Jumat, 01 Maret 2013

Di antara sisa-sisa peninggalan Tuanku Samiak Biaro

Oleh: al-Faqir Apria Putra

Beberapa waktu yang lalu saya sempat diajak untuk melihat kitab-kitab tua di Ampek Angkek (Bukittinggi), Luak Agam. Di sana ke dapatanlah beberapa naskah tua yang ternyata berasal dari kepunyaan Tuanku Syekh Samiak Ilmiyah di Biaro. Tuanku Syekh tersebut ialah salah seorang ulama kenamaan di abad 19. Bertempat di Biaro, beliau mendirikan sebuah surau yang kemudian masyhur di kalangan ‘urang-urang siak’ (santri) dari berbagai daerah di Minangkabau. Di surau ini dulunya, Syekh Sulaiman ar-Rasuli Candung (1871-1970), salah seorang ulama terkemuka Minangkabau abad 20, pernah menimba ilmu agama.

Surau Tuanku Samiak ini tetap berdiri hingga akhir abad 20, meski pelajaran agama seperti masa Tuanku Syekh tersebut tidak dapat dipertahankan dari perputaran zaman. Namun disayangkan, surau kayu tersebut yang pernah menjadi basis pendidikan Islam, yang menjadi salah satu pilar sejarah itu habis usia karena kebakaran. Entah apa sebabnya. Beberapa orang mencoba melerai api dengan menyelamatkan benda-benda yang terdapat pada surau tersebut, sebelum semuanya jadi abu. Maka beberapa benda dilempar dari atas surau melewati celah, apakah pintu atau jendela. Ketika itu bertaburanlah kitab-kitab tulisan tangan (yang dikenal dengan istilah ‘naskah’ dan ‘manuskrip’) di halaman surau. Beberapa orang yang menyaksikan menyelamatkan kitab-kitab tua itu. Tak banyak kitab-kitab itu bterselamatkan. Di antaranya di simpan di Balai Gurah. Koleksi itulah yang dapat saya cermati dalam perjalanan saya waktu itu.


Foto: Saya, naskah-naskah Tuanku Samiak dan tumpukan kitab-kitab di Balai Gurah, Ampek Angkek. (feb 2013)


Foto: Kondisi Naskah koleksi Tuanku Samiak


Foto: Satu naskah tebal koleksi Tuanku Samiak

1. Teks Ta’bir (Takwil) Gempa dalam naskah-naskah Tuanku Samiak Biaro


Dipenghujung tahun lalu (2012), Yusri Akhimuddin, dosen sekaligus peneliti manuskrip dari STAIN Batusangkar, menyelesaikan magister Filologi di UIN Syarif Hidayatullah, dengan yudisium cum laude. Yusri mengangkat ‘naskah-naskah takwil (ta’bir) gempa’ dalam tesisnya. Ia telah menginventaris 16 teks takwil gempa dari berbagai wilayah di Indonesia, mulai dari Aceh sampai Cirebon, dan yang mendominasi yaitu wilayah Minangkabau. Naskah-naskah takwil gempa Minangkabau berasal dari berbagai surau, seperti Surau Ulakan, Surau Lubuak Ipuah, Surau Malalo dan lain-lainnya, di mana surau-surau tersebut berada di daerah rantau dan pesisir, dan terikat kuat dengan tradisi tarekat Syatariyah.

Di temukannya 2 teks Takwil Gempa dalam koleksi naskah peninggalan Tuanku Samiak menambah jumlah teks takwil gempa di Minangkabau (ketika Tesis Yusri rampung belum ditemukan). Namun uniknya, 2 teks takwil gempa tersebut di temukan di darek, di mana komunitas tarekat Naqsyabandiyah lebih mendominasi.


Foto: salah satu teks Takwil Gempa dari koleksi naskah Tuanku Samiak

Teks Takwil Gempat versi Biaro ini terdapat pada kulit kitab, pertama pada kulit kitab (naskah) tafsir, kedua kitab (naskah) Minhaj al-Talibin.

2. Perihal nama-nama yang baik untuk anak

Dalam satu bagian, yaitu pertengahan naskah Minhaj al-Talibin (Fiqih Syafi’iyyah), terselip dua halaman mengenai petunjuk pemberian nama-nama yang baik terhadap anak. Pemberian nama-nama itu dikaitkan dengan bulan lahirnya. Misalnya bulan Ramadhan, maka nama yang baik diberikan ialah si polan, si polan, si polan… dst. Nama-nama yang tercantum dalam teks itu terdiri dari nama-nama Nabi, istri-istri Nabi dan lainnya. Informasi ini cukup menarik.

3. Mazhab Syafi’I: Imam Nawawi, Jalaluddin Suyuthi dan Jalaluddin Mahalli

Koleksi naskah Tuanku Samiak yang saya amati, sebagaimana naskah-naskah keagamaan di surau-surau lain di Minangkabau, menunjukkan eksistensi Mazhab Syafi’I yang kuat. Hal ini tercermin dari pemakaian kitab-kitab karangan ulama-ulama kenamaan Syafi’iyyah, seperti Imam Nawawi, Imam Suyuthi dan Imam Mahalli.

Imam Nawawi menyusun kitab fiqih yang sangat popular di dalam dunia Islam, yaitu Minhaj al-Talibin, yang dari dulu di pakai luas, hingga sekarang tetap menjadi literature wajib ilmu Fiqih pada madrasah-madrasah dan universitas di berbagai belahan dunia, khususnya di Minangkabau.


Foto: Halaman terakhir naskah Tafsir koleksi Tuanku Samiak

Imam Suyuthi dikenal luas, salah satunya dengan tafsir yang ditulisnya bersama Imam Mahalli. Tafsir itu sangat fenomenal, yaitu Tafsir Jalalain, artinya tafsir dari dua Jalaluddin. Kedua ulama ini sangat masyhur dalam dunia Islam.

Imam Mahalli menulis komentar (syarah) yang menjelaskan kitab Minhaj al-Talibin Imam Nawawi. Komentar ini juga sangat populer. Yaitu berjudul Tuhfat al-Raghibin Syarah Minhaj al-Talibin, atau di surau-surau lebih dikenal dengan nama ‘kitab Mahalli’, pelajaran tingkat takhassus.

Karya-karya ulama-ulama tersebutlah yang menjadi koleksi Tuanku Samiak yang saya saksikan. Dalam koleksi itu ada Minhaj, ada Jalalain, pastinya menurut garis Mazhab Syafi’i.

Al-Qur’an tulisan tangan

Jika naskah-naskah koleksi Tuanku Samiak lain dalam format besar dan tebal-tebal, kali ini ditemui naskah ukuran saku, berupa al-Qur’an tulisan tangan. Konon saya dengar cerita-cerita dari beberapa orang surau, al-Qur’an tulisan tangan dulu itu mempunyai rahasia dalam penulisannya. Ketika saya tanyakan, mereka menjawab, pada ayat ‘wal yatalattaf’ (pertengahan al-Qur’an, pada surat al-Kahfi) terdapat ukir-ukiran yang bila dilihat dengan kaca pembesar akan ditemui tulisan-tulisan kecil berupa ‘Ismul A’zham’. Itulah sebabnya banyak penjaja-penjaja naskah di beberapa daerah mati-matian memburu-buru manuskrip al-Qur’an, karma nilai jualnya mahal. Begitu ungkapan orang-orang tersebut. Namun, ketika saya balik-balik pada surat al-Kahfi, kalimat ‘wal yatallaf’ ditulis biasa saja, tidak ada tanda, baik dipinggir atau lainnya. Meski tidak menemui apa yang diceritakan itu, saya besar dugaan terdapat keunikan lain dalam naskah ini, apakah dari segi ‘rasam’ atau ‘qira’at’ yang dipakai dalam penulisannya.


Foto: Naskah al-Qur'an koleksi Tuanku Samiak Biaro.

Demikian ziarah saya ke Balai Gurah, Ampek Angkek, 2 minggu lalu.

Ampang, Kuranji, Padang.
Al-Faqir