui, perkara Rabithah menjadi satu polemik yang hangat pada awal abad XX tersebut. Persoalan ini telah menyeret ulama-ulama Muda yang mengingkarinya dan ulama-ulama tua yang mempertahankannya dalam perdebatan yang panjang. Dalam perkara Tarikat sendiri, maka Rabithah inilah yang menjadi sasaran besar kaum muda untuk dipertanyakannya. Dengan lahirnya karya Syekh Sulaiman ini, yang bertajuk cerita sastra yang sarat dengan pembelaan itu menambah perbendaharan kepustakaan apologetis Tarikat di Minangkabau.

Risalah ini, seperti kebanyakan karya-karya Syekh Sulaiman lainnya, karya ini ditulis dengan gaya sya’ir. Diawalnya, Syekh Sulaiman mengingatkan pentingnya kisah Yusuf dan Ya’qub untuk dijadikan cermin, diantara ungkapan beliau:

………
Dawa’ul Qulub nama risalah
Peubat hati dari dhalalat
Kisah Yusuf terang berkilat
Perkara rabithah ada terselat
………
Penulis menyeru berulang-ulang
Dawa’ul Qulub wajah cermerlang
Bacalah sungguh jangan kepalang
Supaya terbujuk hati yang dalang

Dawa’ul Qulub umpama fajar
Dalamnya ada sedikit pengajar
Bacalah tuan ganji belajar
Berebut rebut kejar mengejar
………


Kisah ini dimulai dari kelahiran Nabi Yusuf, penderitaan-penderitaan ketika dijebak, masuk penjara, hingga menjadi raja di Mesir. Adapun penjelasan Rabithah diperoleh ketika Syekh Sulaiman menceritakan kejadian antara Zulaikha dengan Nabi Yusuf. Alasan mengapa Nabi Yusuf dapat lepas dari keadaan gawat yang diperbuat Zulaikha tersebut ialah karena Nabi Yusuf ketika itu teringat dengan wajah ayahnya. Peristiwa ini menjadi hujjah betapa wajah Nabi Ya’qub dapat menghilangkan was-was dalam hati Nabi Yusuf, sehingga beliau terlepas dari maksiat. Hal ini dijelaskan oleh Syekh Sulaiman dalam untaian baitnya:

Disini boleh kita layangkan
Pandangan insaf kita gunakan
Rupa ya’qub Tuhan hadirkan
Apa gunanya hendak fahamkan

Jikalau tidak ada gunanya
Tuhan tak mau mehadirkannya
Menjadi la’ab itu namanya
Mustahil Tuhan la’ab sifatnya

Gunanya sudah kita khabarkan
Pehilang was-was khawatir samakan
Kejadi sebab Tuhan izinkan
Rupa menghilangkan tentulah bukan

Tatkala khusushiyah ada dirupa
Dijadikan Allah sudah berjumpa
Menghilangkan was-was lalai dan lupa
Kita rabithahkan salahnya apa
………


Risalah ini dicetak pada percetakan Islamiyah, Fort de Kock, pada tahun 1924. dibelakang risalah ini terdapat himbauan beliau untuk membaca karya beliau yang lain, al-Aqwalul Washithah, untuk mendalami masalah rabithah ini.

Rabu, 30 Mei 2012

Suatu waktu bersama Syekh Ali Imran "Buya Ringan Ringan" (lahir 1926): Alim Allamah dari Rantau Pariaman, penjaga Tradisi Ahlussunnah dan ulama Syattariyah yang teguh.

Oleh : al-Haqir Apria Putra

Ditulis berdasarkan ziarah kepada Tuanku Ali Imran Ringan Ringan, Pariaman. Senin, 19 Maret 2012.

Foto: Penulis (kanan, memakai peci) saat berbincang-bincang dengan Syekh Tuanku Amran Ringan Ringan (berpeci haji).

Pertengahan bulan maret tahun ini, saya bersama beberapa peneliti IAIN Imam Bonjol berkesempatan mengunjungi berbagai sentra pendidikan Islam tradisional di Pariaman, yang dikenal sebagai pumpunan Tarikat Syattariyyah di Minangkabau. Dimulai dari pusatnya di Tapakis, Surau Tuanku Syekh Madinah yang telah disulap menjadi mesjid gaya modern, Makam Tuanku Syekh Burhanuddin yang selalu ramai dikunjungi oleh masyarakat dari berbagai daerah, Surau Gadang Syekh Burhanuddin di Tanjuang Medan yang masih asli dengan langgam lamanya, Surau Baru Bintungantinggi yang nampak muram mengingat kejayaan masa lalu dan terakhir pondok pesantren Ringan Ringan, penjaga tradisi keilmuan surau ala Syattariyyah yang terkemuka di tanah baik, barri aman ini.

Pesantren Ringan Ringan menjadi perhatian yang sangat menarik, meski banyak lembaga tradisional berupa surau dengan sistem halaqah-nya yang tetap eksis setelah memudarnya kejayaan pendidikan Islam masa lalu di rantau ini, Ringan Ringan dapat berdiri kokoh diatas keklasikannya dan atas keteguhannya dalam ber-Syafi’i dan ber-Syathari, kesuksesannya dibuktikan dengan pelajar-pelajarnya yang cukup ramai untuk ukuran sebuah pesantren di Minang saat ini, berikut beberapa prestasi dalam bidang keagamaan yang ditorehnya. Semua itu tentu tidak terlepas dari pimpinan Tuanku Syekh yang mempunyai dedikasi keilmuan dan kharisma dalam memimpin lembaga ini. Mungkin pemakaian istilah “pesantren”, yang notabenenya ialah istilah asing (baca: jawa), non Minangkabau tentunya (sebab di Minangkabau tidak dikenal istilah pesantren kecuali beberapa dasawarsa terakhir), membuat kita mempunyai kesan bahwa lembaga ini rombakan dari tradisi lama atau menunjukkan kemodernan, tapi semua kesan itu akan berubah ketika kita mengenal lebih dalam, pesantren ini tetap menjadi basis keislaman sebagai warisan keilmuan ulama-ulama Minangkabau masa silam. Pemakaian “pesantren” tentu tidak lebih karena menuruti kehendak Departemen Agama untuk menselaraskan nama-nama lembaga pendidikan agama tradisional, yang pastinya akan melunturkan istilah-istilah khas lokal.

Memasuki area Pesantren Ringan Ringan, kita akan melihat berbagai aktifitas santri, dimana mereka berbusana layaknya orang-orang siak masa silam, berkopiah dengan cemiri melilit leher dan bersarung, mereka bercengkrama sepanjang jalan; adapula yang sedang berolahraga bagi santri-santri yunior, sedang bagi santri senior mengulang-ulang kaji dengan kitab kuning ditangan.
Sore itu menjadi berkesan, meski kami datang bukan pada jam bertamu, kami disambut baik oleh Buya Amran Ringan Ringan di ruangan beliau, meski beliau sedang sibuk berzikir dengan untaian-untaian tasbih yang tidak lepas ditangan. Keramah-tamahan, layaknya ulama-ulama silam terpatri pada pribadi buya tersebut; meski dengan penyakit tua-nya, tubuh yang telah lemah akibat usia, kondisi mata yang tidak terang lagi. Maka dibukalah pembicaraan dengan kata-kata yang mendalam, perihal amalan-amalan Tarikat Syattariyyah, mengenai Taqwim menentukan puasa Ramadhan dalam tradisi Syattariyyah, mengenai Martabat Tujuh yang sering diperkatakan dan terakhir mengenai silang sengketa antara ulama Syattariyyah saat ini perihal pemahaman-pemahaman yang berseberangan dengan Ahlus sunnah wal Jama’ah, tepatnya kecaman beliau (Buya Amran) terhadap Tuanku Abdurrazak Pakandangan, dimana faham Tuanku ini menurut hemat Buya Amran mengarah kepada Jabbariyyah.

Perlu rasanya kita tulis disini hal riwayat hidup Syekh Tuanku Ali Imran ini, jejak intelektualnya dari masa belia hingga dikenal sebagai ulama mumpuni di belahan Pariaman. Syekh Amran lahir pada tahun 1926 dari keluarga yang taat beragama, ayahnya seorang alim dari garis Tarikat Syattariyyah. Beberapa saat setelah kelahiran Amran kecil, beliau dibawa ibunya menemui Tuanku Mato Aia nan Tuo Pakandangan. Sesampainya dihadapan Tuanku Mato Aia, Amran yang kala itu masih sangat kecil dihembus oleh Tuanku Mato Aia dari ubun-ubun sampai kaki, tentu dengan bacaan do’a-do’a untuk menuai berkah bagi Amran kecil. Tuanku Mato Aia kemudian berujar kepada sang ibu, “Jagolah anak ko elok-elok, karano anak ko beko nan ka mampartahankan pangajian kito, sebab nanti ka banyak urang-urang nan ka mambatalkan pengajian kito ko” (Jagalah anakmu ini baik-baik, karena dialah yang akan mempertahankan pengajian kita [maksudnya Syattariyyah], sebab nanti akan banyak bermunculan orang-orang yang akan membatalkan pengajian ini).

Setelah itu sang ibu membawa Amran kembali pulang. Sesuai dengan wasiat Syekh Mato Aia, yang adalah salah seorang ulama Tua yang terkemuka dikalangan Ahli Tarikat Syattariyah, Amran dijaga dengan sungguh-sungguh, diasuh dengan kasih sayang yang sangat, sampai-sampai ketika Amran kecil demam saja ditangisi oleh si-Ibu, selain karena sayang yang begitu halnya, juga karena takut mengingkari amanah Syekh Mato Aia tersebut.

Lama masa ditempuh, sampailah usia Amran menginjak baligh berakal. Sebab lingkungan keluarga yang kuat beragama, pun keturunan orang-orang alim, telah membentuk karakter Amran yang cinta ilmu. Mula kecil bertunas, kemudian tumbuh beransur-ansur seiring waktu. Hingga suatu waktu gejolak jiwa hendak pergi menuntut ilmu tak tertahan lagi, meski sudah mengaji di kampung halaman, keinginan Amran lebih besar menimba ilmu ke negeri yang jauh-jauh, mencari orang-orang alim ternama. Niat menimba ilmu itu beliau utarakan kepada sang ayah, Angku Hasan. Dengan berbagai pertimbangan, sang ayah menolak memberi izin untuk keluar kampungnya. Hal ini tidak serta merta membuat Amran patah arang, karena keinginan yang begitu menggebu, beliau lewat seorang tuanku (ulama setempat), mengancam akan tidur di rel kareta api, biar dilindas dan mati, kalau tidak diizinkan buat menimba ilmu ke tempat-tempat lain di Minangkabau. Mendengar itu, sang Ayah kemudian mengizinkan, walau dengan berat hati, anak kesayangannya itu akan pergi meninggalkan kampung. Hal ini terjadi pada zaman penjajahan Jepang.

Izin telah didapat, namun kemanakah kaki hendak dilangkahkan. Berpikir-pikir Amran, kalau hendak menimba ilmu di wilayah rantau saja, kita tidak akan berkembang, karena kita juga orang rantau. Baiknya menuntut ilmu ke Darek, disamping daerah baru yang ingin dijajaki, darek juga dikenal dengan ulama-ulama terkemuka dalam lautan ilmu. Maka berangkatlah Amran menuju Darek, pedalaman Minangkabau. Adapun tempat mula Amran belajar ialah di Koto Baru, Padang Panjang, kepada salah seorang Malin yang tidak disebut lagi namanya. Sambil menuntut ilmu di Padang Panjang, beliau mencari-cari orang alim yang cocok untuk didatangi. Beberapa bulan di Padang Panjang, beliau pamit menuju nagari Mungo, yang berada di kaki Gunung Sago, untuk berkhitmat menuntut ilmu agama kepada Buya Syahidan Syarbaini (w. 1984). Di surau yang dikenal dengan nama “Surau Baburai”, Amran mengisi dada mengaji ilmu agama, menelaah Kitab Kuning kepada Buya Syahidan selama 3 tahun. Setelah itu, Amran pergi ke daerah Tiakar, Payakumbuh, sebuah perkampungan orang siak yang cukup ramai dimasa itu. Disini Buya Amran menuntut ilmu kepada Syekh Ibrahim Harun (w. 1961).
Ketika meletus peristiwa PRRI di era 1950-an, yang memaksa sekolah-sekolah agama untuk menghentikan aktifitas mengajarnya, Amran tetap mencari tempat belajar agama, sebab Madrasah Tiakar ditutup. Beliau kemudian berangkat ke Padang Japang, karena beliau dengan sebuah perguruan Agama yang cukup ternama karena pembaharuannya, yaitu Training College, yang saat itu pindah dari kota Payakumbuh. Lembaga pendidikan agama bercorak modern ini dipimpin oleh Nasharuddin Thaha, salah seorang pembaharu, minantu dari Syekh Abbas Padang Jopang. Setelah berapa lama disini, cukup menimba ilmu-ilmu umum, beliau akhirnya meneruskan menuntut ilmu ke Malalo, daerah yang banyak dihuni oleh orang-orang Alim di tepiang Danau Singkarak. Disini beliau menimba ilmu kepada salah salah satu ulama terkemuka dalam Syariat dan Tarikat, yaitu Syekh Zakaria Labai Sati Malalo al-Khalidi Naqsyabandi. Disini beliau melengkapi ilmu-ilmu beliau, tepatnya di Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Malalo yang terkenal itu, sampai beliau dipercayakan sebagai guru Tuo (guru bantu) oleh Syekh Zakaria tersebut.

Begitulah sekilas perjalanan hidup Buya Amran. Sekembali dari Malalo, yaitu setelah zaman bergolak, setelah sekian lama belajar dan mengajar, beliau pulang ke Ringan Ringan. Di kampung halamannya beliau membuka pengajian Kitab Kuning, yang kemudian menjadi cikal bakal Pesantren Nurul Yaqin Ringan Ringan.

Kepiawaian beliau dalam ilmu agama, keteguhan hati mempertahankan Ahlussunnah, konsistensi beliau mewariskan lautan ilmu dari kitab Kuning itu, membuat nama Nurul Yaqin menjadi harum, sehingga berdatanganlah orang-orang Siak dari berbagai daerah buat berkhitmat ilmu agama ke kampung ini. sampai saat ini begitulah halnya. Inilah salah satu pesantren berwibawa yang tetap teguh di ranah Minangkabau, dikala pesantren-pesantren lain telah terkontaminasi oleh modernisasi total, sehingga menghilangkan ilmu-ulmu agam itu, disaat itu Pesantren Ringan Ringan mampu menemukan momentum sebagai lembaga tradisional penjaga Ahlussunnah wal Jama’ah, tetap ber-Syafi’i dan ber-Tarikat, khususnya Tarikat Syattariyah, sebagai yang diwariskan oleh Islam Minangkabau sejak dahulunya.

Cukup singkat pertemuan saya dengan Syekh Tuanku Amran Ringan Ringan ini; meski sekejap pandangan, namun kesan yang beliau berikan begitu mendalam, lidah beliau masih fasih, ingatan beliau masih kuat, kitab itu tak lekang di dadanya, burhan (penjelasan) yang beliau uraikan sangat terang. Memang luar biasa ulama-ulama silam, ungkapku dalam hati. Itu yang amat jarang saya temui saat ini, meski saya cukup kenal dengan professor-professor bidang agama, namun sedikit dari mereka yang ilmunya di-ilmui.

Azan maghrib hampir berkumandang. Namun Syekh Amran masih bersemangat menceritakan kisah, memberi penjelasan soal-soal agama yang saya sampaikan. Saya dan tim pamit sesaat setelah itu. Setelah berjabat tangan dan menciumnya, yang kemudian beliau balas dengan senyum simpul yang sangat manis, saya beranjak meninggalkan ruangan itu, sedang beliau, Syekh Amran, kembali erat memegang tasbih. Masing terngiang-ngiang pesan beliau, “Uthlubul ilma minal mahdi ilal lahdi” (tuntutlah ilmu dari ayunan sampai ke liang lahad). Rahimahullahu ta’ala... Amin.


Ditulis di Sukamiskin, Bandung.
Minggu, 27 Mei 2012

Minggu, 01 April 2012

Ulama Besar Minangkabau: Syekh Sulaiman ar-Rasuli al-Khalidi (1871-1970)

oleh: al-Faqir Apria Putra
dari buku penulis, "Bibliografi Ulama Minangkabau" (Padang: Komunitas Suluah, 2011)

Maulana Syekh Sulaiman ar-Rasuli Candung

Syekh Sulaiman ar-Rasuli atau yang dikenal dengan Angku Canduang nan Mudo dan Inyiak Canduang ini ialah salah seorang diantara ulama besar Minangkabau yang begitu terkemuka. Setelah wafatnya ulama-ulama, seperti Syekh Muhammad Sa’ad Mungka dan Syekh Khatib ‘Ali, maka beliaulah yang dituakan dikalangan kaum Tua dan yang memimpinnya. Sangatlah besar perjuangan beliau, apakah dalam membentengi mazhab Syafi’i dan Ahlussunnah, dalam bidang pendidikan dan tak ketinggalan dalam medan perjuangan kemerdekaan. Dalam wadah ulama-ulama Tua, Perti, beliaulah yang menjadi sesepuhnya, disamping ulama-ulama besar lainnya. Dalam pendidikan, beliau telah membuat model baru lembaga pendidikan sebagai pelanjut surau, model ala Madrasah yang dinamai dengan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI), dan kemudian tersebar ratusan banyaknya diberbagai penjuru Minangkabau.

Syekh Sulaiman dilahirkan di Candung pada tahun 1871 dari keluarga yang religius. Ayah beliau, Syekh Muhammad Rasul, seorang ulama terkemuka yang digelari dengan Angku Mudo Pakan Kamis. Dimasa belianya, Syekh Sulaiman belajar al-Qur’an kepada Tuan Syekh Muhammad Arsyad Batu Hampar. Setelah menamatkan al-Qur’an, beliau kemudian belajar ilmu alat kepada Syekh Tuanku Sami’ Biaro. Beberapa lama di Biaro, beliau menuju Sungayang bersama guru tuo beliau Tuanku Qadhi Salo, ulama yang dituju di Sungayang ialah Tuan Syekh yang dimasyhurkan dengan Tuanku Kolok (nenek dari Prof. Mahmud Yunus), alim fiqih terutama dalam ilmu Faraidh. Wafat Tuanku Kolok, Syekh Sulaiman melanjutkan pelajarannya kepada Tuan Syekh Abdussalam Banuhampu. Beselang berapa lama, beliau pindah ke Sungai Dareh Situjuah Payakumbuh. Tak berapa lama di Situjuah, Syekh Sulaiman dengan isyarat guru dan ayahanda beliau berangkat ke Halaban. Ulama yang dituju ialah seorang alim yang masyhur dalam tigo luak, yaitu Tuan Syekh Abdullah “Beliau Halaban” (w. 1926). Lama beliau di Halaban, yaitu 7 tahun. Di sini beliau mendapat kepercayaan Syekh Abdullah untuk menjadi “guru tuo”, sampai beliau diambil menantu oleh Tuan Syekh tersebut. Oleh karena ilmu yang telah mumpuni, beliau disuruh pulang oleh Tuan Syekh Abdullah untuk mengembangkan ilmu yang telah didapat dikampung halamannya, Candung. Setelah itu Syekh Sulaiman pulang, mengajar di kampung selama 6 bulan lamanya, kemudian berangkat ke Mekah untuk menunaikan rukun Islam ke lima dan menambah ilmu pengetahuan. Di Mekah, Syekh Sulaiman belajar kepada ulama-ulama kenamaan, yaitu Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Mukhtar ‘Atharid as-Shufi, Sayyid Ahmad Syatha al-Makki, Syekh Usman as-Sarawaki dan Syekh Muhammad Sa’id Ba Bashil Mufti Syafi’i. Adapun vak keilmuan yang beliau dipelajari di Mekah mencakup ilmu ‘Arabiyah (ilmu alat), Fiqih, Tafsir, Hadist, Tasawuf dan lainnya.

Pada tahun 1907 beliau pulang ke tanah kelahirannya, dan kemudian melakukan langkah perjuangan. Mula-mula beliau melanjutkan Halaqah di kampung halamannya. Halaqah ini berkembang pesat dengan didatangi oleh murid-murid yang ramai dari berbagai penjuru negeri. Pada tahun 1928, Halaqah ini kemudian beliau ubah menjadi Madrasah dengan nama Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Perobahan ini diikuti oleh halaqah-halaqah surau lainnya di Minangkabau. Selanjutnya beliau menfasilitasi pertemuan ulama-ulama Minangkabau di Candung pada tahun 1930. Pertemuan ini menelorkan kesepakatan untuk mendirikan PTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), cikal bakal Perti. Organisasi ini mencapai puncak kejayaannya hingga dasawarsa ke 7 abad XX. Hampir seluruh ulama-ulama Tua Minangkabau menjadi penyokong wadah persatuan ini. setelah zaman kemerdekaan, Perti ditingkatkan statusnya menjadi Partai Politik Perti dan berpusat di Jakarta. Pada waktu itulah Perti benar-benar dikenal luas dan keberadaannya menusantara.


Logo Madrasah-madrasah Tarbiyah Islamiyah

Foto: Foto bersama Ulama-ulama Persatuan Tarbiyah Islamiyah di waktu ulang Tahun pertama Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung, pada tahun 1929 (buku “Perjuangan Persatuan Tarbiyah Islamiyah, oleh Syarqawi Machudum, Jakarta: Perpustakaan Tarbiyah Islamiyah, 2011)

Disamping sebagai seorang ulama besar, beliau juga dikenal selaku ahli adat. Kepakaran beliau memang diakui oleh masyarakat luas, hingga beliau diundang oleh penguasa gunung Sahilan untuk menyelesaikan sengketa adat. Beliau, Syekh Sulaiman, merupakan pribadi yang disegani kawan maupun lawan. Oleh karenanya, para pejabat pemerintahan dan pimpinan Belanda merasa perlu merapatkan diri kepada Beliau.
Adapun dalam faham keagamaan, sangat besar perjuangan beliau dalam mempertahankan Mazhab Syafi’i, aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah dan Tarikat Naqsyabandiyah. Mengenai poin terakhir, Tarikat Naqsyabandiyah, semula beliau merupakan seorang yang anti pula, sebagai gurunya Syekh Ahmad Khatib. Namun setelah pertemuannya dengan Tuan Syekh Arsyadi Batu Hampar, dan bertukar fikiran berapa lama, kemudian beliau menyatakan khilaf dan bertaubat dihadapam Tuan Syekh Batu Hampar tersebut dengan berlinang air mata. Setelah itu beliau bersuluk dengan bimbingan Syekh tersebut pada tahun 1341 H dan mendapat ijazah dalam istilah Naqsyabandiyah. Sepulang khatwat tersebut beliau keras mempertahankan Tarikat Naqsyabandiyah, apakah dalam tabligh-tabligh, karangan-karangan maupun dalam debat terbuka, seperti muzakarah dengan Syekh Thaher Jalaluddin al-Falaki di Mesjid Jami’ Pasia. Dalam wadah Perti, bersama ulama-ulama Minangkabau yang sehaluan, beliau berusaha kuat untuk membentengi faham lama itu dari rongrongan kaum muda tersebut.

Foto: Konferensi Alim Ulama di Singapura (1943): (duduk dari kiri) Syekh Sulaiman ar-Rasuli dan Syekh Ibrahim Musa Parabek; (berdiri dari kiri) Mahmud Yunus, AR Sutan Mansur dan H Sirajuddin Abbas (buku Riwayat Hidup Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, Jakarta: Hidakarya Agung, t. th)

Begitulah keulamaan Syekh Sulaiman ar-Rasuli. Disamping meninggalkan murid-murid yang banyak, Syekh Sulaiman juga mewariskan karya-karya yang banyak kepada generasi selanjutnya. Hal ini menunjukkan bahwa beliau memang seorang yang besar, selain masyhur dengan murid-murid yang ramai, beliau juga seorang yang sangat produktif menulis. Ada satu kekhasan dalam karya-karya beliau, disamping menulis dalam bahasa Arab dan bahasa Jawi-Minang, beliau gemar menulis dengan gaya sya’ir layaknya pujangga, sehingga jadilah karya-karya beliau disamping memiliki muatan keagamaan, juga merupakan bentuk sastra yang saat itu sangat laris. Sampai-sampai dalam surat-surat beliau, apakah kepada istri dan anak-anaknya ditulis dengan gaya bersyair ini. salah satunya kita tampilkan disini sebuah sya’ir beliau yang menerangkan keinginan untuk tinggal mengaji di Mekkah, namun mengingat ummi beliau yang tidak mau berpisah dengan beliau, niat itu beliau urungkan:

Waktu mengarang faqir khabarkan
Di negeri candung tinggallah badan
Hati terbang kesubarang lautan
Ke negeri Mekah biladul Aman

Sungguh nak pindah di dalam hati
Tetapi ada seorang ummi
Ibuku kandung belahan hati
Dimana mungkin meninggalkan negeri

Ibuku sakit tidaklah sehat
Dimana mungkin dibawa hijrat
Jalanpun jauh tidaklah dekat
Barangkali sembahyang dijalan tidaklah dapat

Seputar kaum Muda, Syekh Sulaiman juga banyak menulis bait-bait sya’ir untuk menyatakan fasad-nya faham mereka. Dengan nada sindiran, beliau menyerang sendi-sendi gugatan kaum muda tersebut. Dan tak ketinggalan menasehati kaum muslimin agar tidak terpedaya dengan faham yang seperti itu. Diantara ungkapan beliau ialah:

Sekarang ada orang yang ingkar
Sudah masyhur didengar khabar
Namanya tidak hamba mendengar
Entah siapa nama yang mu’tabar

Khabarnya sudah hamba dengarkan
Ushalli fardhuz zhuhr ianya ingkar
Ibarat ulama hambar naqalkan
Dibelakang ini hamba tuliskan

Wahai sahabat taulan yang nyata
Orang yang muqallid namanya kita
Mengikut mujtahid yang punya kata
Jangan diikut faham yang dusta

Jangan dicari ke dalam Qur’an
Hadistnya nabi-pun demikian
Mujtahid mutlak punya bahagian
Nasi yang masak hendaklah makan

Kita nan tidak tahu bertanak
Api dan kayu tungkupun tidak
Hendaklah makan nasi yang masak
Orang yang cerdik janganlah gagak

Jikalau batanak tidak bakayu
Demikian lagi tidak bertungku
Lambek menahun nasinya tentu
Itu misalnya fiqir olehmu


Karya-karya Syekh Sulaiman ar-Rasuli yang telah teridentifikasi sebanyak 22 judul. Besar kemungkinan masih banyak karya-karya Syekh Sulaiman yang belum tercatat.

Foto: cover salah satu karya tulis Syekh Sulaiman ar-Rasuli yang berjudul "al-Qaulul Bayan fi Tafsiril Qur'an" (terbit pada tahun 1929)

Sabtu, 10 Maret 2012

Menelusuri Jejak Keemasan Islam di Pesisir Selatan Minangkabau

oleh: Yang Dha'if Apria Putra
Berdasarkan perjalanan ke Pesisir Selatan (Barungbarung Balantai, Bayang, Batang Kapeh dan Koto Kandih), 23-24 Februari 2012. Disertai keterangan tokoh-tokoh di daerah tersebut, arsip-arsip lama dan manuskrip keagamaan

Saya merasa sangat beruntung dapat menziarahi sentra-sentra kejayaan Islam di zaman silam di Minangkabau, yang bukan hanya berguna ketika merangkai kepingan sejarah, merangkai jalannya agama di pulau perca ini, tapi juga untuk menemui ulama-ulama yang masih mendiami negeri, yang mewarisi kearifan para intelektual Islam di masa lewat. Paling tidak aktifitas seperti ini telah saya lakukan beberapa tahun belakangan, cukup banyak yang membuat hati besar, sekaligus membuat pilu, yaitu ketika membanding-bandingkan masa silam dengan dengan keadaan kini. Tidakkah ada fikiran orang-orang dimasa modern ini hendak bercermin pada kejayaan agama dimasa lampau? Kenyataannya, orang-orang sekarang berbangga dengan cara agama masa kini, yang modern dengan gaya perbaharuan, dilihat cocok dengan kehendak masa, tidaklah mereka mampu membedakan mana yang batu dan mana yang intan. Disangkanyalah dengan membelakangi kaji ulama-ulama silam adalah kebenaran. Na’uzuillahi min dzalik.

Perjalanan kali ini begitu berkesan. Apalagi ketika kita mampu menelisik sejarah dan khazanah Islam yang lama terpendam, yang amat jarang disinggung-singgung oleh para akademisi dan penulis sejarah. Adapun tujuan kali ini ialah Pesisir Selatan, sebuah daerah Rantau yang menyimpan perbendaharaan agama, sebagai negeri-negeri lain di Minangkabau, juga merupakan gudang ulama jauh sebelum abad modern ini. perjalanan kali ini dilakoni oleh dua peneliti senior, Drs. Yulizal Yunus M.Si., Dt. Rajo Bagindo dan Drs. Firdaus, M. Ag., Dt. Mamad, dari Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang, berikut saya dan seorang rekan dari Tim Filologia. Ada 4 sentra yang dikunjungi dalam ekspedisi kali ini, yaitu Baruangbaruang Belantai, Bayang, Batang Kapeh dan Kambang. Disini banyak hal yang ditemui, banyak kekayaan yang terungkap. Berikut kita tuliskan sekedar mencatat apa yang bisa diurai lewat tulisan.

Barungbarung belantai

Sejak abad silam, di Barungbarung Belantai, sebuah nagari di ujung kabupaten Pesisir Selatan, berdiri sebuah surau yang kemudian memainkan peran penting dalam persebaran keilmuan Islam menurut dasar Tasawuf Tarikat Naqsyabandiyah, hingga jauh kebeberapa negeri-negeri yang jauh-jauh, seumpama Mukomuko (Bengkulu). Ulama yang terkemuka di sini ialah Syekh Munaf Bakrin atau yang lebih dimasyhurkan dengan Tuanku Lubuak, berdiam di surau yang namanya sesuai dengan gelar beliau, Surau Lubuak.

Syekh Munaf Bakrin, dimasa mudanya telah menjadi seorang Siak (santri) yang melanglang buana dari surau ke surau untuk menuntut ilmu, hingga pedalaman Minangkabau. Salah seorang gurunya, ulama terkemuka di Luak Limopuluah, Syekh Ibrahim Harun Tiakar, sedangkan gurunya dalam bidang Tasawuf, tepatnya dalam Tarikat Naqsyabandiyah ialah Syekh Muhammad Thayyib Pauah Padang. Pengaruh surau Lubuak, seperti halnya sang Syekh, amat besar, terutama membentengi faham ulama-ulama silam, yaitunya Mazhab Ahlussunnah dalam I’tikad, mazhab Syafi’i dalam Furu’ Syari’at, dan Tarikat Naqsyabandiyah dalam pengamalan Tasawuf. Sampai saat ini, dimasa kepemimpinan anak beliau, Abuya Haji Ibnu Abbas yang bermukim di Banda Buek, Padang, aktifitas di Surau ini masih eksis, salah satunya dapat kita lihat ketika Maulid, Barzanji masih dilantunkan dengan syahdu, dan ketika sampai “Marhaban”, yang hadir serempak berdiri memuliakan Nabi besar Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Surau ini kemudian, disamping namanya Surau Lubuak, juga diberi papan nama dengan “Ma’had Tarbiyah wa Khalwat Thariqat Naqsyabandiyah Nurul Yaqin Ahlussunnah wal Jama’ah”.

Foto: saya (kiri) dan kitab-kitab tua peninggalan Syekh Munaf Bakrin

Dari beberapa literatur lama yang kita temui disini, yang tak lain ialah peninggalan Angku Lubuak sendiri, kita dapati bahwa di Surau ini memang telah terjadi aktifitas pegajaran Islam yang mendalam, terbukti dengan ditemuinya sumber-sumber kajian Islam, apakah itu Fiqih, Tauhid dan Tasawuf, yang berat-besar, menyiratkan betapa tingginya tingkat intelektual pemangku Surau diwaktu silam.

Bayang

Bayang, negeri Serambi Mekkah menjadi tujuan kedua. Sebagai adagium yang melekat pada negeri ini, terbukti dengan ditemuinya bekas-bekas kejayaan Islam masa lampau, menyangkut aktifitas keilmuan di abad-abad mulanya sinar Islam memancar terang disini. Memang keadaan, berikut dinamika kehidupan telah membuat suasana berubah dari apa yang ada sebelumnya, namun “setiap yang jatuh mesti ada yang memungutnya”, ada diantara masyarakat-nya yang masih mewarisi hal tersebut.

Adalah Kapujan, satu kampung diantara kampung-kampung di Bayang yang pernah menjadi basis menyebaran Islam di masa awal. Asal nama Kapujan sendiri ialah Kapujian, terpuji karena banyak dihuni oleh orang-orang alim belaka, disamping itu banyak sentra-sentra pendidikan Islam di masa lampau. Adapun tokoh utama penyebaran Islam di daerah ini ialah Syekh Buyuang Mudo Puluikpuluik (dalam sejarah Bayang disebut nama beliau dengan Buyuang Laman), yaitu salah seorang teman seperjalanan dengan Syekh Burhanuddin ketika menuntut ilmu kepada Syekh Abdurra’uf singkel di Aceh, yang dikemudian menyempurnakan ilmu kepada Syekh Burhanuddin sendiri di Ulakan. Setelah sempurna perjalanan ilmunya beliau kembali ke kampung halamannya, Bayang, buat melancarkan dakwah, mengajar Islam kepada masyarakat banyak. Konon beliau mendirikan beberapa surau di Bayang sebagai basis dakwahnya, diantaranya surau di tempat kelahirannya Puluikpuluik, satu surau lainnya di Kapujan. Pendirian surau di Kapujan besar kemungkinan karena beliau bersemenda ke daerah ini, pun kemudian ketika beliau wafat beliau dimakamkan di Kapujan ini. Adalah satu yang menarik, yang membuat besar hati, kami dapat menemukan makam beliau, setelah sekian lama tidak terawat, telah ditumbuhi semak belukar. Membersihkan, berikut memberi pengertian kepada masyarakat banyak perihal makam itu merupakan satu kepuasan betin yang begitu dalam. Wal hamdulillah ‘ala dzalik.

Foto: Saya di Makam Syekh Buyuang Mudo Puluikpuluik Bayang sesaat setelah dibersihkan

Adapun penerus Tuanku Puluikpuluik ini, yang memegang estafet setelah beliau ialah muridnya Syekh Muhammad Yatim. Syekh Yatim ini selain murid dari Buyuang Puluikpuluik, juga pernah menimba ilmu kepada Syekh Burhanuddin Ulakan dan belajar berapa lama di tanah suci Mekkah. Setelah menyelesaikan pengembaraannya menuntut ilmu, Syekh Yatim pulang ke kampung halamannya, Kapujan, untuk mengabdikan diri, mengembangkan ilmu yang didapat. Beliau kemudian mendirikan sebuah Mesjid (surau dimasa itu) yang cukup besar, bertingkat 2, memakai kayu-kayuan yang penuh ukiran, dimana pengerjaannya diperbantukan kepada tukang-tukang dari Surian dan Alahan Panjang. Kemudian masyhurlah Syekh Yatim, sehingga berdatanganlah penuntut-penuntut agama, mulai dari negeri yang dekat, hingga yang jauh-jauh, seperti dari Surian, Alahan Panjang, Kerinci, Balai Selasa, Sasak dan lain-lainnya. Salah seorang murid Syekh Yatim, yang juga orang bayang, ialah ulama masyhur Syekh Muhammad Dalil bin Syekh Muhammad Fatawi Bayang (1864-1923), atau yang dikenal dengan Syekh Bayang, yang mengajar di Mejid Raya Ganting (Padang), dan berpusara pula disana di mesjid tertua di kota Padang itu. Adapun ulama lain dari Bayang ini, misalnya yang cukup masyhur ialah Angku Tantuo, seorang ulama kenamaan yang masyhur keramat, selain itu beliau juga salah seorang pejuang ketika menghadapi penjajahan Belanda, beliau pula yang mengajarkan masyarakat Bayang untuk mengahadapi penjajah tersebut. Ulama Bayang lainnya, yang disamping mengajar agama juga membantu perjuangan rakyat melawan Belanda ialah Syekh Muhammad Yatim, seorang alim yang menyelesaikan pelajarannya kepada Ayah Thaha (Syekh Muhammad Thaha) di Limbukan, Payakumbuh.
Para ulama diatas ialah mereka yang tetap teguh berpegang dengan Tasawuf ber-tarikat, lazimnya ulama-ulama besar dimasa itu. Perubahan terjadi dibawa oleh generasi setelah itu, yang mendapat angin pembaharuan. Diantara mereka ialah Haji Abdul Jalil (Angku Lumpo), Haji Colok, Pakik Jamik, Haji Koto Baru dan Haji Ma’ali, mereka umumnya telah bertahun-tahun belajar agama di Limbukan, kepada Ayah Thaha. Dari keterangan buku “Bayang Serambi Mekah” ini, heran pulalah kita, sebab diketahui bahwa Syekh Muhammad Thaha Limbukan (w. 1916) ialah seorang ulama berpegang kepada Tharikat Naqsyabandiyah yang diambilnya dari Syekh Muhammad Shaleh Padang Kandih (w. 1912). Ada kemungkinan beberapa tokoh terakhir ini belajar kepada anak-anak Syekh Thaha yang mulai agak modern di Limbukan (salah satunya lembaga pendidikannya ialah Ma’had Dini di Limbukan), yang salah seorang anaknya Nasharuddin Thaha, murid Syekh Abbas Abdullah Padang Japang yang pernah mengenyam Darul Ulum (Mesir), pendiri Islamic Collage Payakumbuh itu.

Di zaman tokoh-tokoh terakhir ini mulailah berlainan cara agama, dari peribadatan misalnya melaksanakan shalat Tarawih 8 rakaat yang disangka lebih sesuai dengan sunnah, dimana sebelumnya dilakukan 20 rakaat seperti yang ditegaskan oleh ulama-ulama Syafi’i se alam Minangkabau. Dalam tradisi, ditolak melakukan meniga hari, hingga menseratus hati kematian, sebagai tradisi di daerah-daerah lain. Berikut ditolak pula Tarikat-tarikat Tasawuf sebagai yang dikembangkan oleh pembawa Islam dan ulama-ulama sebelum generasi mereka. Maka seketika itu terjadi pulalah pergolakan kaum muda dan kaum tua, timbul bantah membantah antara ulama muda dengan ulama-ulama yang tetap memakai faham lama.

Tokoh-tokoh terakhir ini yang memainkan peran dakwah sesuai dengan faham baru, berikut perjuangan melawan penjajah Belanda. Tokoh paling bungsu yang gaung perjuangannya menasional ialah H. Iljas ja’qub (Ilyas Yakub), pejuang besar yang sejati. Beliau ini pun pernah pula belajar agama Haji Abdul Jalil (angku Lumpo) yang tersebut. Sekian satu kepingan sejarah keemasan Islam di Bayang.

Ada pula yang membuat haru, keterangan dari Buya Haji Bulkaini yang pernah belajar kepada Syekh Abbas Abdullah Padang Japang, pada masa bergolak di era 50-an, hampir semua kitab-kitab khazanah Islam lama di Kapujan terbakar dengan terbakarnya 75% rumah-rumah penduduk di daerah ini oleh tentara-tentara yang tidak bertanggung jawab. Maka habislah karya-karya tertulis bukti keemasan Islam masa lampu di daerah ini, sedangkan sisanya, entah dimana lagi wujudnya. Yang dapat menjadi bukti, selain makam yang hampir tak terawat itu, hanya beberapa surau, seperti Surau Gadang, yang tak lagi menyiratkan kejayaan masa lalu karena telah berulang kali direnovasi total dari bentuk aslinya.

Batang Kapeh

Batang Kapeh menjadi pusat agama yang terkemuka pula di abad-abad silam. Beberapa ulama terbilang diam di daerah ini, beberapa surau mencapai pucak kejayaan dengan didatangi pelajar-pelajar dari berbagai daerah di Minangkabau. Kita kenal Surau Lubuk Nyiur dengan ulamanya yang cukup masyhur, Surau Patai, dan lainnya, namun yang kita hadapi saat ini salah satu surau yang memiki reputasi penting disepanjang sejarah Islam di daerah ini, Surau Tanjuang.

Foto: di makam Ulama yang bergelar "Syekh di Gobah", tepat di Mihrab Surau Tanjuang.

Surau Tanjuang merupakan satu sentra transmisi keilmuan Islam yang telah lama menancapkan eksistensinya di Batang Kapeh. Beberapa penelusuran yang dilakukan buat mengetahui bagaimana awal dan siapa tokoh utama di surau ini, belum jua menemukan hasil yang memuaskan. Jawaban yang diberikan oleh para pewaris surau ini menunjukkan bahwa seorang ulama yang bermakam di Mihrab surau ini merupakan tokoh sentral ketika lembaga ini mencapai puncak kejayaannya. Mengenai siapa beliau berikut namanya, tiada pula bisa diungkap, masyarakat banyak hanya menyebut gelar, dimana gelar ini lebih diingat jelas ketimbang nama dan riwayat perjalanan intelektualnya. Gelar beliau itu ialah “Tuanku Syekh di Gobah”, maksudnya Syekh yang bermakam di Kubah (Gobah merupakan istilah yang biasa dilekatkan pada makam ulama-ulama Sufi Minangkabau). Pelacakan melalui sumber-sumber tertulis, yaitu beberapa manuskrip yang tersisa yang sekarang disimpan oleh salah seorang keturunan Syekh, menemukan beberapa nama ulama yang dapat dikaitkan secara kuat dengan aktifitas keilmuan di Surau Tanjuang ini. 2 nama yang dapat diidentifikasi ialah (1) seorang ulama yang bernama Syekh Abdurrahman bin Abdullah as-Syazili, beliau ini, dalam catatan ijazah disebutkan telah mengambil bai’at Tarikat Syaziliyah dari ulama terkemuka Syekh Isma’il bin Abdullah Simabur [al-Minangkabawi] as-Syazili [al-Khalidi Naqsyabandi]. Namun informasi mengenai tarikh beliau belajar kepada Syekh Ismail ini tidak disebutkan. (2) seorang “Siak” yang bernama Haji Muhammad Aqib bin Haji Abdullathif Batang Kapas, yang telah menyalin sebuah literatur langka mengenai Tarikat Naqsyabandiyah yang berjudul “Tuhfatul Ahbab fis Suluk ila Thariqil Ashab Syarah Risalah Suluk wal Adab al-Musamma bi Silsilatiz Dzahab” (Karya Syekh Darwisy Ahmad at-Thabazuni), yang disalin pada 20 jumadil awal 1286 H atau bertepatan dengan tahun 1865 M. Disebutkan dalam kolofon naskah ini, bahwa penyalinan dilakukan ketika menuntut ilmu di Batu Hampar. Tak sulit bagi kita untuk memastikan bahwa beliau menuntut di Batu Hampar Payakumbuh, yang di abad XIX tersebut merupakan satu perguruan agama terkemuka atas garis Tarikat Naqsyabandiyah, tepatnya kehadapan Syekh Abdurrahman al-Khalidi Naqsyabandiyah (w.1899).

Mengenai aktifitas dua tokoh ini berikut dedikasinya di Batang Kapas, masih ditutupi kabut sejarah. Yang pasti, Surau Tanjuang, diabad-abad sebelumnya merupakan satu sentra Tarikat, berikut pengamal Suluk, sebelum datang angin pembaharuan. Hal ini tentu koheren dengan sosok 2 tokoh yang kita sebutkan diatas.

Foto: saya (kanan) bersama Drs. Firdaus, M. Ag. menyelisik sisa-sisa kitab kuning di Rumah Gadang suku Malim Mansiang, Batang Kapeh.

Kambang

Kambang adalah negeri raja beraja. Begitulah percakapan kami, Bapak Yulizal dan Bapak Firdaus, ditengah jalan menuju Kambang. Menurut Bapak Firdaus, yang juga salah seorang pemangku adat di Muara Labuah, sebelum Kambang ramai dihuni manusia, salah seorang yang berposisi sebagai raja di Sungai Pagu (mungkin tepatnya di kerajaan Balun) meninggalkan kampungnya dan pergi bermukim di Kambang, tanpa kita ketahui sebab yang pasti. Di Kambang kemudian beliau mengembangkan adat sebagai di Sungai Pagu.

Secara geografis kita lihat posisi Kambang sangat dekat dengan Sungai Pagu (Muaro Labuah), Solok Selatan, hanya dibatang oleh gunung-gunung yang berjejer berbaris-baris saja. Bahkan, daerah-daerah lain di Pesisir Selatan, selain Kambang, juga mengaitkan nenek moyang mereka dengan orang-orang Sungai Pagu.

Tujuan pertama di Kambang ialah Mesjid al-Imam Koto Baru. Mesjid ini menjadi lambang kesatuan agama dan adat di negeri ini. sebagai namanya “al-Imam”, pemimpin, maka posisinya memang sentral sebab dalam mamang adat di negeri Kambang disebutkan “Masajik limo, koto sambilan, imamnya di Koto Baru”. Arsitekturnya terbilang unik, tergolong kuno, mungkin karena ini Dinas Kepurbakalaan lekas-lekas membandrol mesjid ini dengan “Cagar Budaya”. Tonggak berikut tiang mesjid ini membuat makna adat tersendiri. Diantara curai paparannya, tiang yang empat belas simbol 14 Datuak di Kambang, berikut tiang-tiang luar yang berjumlah 50 bermakna niniak mamak nan limopuluah. Namun bila ditinjau dari sejarahnya maka kita dapati mesjid ini tergolong masih muda, didirikan tahun 1926, oleh Datuak Radjo Kampai. Dan kita mempunyai riwayat mesjid dan surau yang lebih tua dari Mesjid ini.

Disini bermakam Mufti Kambang, bukti bahwa negeri ini raja beraja. Satu lemari yang berisi kitab-kitab kuning lama yang disebut “Kutubkhannah” (perpustakaan), yang menyimpan kitab-kitab yang isinya terbilang berat, seperti al-Umm, al-Majmu’ Syarah Muhazzab, Irsyadus Sari Syarah Shahih Bukhari, Syarah Ihya (Ittihaf Sadatil Muttaqin), Tuhfatul Muhtaj, dan lain-lainnya, mengisyaratkan penguasaan agama yang mendalam ulama-ulama yang pernah memapankan karirnya disini. Tepatnya kuat menganut Mazhab Syafi’i. Namun saat ini, mungkin sejak beberapa dasawarsa belakangan, kabut yang menghinggapi kitab-kitab ini semakin tebal, sebab tak ada yang membaca, pun yang pandai membaca berikut yang bisa mempahamkan secara jitu tak pula ada. Memang masih ada yang tua-tua, namun mereka hanya mau membuka ketika masalah pelik melanda. Apakah orang-orang tiada berkiblat lagi kepada kitab??? Tiada kita ungkap disini.

Tempat kedua yang kami sambangi ialah Koto Kandih, sebuah daerah ulama-ulama belaka dimasa silam, pusat agama yang sudah tua, kuat dengan faham ulama-ulama yang dahulu-dahulu. Kita mengenal nama ulama yang lama menuntut di Kelang, yang digelari Inyiak Kolang, yang berdasarkan penuturan kita perkirakan memapankan karir keulamaannya di abad XIX. Beliau mendirikan Mesjid Koto Kandih ini. meski telah memiliki bentuk renovasi, namun bentuk atap dikabarkan masih sesuai dengan gaya aslinya, bergonjong empat buah. Dalam silsilah ulama-ulama Kambang, tepatnya Koto Kandih, Syekh Kolang ini menepati urutan pertama. Generasi setelahnya, Syekh Muhammad Ali (Mufti Kambang tersebut). Generasi ke III yang mewarisi dari sang Mufti ialah Pakiah Nantan, setelah Pakiah Nantan, ialah muridnya yang menyambung estafet, Abuya Sidrah, yang lebih masyhur dengan Buya Abu Sidar, telah berusia tua pula.

Foto: Saya bersama Buya Abu Sidrah (kiri)

Maka yang kuat pertahanannya terhadap Ahlussunnah wal Jama’ah, dengan memakai furu’ ibadah berdasarkan Mazhab Imam Syafi’i, sebagaimanahalnya agama di alam Minangkabau semasa dulu. Disini didirikan sebuah Madrasah, dikenal dengan nama Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Kemudian dicari ulama-ulama buat mengajar disini, salah seorangnya yang begitu ‘alim ialah Syekh Juneid al-Mashri Situjuah Banda Dalam, Payakumbuh (murid dari Syekh Ruslan Limbukan). Salah satu hal yang tragis, dimasa susah, ketika fitnah agama yang dibeberkan kaum muda, terjadilah selang sengketa yang cukup hangat. Namun rupa-rupanya, pihak ketiga menunggang pula. Sehingga keadaan semakin alot, hingga disebut sebuah daftar “orang-orang yang akan dipancung bila bersikap keras”, disebutkan bila ada orang-orang yang melaksanakan shalat Tarwih 20 rakaat (sebagai dikenal dalam Mazhab kita Syafi’i, dipegang kuat-kuat oleh ulama Tua), maka masuk daftar, tunggu hari dimana bercerai kepala dari badan, rumahnya akan dipasang tanda tengkorak. Maka banyak orang-orang berfaham lama beralih ke faham baru itu. Hingga orang-orang yang dulu memakai shalat 20, mulai beransur shalat 8 rakaat. Dan beransur-ansur pula merobah amal yang lain. Abuya Abu Sidar sendiri masuk daftar, karena beliau kuat dengan faham lama, seperti warisan ulama-ulama silam. Namun beliau tetap memperjuangkan diri, tiada mau goyah. Hingga beliau lepas dari cobaan tersebut. Walhamdulillah. Ini kejadian di era 60-an, sebagai penuturan Abuya tersebut.

Begitulah perjalanan berkesan, menelusuri intan berlian, khazanah berikut jalannya agama di Pesisir Selatan. Apa yang dapat disurat kita tulisnya, yang tersisa dalam dada kita simpan untuk penguat batin memperjuangkan agama di pulau perca ini.
Harapan kita, supaya agama di Pesisir ini tetap berjalan dengan kuatnya. Jangan sampai pupus, tiada lagi regenerasi ulama-ulama yang telah mendahului ke hadirat Allah. Jangan biarkan tergerus arus, sebagai tergerusnya Pasir Putih Kambang oleh lautan yang mengganas.... Wallahu muwafiq ila aqwamit Thariq...

Minggu, 19 Februari 2012

Tudingan Kaum Muda dan Kaum Sufi Minangkabau: Fakta, keprihatinan dan harapan

oleh: Faqir yang Karam dalam laut Taqshir, Apria Putra


Suatu sore, dihari jum’at, saya berkesempatan menziarahi seorang ulama tua di Batuhampar. Beliau, Buya H. Sja’rani Chalil Dt. Majo Reno (lahir 1926), cucu dari ulama besar Minangkabau di Sumatera yaitu Maulana Syekh Abdurrahman bin Abdullah al-Khalidi “Beliau Batuhampar” (w. 1899), masih sehat bugar di usia senjanya di komplek Surau Dagang Batuhampar (sekarang Madrasah al-Manar), masih seperti keadaan dimana saya mengunjunginya dua tahun yang lalu. Air wajahnya menunjukkan kejernihan, lazim, sebab beliau turunan dari ulama-ulama Batuhampar yang terkemuka di Minangkabau, pewaris Tarikat Naqsyabandiyah sejak mula pelajaran agama tertancap kuat di Sumatera Tengah ini. Meski jernih wajah tetap menyinarkan semangat, namun ada gerangan yang mengganjal hati beliau. Bagaimana tidak, beberapa orang muda telah pula hendak mengoyang sendi Kaum Sufiyyah di daerah ini, hanya berbekal buku-buku yang dijual dengan promosi penuh rayuan akan para remaja dan orang muda. Beliau menggelengkan kepala membaca buku itu, sebab badan telah pula tua, suara tak selantang dulu semasa muda, mata telah kabur dimakan usia, sedang orang-orang muda masih kuat, tulang masih togok, pikiran masih nyalang menyala. Beliau berfikir, para generasi penerus tiada lagi yang mampu mempaham kitab kuning, Nahwu, Sharaf, Ma’ani, Bayan, Badi’, Mantiq dan Ushul, belum ada yang tajam, pisau-pisau yang dibawa masih tumpul belaka, bagaimana akan dibawa untuk mendedah dalil-dalil hendak membela Tarikat ini. dan ketika itu aku terhenyak, diam menekur. Sedangkan sedari dulu, lebih seratus tahun yang lalu, Batuhampar, adalah pusat agama Islam, turun-temurun mengajarkan Tarikat Naqsyabandiyah, dan Minangkabau sejak mula Islam mencapai jaya, telah dihuni oleh Ulama-ulama Sufi belaka, yang tak terpungkiri mereka telah memainkan peran sangat krusial dalam dakwah Islam ke berbagai belahan negeri, dari yang dekat hingga yang jauh-jauh. Kemudian beliau, Buya Sya’rani, bercerita tentang ulama-ulama Silam, mengenai laut ilmu mereka, dalam faham dan fasih lidahnya, seperti Syekh Abdul Wahid as-Salihi “Beliau Tabek Gadang” (w. 1950), atau yang kitab-kitab dalam benaknya, seperti Syekh Muda Wali Aceh. Dan aku terharu, tak berkedip, ditambah senyum merekah muda dari wajah tua Buya tersebut.

“dan kita harus rapatkan barisan”, sebab yang akan membuka langkah buat menghadang kita adalah mereka yang berpendidikan mesir, yang lancar bahasa Arab ‘Ammiyah-nya, yang retorika pidatonya jempolan, pandai benar mencari alasan-alasan buat menginjak Tarikat ‘Aliyah ini, ditambah hafal pula hujjah-hujjah Ibnu Taimiyah, telah pula tamat membaca kitab Ibnu Qayyim, tahu letak pendapat-pendapat Abdul Wahab, bergaya kesalafi-salafiyan, bila berbicara berhamburan ayat dan hadist, tiada kenal lagi Minhaj, Mughni, Qaliyubi, ‘Amirah, Tuhfah, Nihayah, tiada mau berpedoman pada Ihya’, Qusyairi, Qutul Qulub, melarang berpitua kepada Syafi’i dan Asy ‘Ary, apa lagi...

Bagaimana kita hendak menahan laju zaman, masa telah bertukar. Orang tua-tua yang alim Allamah, telah pula berganti dengan yang muda. Mulai dari Surau yang pernah mencapai keemasan, gilang gumilang di Alam Minangkabau, telah beransur bertukar dengan Madrasah, kemudian terakhir memakai nama Pesantren. Itulah kehendak zaman. Ada pula surau yang ditinggal lapuk saja, atau pula gonjong-gonjongnya yang bertingkat menarik hati, kemudian menjadi memujuk-mujuk mata, tempat berwisata, bahwa ini Minangkabau masa silam. Namun, sampai hatikah kita?? Sampai hatinya hendak merubah agama yang telah sejak semula diwariskan kepada kita, kemudian membelakangi kaji ulama-ulama Silam??? Sudah alim-kah kita dari mereka?? Sebab mereka tiada tahu dengan teknologi, tiada pandai bermanis-manis dengan retorika dan stilistika linguis, kita lihat mereka dalam keadaan usang, berbungkus kerisik. Tahukah kita??? Kalau ada intan, lukluk marjan, permata nilam, ratna manikam dalam kain yang telah lama itu???? Niscaya tuan-tuan tiadakan dapat menjawab.

Mereka, orang-orang yang mengaku ‘alim, yang hendak merongrong kaum Sufi itu, merasa bangga dengan “pembaharuan”, yang mereka gembar gemborkan dengan semboyan menggairahkan “memurnikan ajaran Islam, kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah”. Sebuah rayuan cantik, yang mampu menggoda para pelajar dan orang-orang muda yang tidak mempunyai dasar akar agama yang kokoh. Dengan kalimat sedemikian, berarti hanya mereka yang mengikut al-Qur’a dan Sunnah, sedangkan masyarakat banyak, berikut ulama-ulama silam telah jauh dari al-Qur’an!!! Na’uzubillah. Nyatalah telah tertipu mereka. Malah sebaliknya, ulama-ulama silamlah yang nyata memegang al-Qur’an dan Sunnah secara lurus, mengikut para Mujtahid yang telah ijma’ secara masyhur, mengikut akidah yang lurus, kitab dalam kepala, ilmu diamalkan, soal ibadahnya tiada orang-orang sekarang yang mampu menyaingi, bayangkan saja ulama-ulama silam itu hanya dengan berjalan kaki ke Mekkah, dan soal dengan dekat Allah tiadakan terkira sebab zhahir sekali karomah-nya. Bagaimana dengan orang-orang yang mengaku alim zaman sekarang???

Mulanya adanya pergolakan agama di Minangkabau, atau apa yang disebut dengan “pembaharuan” itu, mula terjadi pada awal abad XX (“Pembaharuan” dalam masa Paderi bukan pada konteks ini, para pemimpin Paderi nyata merupakan ulama-ulama sufi belaka), walau seabad sebelumnya ada serangan Syekh Salim Sumair dan Sayyid Usman bin Aqil terhadap Syekh Isma’il bin Abdullah al-Minangkabawi, namun serangan itu nyatanya hanya tertuju pada pribadi belaka, bukan pada Tarikat yang dianutnya, ini dapat dilihat pada kitab al-Wasiqatul Wafiyah fi ‘Uluwwi Syani Thariqatus Sufiyyah (terbitan Batavia, 1882). Pada awal abad XX tersebut, beberapa ulama muda di Minangkabau mulai mempertanyakan keabsahan Tarikat Naqsyabandiyah. Munculnya pertanyaan ini disinyalir besar karena bacaan-bacaan mereka terhadap Majalah al-Manar (Mesir) dan Majalah al-Imam (Pulau Penang). Nama seorang ulama besar asal Ampek Angkek (Agam), Syekh Ahmad Khatib bin Abdul Latief al-Minangkabawi (w. 1916) menjadi masyhur sekali sebab serangannya terhadap Tarikat Naqsyabandiyah lewat kitab Izhar Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bis Shadiqin (terbitan 1906), yang menyerupakan orang pakai rabithah dengan orang menyembah berhala. Kecaman ini telah dikupas habis oleh seorang ulama besar, pendekar Naqsyabandiyah, Syekh Muhammad Sa’ad bin Tintak al-Khalidi Mungka Tuo (w. 1922) lewat Irghamu Unufil Muta’annitin fi Inkarihim Rabitathal washilin (dalam Ayah-ku, Hamka, dengan rada menyindir menyebutkan bahwa Syekh Ahmad Khatib telah membasuh dalil-dalil Syekh Mungka, apakah benar demikian kejadiannya?? Apakah Hamka sudah membanding-bandingkan dua kitab ini?? sedangkan Hamka keliru menyebutkan judul kitab Syekh Mungka tsb). Perdebatan ini berlanjut antara dua ulama besar ini lewat kitab-kitabnya. Hingga akhirnya mereka merasa puas dengan pertahanan masing-masing. Dan dalam satu pertemuan jamuan makan di Mekkah, kedua ulama ini bertemu muka, Syekh Ahmad Khatib cukup tercengang dengan pribadi Syekh Mungka yang selama ini hanya dikenal melalui khabar lisan dari para jamaah haji. Keduanya kemudian berbincang-bincang dalam keramah-tamahan.

Kitab perbantahan dua ulama besar ini menjadi kajian ulama-ulama di Sumatera, mereka membanding-bandingkannya, untuk menilai dan memimbang mana yang tahqiq antara keduanya. Kemudian ulama besar seluruh Aceh, Maulana Syekh Muda Wali al-Khalidi Aceh, pendiri dayah besar Darussalam Labuhan Haji, mengomentari perdebatan ini, dengan menyatakan keunggulan Syekh Mungka, dan menyebutkan bahwa kitab Syekh Ahmad Khatib ibaratkan “Harimau yang telah dipancung lehernya”.

Dua orang ulama terkemuka Minangkabau lainnya juga mengomentari kitab Syekh Ahmad Khatib, diantaranya Syekh Muhammad Khatib ‘Ali di Padang, lewat kitabnya Miftahus Shadiqiyyah fi Istilahin Naqsyabandiyah (1908) dan, Ulama besar asal Bayang, Syekh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi (Syekh Bayang), selaku murid dari Syekh Abdurrahman Alahan Panjang, lewat kitabnya Targhub ila Rahmatillah. Keduanya menyatakan haq atas Tarikat Naqsyabandiyah.

Ketahuilah ikhwan!! Bahwa Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi adalah seorang ulama besar dalam Mazhab Syafi’i juga, meski dalam Tarikat beliau tidak sepakat dengan penggunaan rabithah, namun beliau itu pun juga seorang sufi belaka, dan mempunyai pandangan-pandangan khusu mengenai Tarikat, ini dapat kita lihat dalam kitab karangan beliau, yaitu Fathul Mubin fima yata’allaqu bi Umuriddin (terbitan Mekkah, tahun 1901). Beliau memang radikal dalam soal adat berpusaka kepada kemenakan, namun selain yang satu itu, beliau adalah seorang ulama bijaksana. Dengan demikian gugurlah anggapan para akademisi yang menilai bahwa Syekh Ahmad Khatib adalah sosok radikal tulen, yang memproduksi para pembaharu di dunia melayu, sedangkan murid-muridnya banyak pula yang menjadi ulama Tarikat ahli Sufi yang besar-besar.

Kemudian sebahagian murid-murid Syekh Ahmad Khatib yang pulang ke Minangkabau disebut menjadi pendebat Naqsyabandiyah ulung, seperti Syekh DR. Abdul Karim Amarullah (ayah Hamka), DR. Haji Abdullah Ahmad Padang (Direktur Adabiyah, redaktur al-Munir), ada lagi seperti Syekh Muhammad Jamil Jambek, ada pula seorang akademisi yang menyebut nama Syekh Muhammad Thayyib Umar Sungayang sebagai salah seorang mereka. Tahukah bahwa perjalanan dari setiap pribadi mereka sangat bersinggungan dengan Tarikat Ahli Sufi??? (hal ini akan penulis kupas agak panjang dalam tulisan lain), dan mereka adalah ulama-ulama dari Mazhab Syafi’i belaka.

DR. Abdul Karim Amarullah, anak dari seorang ulama besar atas dasar Tarikat Naqsyabandiyah di Maninjau, Syekh Amarullah Maninjau, adalah seorang ulama berjiwa Tasawuf pula, beliaupun telah mengambil Tarikat ‘Alawiyah dan Hadadiyah kepada ayahnya. Dan beliau tetap berpegang kepada pitua Syafi’iyah, meski dalam satu dua masalah beliau agak kasar.

Berikut, Abdullah Ahmad, redaktur majalah al-Munir itu, tetap pula berpegang pada kitab-kitab Syafi’iyah, sebagaimana kitab lihat dalam setiap bahasan majalah al-Munir.

Syekh Muhammad Jamil Jambek, ulama terkemuka ahli Falak itu, dikenal pula telah menerima Tarikat Naqsyabandiyah. 2 jilid karangan beliau, berjudul “Penerangan tentang Asal Usul Tarikat Naqsyabandiyah” (yang terbit agak lama, 1940-an), secara hati-hati mempertanyakan Naqsyabandiyah, tidaklah beliau berkeras. Setelah itu tiada pula terdengar gaungnya.

Perihal Syekh Muhammad Thayyib Umar sungayang, seorang ulama tokoh pendidikan, tak habis pikir kita bagaimana para akademisi memasukkan namanya menjadi seorang yang “radikal” itu. Beliau memang memajukan pelajaran agama dengan ilmu bantu, yaitu ilmu-ilmu umum, beliau juga memang suka sindir menyindir, suatu yang lumrah, suka berpantalon, meski nampaknya beliau lebih suka memakai sorban layaknya ulama-ulama besar masa itu. Beliaupun murid seorang Syekh Tarikat Naqsyabandiyah yang besar, Syekh Muhammad shaleh Padang Kandih (w. 1912, ayah “Beliau Tobekgadang” yang terkenal itu), andainya saja beliau tiada belajar Tarikat itu, mustahil beliau tiada mendengar atau menyaksikan dengan pikiran akan Tarikat Naqsyabandiyah di Munggu tersebut. Dan dalam “Soeloeh Melaju” (1914), terbit berita bahwa beliau tiada suka namanya disebut-sebut sebagai salah seorang corong al-Munir.

Jika disebut Syekh Thahir Djalaluddin, ulama besar asal Agam pula, yang hidup di tanah Malaya, sebagai penentang berat, tidak pula kita menemukan bukti. Sebagai seorang ulama lanjut, beliau tetap sebagai Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Memang beliau dalam al-Imam telah meniru gaya al-Manar, sebab beliau memang bertemu Abduh dan Rasyid Ridha di Mesir. Muridnya yang cukup dekat, Haji Bakhtiar Djamili, dalam biografinya, memberikan informasi bagaimana wirid-wirid Syekh Thahir, berikut Tarikat-tarikatnya, beliaupun juga seorang yang mahir silat, layaknya ulama-ulama tua Minangkabau lainnya.

Jika ditonjolkan dua tokoh pembaharu Mesir terkemuka, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, ketika kita mendalami riwayat hidup dua tokoh ini, nyatalah keduanya mempunyai riwayat kedekatan dengan para tokoh sufi berikut Tarikat-tarikat yang ada di Mesir, seamsal Rifa’iyah. Hal ini telah diungkap oleh Elizabeth Sirriyeh, pakar Sufisme dari University of Leeds, dalam “Sufis and Anti-Sufis”-nya
Dan sekarang kita lebih terperanjat lagi. Kalau pergolakan agama yang terjadi hampir seabad yang lalu itu lahir dari ulama-ulama besar, tahu kitab, satu guru, memakai kearifan “orang Minang”, dan mereka masih Syafi’iyah, yangmana mereka berdebat dengan mengarang kitab, mereka tiada mau mencaci terlalu kasar, tetap solit meski paham tak sama, namun sekarang apa yang kita lihat sudah sangat jauh.

Sekarang (abad 21), kebanyakan faham-faham yang membelakangi kaji ulama-ulama Minangkabau dulu itu dibawa oleh tamatan Timur Tengah, termasuk Madinah, Mesir, Sudan dan lainnya (meski tidak semuanya seperti itu, namun gerak langkah yang sebahagian itu telah begitu jauh). Meski beberapa dasawarsa silam (awal abad XX), ada pula orang Minangkabau yang belajar ke Mesir, seperti Syekh Thahir, Syekh Jalaluddin Thaib Bukittinggi (Pendiri Madrasah al-Indonesia di Mekkah), Prof. Mahmud Yunus, Prof. Mukhtar Yahya, Nasharuddin Thaha, Mukhtar Luthfi, dan lainnya, namun tidak seperti ini ronanya.

Memang, sebagai diutarakan Elizabeth Sirriyeh lewat risetnya, Mesir telah dipengaruhi oleh Abduh dan Rasyid Ridha. Keduanya memainkan peran penting dalam memberantas Tarikat-tarikat Sufi, lewat kedudukan Abduh sebagai Mufti Mesir, dan muridnya Rasyid Ridha yang aktif menulis dalam “al-Manar” yang begitu berpengaruh, berikut kecaman terhadap prilaku “Taqlid” dalam Mazhab fiqih tertentu. Begitu halnya.

Dengan slogan yang amat manis, “memurnikan ajaran Islam itu dari khurafat, kembali kepada al-Qur’an), mereka (keluaran Timur Tengah) berpidato penuh retorika, atau lewat blosur-blosur jum’at memberitahu kalau masyarakat telah terperosot jauh, telah syirik dan bid’ah, sehingga banyak orang-orang awam dan para pelajar terpedaya. Mereka pakar jargon “Salaf” sebagai tren untuk idola, sangat menawan dengan reklame: “mencontoh Salafus Shaleh”; indah, namun sangat perlu diwaspadai. “Salafi” sebuah nama populer bagi “Wahabi”, yang hendak pula mendangkalkan akidah dengan menyatakan bahwa Tauhid itu cuma mengerti “Uluhiyah” dan “Rububiyah”, sebuah keniscayaan. Generasi muda takkan kenal lagi istilah “Ta’luq Tanzihi Hadis” dan “Ta’luq Suluhi Qadim”, dan takkan mengerti lagi dengan “Kam Mufassal” dan “Kam Mujmal”, tak pula kenal dengan istilah “Duur” dan “Tasasul”, hingga tak tahu “Sifat Dua Puluh” yang membuat orang tua-tua kita dulu sampai kepada “Ma’rifat”. Sebab mereka hanya belajar Tauhid “Uluhiyah” dan “Rububiyyah”, TITIK. Wajar kalau mereka membatalkan suatu amal yang tidak termakan oleh otaknya, seperti ber-“Tahlil” dengan suara melengking khas “Sammaniyah”, atau tidak percaya dengan “Khariqul lil Adah” (peristiwa diluar logika, atau “Karomah”). Memilukan.

Kebanyakan brosur-brosur mengenai “Salafi” dikirim dari Saudi Arabia, dikeluarkan oleh sebuah departemen yang dikendalikan oleh ulama-ulama Wahabi, yaitu “Departemen Dakwah dan Irsyad”, kumpulan dari ulama-ulama resmi dari “Alu Syaikh” (keluarga/ yang sepaham dengan Syekh Abdul Wahab, sesepuh Wahabi), tersebut nama-nama Abdullah bin Bazz, Shalih Fauzan, dan lainnya, yang mengeluarkan fatwa ganjil-ganjil yang tiada dikenal dimasa Imam yang Empat. Kemudian diperparah dengan munculnya Nashiruddin al-Bani, yang dikatakan ahli Hadist, padahal dia hanya belajar secara otodidak, tidak menerima secara “musalsal” dari guru ke guru (layaknya seorang ulama Hadist yang sejati), yang telah dibuka kedok kesesatannya oleh puluhan ulama dari berbagai penjuru dunia, lewat berbagai macam “Risalah” dan “Kitab”.

Seperti itulah realita yang kita hadapi, mau bagaimanapun mesti kita lalui. Karena pepatah Arab memang benar: “Setiap yang jatuh, mesti ada yang memungutnya”. Maka salahnya dalam syara’, ialah hendak merobah sesuatu yang terlah di-“Ijma’”-i sejak dahulu kala. Kalau salah dalam adat, menyebarkan faham-faham baru yang menyalahi orang banyak disebut dengan DAGO-DAGI (mangguntiang nan lah bunta, manyubik nan lah rato), salah diundang-undang Duo Baleh. DAGO = membatalkan mufakat yang telah adil dalam Negeri (=Mufakat Agama). DAGI = membuat haru biru dalam Nagari (yaitu huru hara dengan memasukkan faham baru yang membuat ricuh masyarakat). Karena tersebut Minangkabau, Indonesia, Dunia Melayu umumnya, sejak dahulu telah kuat memegang Mazhab Syafi’i, ber-“I’tiqat” Ahlissunnah wal Jama’ah, dan memakai Kearifan Tasawuf lewat pengamalan Tarikat-tarikat “Mu’tabarah”. Bukan Ahlussunnah versi Wahabi, bukan pula Ahlussunnah versi Ibnu Taimiyah.

Itulah yang dipegang oleh umat Islam, sejak mula Islam itu masuk ke nusantara, diakui oleh sejarawan manapun. Bahkan ketika terjadi “Sumpah Satie Bukik Marapalam”, pengukuhan pertalian adat dan syara’ di Puncak Pato, Lintau, dimasa Paderi, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “Syarak nan Kawi, Adat nan Lazim” itu adalah agama Islam dengan I’tikad Ahlissunnah wal Jama’ah dan atas Mazhab Syafi’i dalam Fiqih. “Dipotong Kabau, Dagiang dilapah, Darah dicacah, Tanduak dibanam ka Tanah, di Mulai jo Fatihah, disudahi jo Do’a, Sia nan Malangga akan dimakan Biso Kewi, Kaateh Indak Bapucuak, Kabawah Indak Baurek, Ditangah digiriak Kumbang…”.
Begitulah keadaan yang kita terima. Tiada jalan hendak memperjuangkan agama di Ranah Minang ini, kecuali dengan merapatkan barisan, mewariskan ilmu yang kita terima dari ulama-ulama silam, kembali membuka kitab-kitab yang telah lama berdebu, mengisi kembali pengajian kita, mempertegak kembali tonggak-tonggak surau yang telah condong akibat masa. Intinya mendirikan pekerjaan agama, mendidik tunas muda dengan penuh kesungguhan, menyiapkan regenerasi buat memperjuangkan agama dizaman mendatang, melafazhkan kembali “kitab kuning” tanpa menghiraukan omongan kaum Modernis yang menganggapnya dengan sebelah mata, kita singkap intan berlian dari kain yang telah usang, biar berpindah ke kain yang baru. Biar cemerlang ranah Minang ini; “dalam nan indak tajangkau, dangka nan indak tasubarangi, buayo gadang maunikan”, sebagaimana dahulu. Biar zaman bertukar, meski gaya dan rono berganti, namun dalam agama tetap teguh dalam akidah, “Bagantuang ka Tali nan Indak Kaputuih, Bapagang ka raso nan Indak ka hilang”, itulah “Iduik nan ka dipakai, mati nan ka di tompang”.

Dan saya masih tertegun, diam menekur, sambil mengapit kitab lama bertuliskan tangan yang telah berusia lebih dari 200 tahun ini, Kifayatul Muhtajin ila Masyrabil Muwahidin bi Wahdatil Wujud karya Syekh Abdurra’uf Singkel, titipan Buya Sya’rani Khalil Dt. Majo Reno.