Sabtu, 18 Mei 2013

Paderi versus Wahabi: Catatan dari Surau Mengenai Faham Keagamaan Ulama Paderi

Oleh: al-Faqir Apria Putra

Sejarah Paderi yang tersiar.

Paderi merupakan salah satu fase penting dalam sejarah Islam di Minangkabau di awal abad 19. Sejarah mengenai Paderi; mulanya, jalannya peperangan, hingga berakhirnya karir Tuanku Imam Bonjol dengan dibuang ke Menado, telah maklum diketahui dari generasi ke generasi, dibarengi dengan publikasi artikel, jurnal, buku, hasil penelitian mengenai Paderi yang semakin digemari. Publikasi itu telah lama kita dengar, kita baca, apakah dari sumber-sumber Belanda sendiri, sumber pribumi (yang ditulis oleh ilmuan Indonesia sendiri, seperti Radjab, Hamka dan lainnya), hingga manuskrip-manuskrip peninggalan ulama-ulama yang mempunyai keterkaitan dengan Paderi tersebut (seperti manuskrip yang dikenal dengan memori Tuanku Imam Bonjol yang raib setelah festival Istiqlal dua dasawarsa lalu).

Salah satu bagian menarik, dan menggelitik dari beberapa buku yang menguraikan mengenai Paderi tersebut ialah disebutkan bahwa “Paderi ialah Wahabi”. Sebuah pernyataan yang menyentakkan saya, karena bukan hanya dibicarakan oleh orang-orang terkemuka dalam lapangan kesejarahan negeri ini, tapi tertulis rapi dalam buku-buku yang familiar dengan kita seperti “Sedjarah Minangkabau (1950)” dan lainnya. Penyataan ini sekaligus menjadi cemeti bagi sebahagian “kalangan”, dengan niat menekankan pengaruhnya, bahwa di sini, Minangkabau, sejak dahulu Wahabi itu telah ada. Bagaimana 3 orang Haji asal Minangkabau; Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumaniak menyebarkan ajaran baru, hingga merona merekah tersebar ajaran itu di negeri ini. Ini membuat heran kita, selaku orang-orang di Surau, negeri yang menjadi salah satu pusat keislaman di Nusantara ini pernah menjadi sentra gerakan radikal-puritan, membid’ahkan segala yang yang tidak sesuai dengannya; melalap habis tasawuf, memalingkan furu’ syari’ah dari Mazhab Syafi’i menjadi ber-Mazhab ala Ibnu Taymiyah. Benarkah demikian adanya? Bila kita tinjau secara mendalam, berbeda keadaannya 180 derajat antara Paderi dengan Wahabi. Kita urai sekedar dalam tulisan sederhana ini.

Siapa Wahabi. Dari karya-karya klasik yang ditulis semasa dengan gerakan Wahabi di Mekah awal abad 19, seperti “Fitnatul Wahabiyyah” karya Mufti Mekah Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, “al-Shawa’iq al-Ilahiyyah” karya Syekh Sulaiman Sulaiman bin Abdul Wahhab (saudara Syekh Abdul Wahhab al-Najd tersebut), atau buku-buku baru penelitian muslim maupun non muslim sendiri, seperti “al-Wahabiyyah Firqah lil-Tafriqah Baynal Muslimin: Dirasah Tarikhiyyah Syamilah” karya Hamid Ibrahim Abdullah dan “Wahabi Islam: From Revival and Reform to Global Jihad” karangan Natana J. Delong-Bas, diketahui sepak terjang Wahabi sejak permulaan kemunculannya, hingga gerakannya hingga saat ini. Di sini akan kita ringkas. Wahabi dinisbahkan kepada pendirinya Syekh Muhammad ibn Abdul Wahhab al-Najd. Gerakan ini bermula dari pemahaman Syekh Muhammad ibn Abdul Wahhab sendiri, yang nota bene-nya dipengaruhi oleh pemahaman Ibnu Taymiyah. Gerakan ini pernah menguasai Mekah pada awal abad 19, namun tidak beberapa lama setelahnya terusir oleh Syarif Mekah. Dan kembali menguasai Mekah pada tahun 1925. Sampai saat ini, Wahabi menjadi faham resmi Saudi Arabia, dan mereka menamakan sendirinya dengan “Salafi”, sehingga tampak lebih menawan. Dan sekarang lebih canggih lagi setelah populernya Muhammad Nashiruddin al-Albani yang mereka elu-elukan sebagai muhaddis besar malah sampai menyatakannya sebagai Mujtahid Muthlaq; yang kemudian menjadi tameng untuk menjustifikasi ajaran-ajaran yang berseberangan dengannya. Pokok ajarannya, menolak ajaran-ajaran yang berseberangan dengan mereka; seperti tawassul, ziarah, tasawuf berikut tarekat-tarekat yang ada, taqlid kepada imam-imam mazhab (meski mereka mengaku diri bermazhab Hanbali), Maulid Nabi, I’tikad Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy’ari dan Maturidi), dan banyak lagi lainnya. Semua yang berseberangan, dengan mudah, dilabeli dengan “bid’ah”.
Kemudian bagaimana dengan Paderi?

Paderi, Samakah dengan Wahabi?

Dari beberapa buku tulisan orang-orang negeri bawah angin ini kita baca, sebahagian darinya menekan betul bahwa Paderi ialah Wahabi sendiri, dalam artian berfaham sebagaimana faham Wahabi yang kita paparkan di atas. Benarkan demikian adanya.

Hamka, sebagai seorang tokoh yang gandrung dengan pembaharuan, menulis dalam “Ayahku”, yang kemudian dipertegasnya dalam “Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao” (buku bantahan terhadap “Tuanku Rao” yang ditulis Parlindungan), bahwa 3 Haji yang bersinggunggan dengan kondisi sosial Mekah ketika Wahabi menyerang Mekah mendapat inspirasi. Inspirasi untuk menegakkan agama sebagai orang-orang Wahabi yang keras. Ketika mereka pula ke kampung halamannya, semangat itulah yang dibawa untuk menghentikan sabung ayam, minum tuak, judi dan lainnya (baca “Ayahku”, 1982, hal. 14-15). Namun apakah ketiga Haji, kemudian diejawantahkan oleh Tuanku nan Renceh dan Harimau nan Salapan perpaham ala Wahabi pula? Ternyata tidak. Hamka meneruskan dalam “Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao”, bahwa semenjak dahulu Mazhab Syafi’i telah berurat berakar di Minangkabau khususnya, Nusantara umumnya. Artinya, meski Paderi dikenal radikal dalam tindakan, namun secara faham keagamaan tidak ada yang berubah. Dan kita menemukan banyak bukti tentang hal itu, di sini kita lansir sekedar.

(1) Paderi dan Tarekat.

Keberadaan Tasawuf, sebagai salah satu cabang keilmuan terpenting dalam Islam telah jauh ada di Minangkabau, semenjak Islam itu masuk ke daerah ini. Munculnya gerakan Paderi di awal abad 19 ternyata tidak merubah kentalnya ajaran Tarekat (Tasawuf) di daerah ini. Ini kita lihat, dari perihal kehidupan tokoh-tokohnya sendiri. Tuanku nan Tuo (1723-1830), dikenal sebagai ulama yang lautan ilmu, dikenal luas sebagai Wali-Allah yang bertuah. Dalam satu catatan langka, catatan dari Syekh Jalaluddin Cangkiang (muridnya) yang masih berbentuk manuskrip, kita ketahui bagaimana sosoknya yang menjadi “tempat menimba ilmu, fatwa dan bernazar” (manuskrip tersebut telah berusia hampir 2 abad, tersimpan di Surau Calau Sijunjung). Beliau telah menerima tarekat Syattariyah dari Syekh Mansiangan yang Tuo, silsilahnya bersambung kepada ulama besar Syekh Burhanuddin Ulakan (semua informasi ini dalam “Surat Keterangan Syekh Jalaluddin Ahmad” yang terbit dalam “Verhaal van den Aanvang der Padri-Onlusten op Sumatera”, 1857). Salah satu cabang keilmuan yang diajar, di samping fikih, tafsir, ma’ani dan lainnya, oleh Tuanku nan Tuo ialah Tasawuf, dengan mengajarkan tarekat Syattariyyah ini. Sebagian murid-muridnya inilah yang kemudian menjadi penggerak Paderi, di antaranya Tuanku nan Renceh dan Harimau nan Salapan. Meski mereka tidak sependapat dengan gurunya yang konservatif, namun mereka tidak membantah keilmuan Tuanku nan Tuo. Begitu juga, Syekh Jalaluddin Cangkiang, dikenal dengan tokoh awal Tarekat Naqsyabandiyah di Darat (ini dibicarakan oleh banyak sumber, seperti dalam “al-Miftah al-Shadiqiyyah”-nya Syekh Chatib ‘Ali). Selain itu, pasukan Paderi, di antaranya ialah Syekh Ibrahim bin Pahati Kumpulan, seorang ulama besar yang kemudian dikenal sebagai tokoh Tarekat Naqsyabandiyah di Sumatera. Kesemuanya adalah ulama yang berpegang dengan Ahlussunnah wal Jama’ah dan Mazhab Syafi’i (Baca “Syair Syekh Ahmad Jalaluddin Cangkiang”, manuskrip).

Jelas bahwa, Tarekat dan Paderi bergandeng kuat; dengan tarekat itu pula mereka berjuang (kemudian) melawan Holanda. Hal ini diperkuat, bila kita sempat berjalan-jalan ke kawasan Bonjol, Lintau, Lima Puluh Kota, dll, kita akan temui daerah itu sebagai pusat Tarekat-Tarekat yang diwariskan dari ulama ke ulama semenjak dahulu.

(2) Paderi dan Maulid Nabi.

Syekh Jalaluddin Ahmad Cangkiang, menulis (dalam sumber pribumi yang menjadi rujukan sejarah) dalam “Surat Keterangan”, bahwa dimasa Paderi inilah dimulai perayaan Maulid Nabi (baca “Verhaal”). Dengan ini, Schrieke, sarjana Filologi dan Sosiologi dimasa Belanda menegaskan bahwa Paderi bukanlah Wahabi.

(3) Paderi, Makam Keramat dan Mantera.

Juga berdasarkan saksi mata Paderi, Syekh Jalaluddin Cangkiang, beliau menulis bahwa Paderi tidak menegahkan berziarah kepada makam-makam ulama yang dianggap keramat (baca “Verhaal”). Ini kemudian bisa kita saksikan makam pejuang-pejuang Paderi yang dapat kita lihat, semuanya dibuatkan kubah, dan diziarahi layaknya ulama-ulama sufi. Misalnya Makam Tuanku nan Garang di Pandai Sikek, Haji Piobang di Payakumbuh dan Tuanku nan Garang di Harau, mereka dikenal masyarakat sebagai tokoh-tokoh Tasawuf. Bahkan dikabarkan bahwa dimasa Tuanku nan Renceh inilah populernya mantera-mantera berbahasa Minang yang kental unsur Islamnya. Tentu hal ini 180 derajat membelakangi Wahabi. Lagi, bila kita lihat peninggalan bekas tangan Tuanku Imam Bonjol, kita temui beberapa manuskrip mengenai pengetahuan hari baik dan hari buruk, ilmu Mantiq, dll, tentu semakin membuat jelas.


(4) Riwayat Paderi: Riwayat Sufi-Sufi.

Bila tuan membaca scrip (tulisan) asli mengenai sejarah Paderi, niscaya kita akan melihat kisah-kisah jalannya gerakan ini seperti riwayat sufi-sufi. Ini misalnya ketika membaca “Surat Keterangan”, “Nazham Syekh Jalaluddin”, “Memori Tuanku Imam Bonjol”, dll, semuanya (kecuali yang terakhir) masih dalam bentuk manuskrip, tulisan tangan dengan huruf Arab Melayu.


Walhasil.

Kembali kita kutip analisa Hamka dalam “Antara Fakta”nya, bahwa ketiga Haji (pelopor Paderi) itu memang terpengaruh Wahabi, namun mereka tidak mengikuti mazhab Hanbali (mazhab-nya Wahabi). Berikut schrieke berujar, pengikut Islam yang ketat bukanlah Wahabi. Hasilnya, Paderi, sepakat kita akui awalnya sebagai gerakan radikal dalam menegakkan syari’at (shalat, shalat berjema’ah, puasa, meninggalkan maksiat dan lainnya), yang kemudian menjadi perjuangan mengusir penjajah Belanda. Namun, perlu kita tekankan, meski 3 Haji terinspirasi oleh radikalisme Wahabi di Mekah, Paderi tidak mengambil faham Wahabi sebagai ideologi perjuangannya; mereka tetap ber-Ahlussunnah wal Jama’ah, bermazhab Syafi’i dan ber-Tarikat sebagai sedia kala, dan itulah yang diwariskan dari ulama ke ulama, hingga saat sekarang ini. Kesimpulan ini akan sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Prof. Adrianus Chatib dalam disertasinya “Paderi dan Faham Keagamaan di Minangkabau” (1991, yang sampai saat ini belum dipublis).

Tulisan ini saya niatkan sebagai pembangun teman sepetiduran di Surau; supaya terjaga, menggenggam erat-erat Ahlussunnah wal Jama’ah yang diwariskan ulama-ulama silam di negeri seribu ulama ini. Menginggat, semakin maraknya propaganda dari teman-teman kita yang telah menompang biduk yang asing, sepulang Kairo, di mana mereka hendak menyisihkan Surau, membelakangi Ahlussunnah wal Jama’ah yang mayoritas diperpegangi oleh ulama dan kaum Muslimin di dunia, hendak menukar itu semua dengan faham Salafi-Wahabi. Ingat, meski mendapat diploma al-Azhar, mereka yang berfaham seperti itu bukanlah orang yang menimba ilmu kepada ulama-ulama al-Azhar, tapi belajar di halakah-halakah Salafi-Wahabi yang bertebaran di luar al-Azhar.
Semoga terjaga dari lelap, wahai Urang Siak!!!

Dalam khalwat yang hening,
Jakarta.