Jumat, 18 Maret 2011

Sebuah Catatan bagi mereka yang mengingkari penghulu-penghulu Naqsyabandiyah: Satu Kesaksian Sejarah, Kehalusan Pesan dan Cerminan “Raso” dari Luak Limopuluah

Oleh: Apria Putra

Tersebut dalam sejarah, bahwa keberadaan Tarikat Naqsyabandiyah di Minangkabau mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan Islam di ranah ini. Dia adalah amalan ulama-ulama besar sejak dahulu kala, bukan hanya di Minangkabau ini, di Sumatera, bahkan di Indonesia ini. mereka –ulama- silam itu, disamping zahir ‘alim bersyari’at, mereka juga bertarikat, mereka memakai dua sayap, lahia dan batin, masyhur berpakaian dengan pakaian Naqsyabandi. Itulah kaji ulama-ulama Ahlussunnah di negeri gudang ulama ini. orang-orang yang mengenal sejarah tentu tak akan memungkiri betapa besar jasa ulama-ulama yang nota bene-nya Ahli Tarikat Sufiyah itu, apakah dalam penyebaran Islam atau perjuangan melawan penjajah.
Maka dialah intan berlian yang tersisa dari ulama-ulama silam, lukluk marjan pusaka orang-orang alim saisuak, yang terus diwarisi dan dipakai, hingga orang-orang luar kagum ketika memasuki Luak nan Bungsu, sebab masyarakatnya ramah dan santun, dan satu sebabnya, disamping alam geografis yang membentuk watak itu, ialah karena cahaya kulimah diwajah mereka, sebab mereka orang-orang Naqsyabandiyah.
Sungguh saya tak mampu menguraikan “Naqsyabandi” yang ibarat samudera itu kehariban tuan-tuan, sebab “Naqsyabandiyah” satu coraknya bukanlah salah satu dari ilmu suthur, tapi dialah ilmu shudur. Sungguh saya takkan menguraikan yang “Batin” itu dalam kertas yang kecil ini, sebab kertas ini takkan mampu membendung luasnya lautan Tasawwuf yang tersimpan dalam mutiara Naqsyabandiyah. Pun saya ini barulah orang awam bekala, alim bukan, ulama tidak, ilmu bintang-bintangan, jo adat ambo mangapalang, jo syarak jauah sakali. Namun karena soal ini suatu yang penting, yang telah pula menggoncangkan alam Minangkabau diawal abad ke-20, maka perlu pula menulis ini kehadapan tuan-tuan yang dipercaya selaku pemutus “kato syara’” dalam Luak nan Bungsu ini.
Saya takkan mengurai “Tarikat”, semua telah jelas tertulis dalam kitab-kitab mu’tamad yang dipakai sejak ratusan tahun yang lalu. Sebutlah semisal kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam al-Ghazali yang terkemuka, Jami’ul Ushul fil Auliya’ karangan Syekh Ahmad al-Khamaskhanawi an-Naqsyabandi, Risalah Qusyairiyah buah tangan Imam al-Qusyairi dan banyak lagi lainnya, beratus-ratus judul dapat kita sebutkan. Namun yang yang menjadi masalah, yang akan menguraikan kitab itu siapa lagi??? Mau dibaca saja, maka bersya’irlah orang-orang alim:
من يأخذ العلم من شيخ مشافهة يكن عن الزيغ و التصحيف فى حرم
و من يكن آخذا للعلم من صحف فـــــعلمه عند أهل العلم كالعدم

Berpendidikan Mesir-pun belumkan lagi menjadi jaminan buat membaca dan menguraikan karya-karya besar itu. Wajar bila tampak keanehan, sebagai tradisi Islam di Minang ini, lantas kontan mengata Bid’ah, khurafat dan Tahayyul.
Dan “Tarikat” itu bukanlah satu aliran faham sebagai banyak diungkap saat ini, niscaya kelirulah mereka. Sebab “Tarikat” merupakan satu pengamalan dan jalan kearifan Tasawwuf, yangmana kajiannya ialah perkara membersihkan hati. Tasawwuf merupakan 3 serangkai kajian Islam yang paling inti, disamping Fiqih dan Tauhid. Satu antara 3 hal tersebut tidak terpisahkan, jika kurang satu maka takkan sempurna, begitu ulama-ulama kita telah mengisyaratkannya.
Islam masuk ke Minangkabau jelas dengan membawa unsur Tasawwuf yang kental lewat balutan Tarikat-tarikat ahli Sufi. Apakah itu Tarikat Syathariyah, Tarikat Samaniyah maupun Tarikat Naqsyabandiyah. Dan Luak Limopuluah merupakan salah satu basis Tarikat, khususnya Tarikat Naqsyabandiyah, yang terpadat bukan hanya di Minangkabau, namun juga di dataran Melayu ini. ulama-ulamanya masyhur terbilang lewat surau-surau yang tumbuh menjamur dengan ribuan orang Siak yang datang silih berganti. Mereka bukan hanya ahli dalam syari’at belaka, disamping itu mereka melengkapi diri dengan Tasawwuf ber-Tarikat Naqsyabandiyah. Maka berdirilah ratusan Surau Suluk yang besar-besar kala itu. Bila disebut kampar sebagai negeri “Seribu Suluk”, maka boleh dikata Luak nan Bungsu adalah adiknya. Begitulah perihal jalan agama waktu itu. Semua satu, semua sama bersyafi’i dan sama berpakaian Naqsyabandiyah.
Kemudian ada orang yang berteori, bahwasanya arus pembaharuan ala Paderi telah menghanyutkan sendi-sendi pengamalan Tarekat di Minangkabau. Maka hal demikian keliru, sebab, meskipun Paderi membawa semangat Wahabi ke Minang lewat 3 Haji itu, namun mereka sekali-kali mereka tidak merubah jalan agama di kampung ini. malah mereka adalah orang-orang kuat ber-Tasawwuf dan ber-Tharikat. Sebutlah Tuanku nan Renceh, Tuanku Pamansiangan nan Mudo, Syekh Jalaluddin Cangkiang, begitupula Harimau nan Salapan itu merupakan murid-murid terutama Tuanku nan Tuo, ulama besar yang memakai jalan Syathariyah.
Sungguh takkan cukup kertas ini menulis nama siapa-siapa saja Ulama besar Luak nan Bungsu ini yang alim dan terkemuka Sufi-nya itu dalam secarik kertas ini. saya kira tuan-tuan sudilah mencari arsip-arsip lama itu buat mengetahui jejak rekam Islam di Minangkabau, sebagai tempat kita bercermin.
Barulah pada awal abad ke-20 muncul gelombang pergolakan agama, sebagai disebut oleh Prof. Schrieke, dimana timbul pertentangan Kaum Muda dan Kaum Tua di Minangkabau. Semuanya terekam jelas dalam berbagai Bibliografi. Seorang Mufti Syafi’iyyah di Mekkah beliau bernama Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (w. 1916) menulis sebuah risalah yang menghebohkan Minangkabau, berikut dunia Melayu. Risalah itu berjudul Izhharuz Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bis Shadiqin, dimana didalam risalah itu dipertanyakanlah tentang Tarikat Naqsyabandiyah, khususnya mengenai Rabithah. Risalah itu tersebar di Minangkabau dikontribusikan oleh Murid-muridnya yang telah banyak terkontaminasi oleh Faham Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha (pengarang Majalah Modernisasi terkemuka “al-Manar”) sepertihalnya beliau. Kitab itu terdiri dari 144 halaman (terbitan at-Taqdum Ilmiyah Mesir, 1908). Dalam Muqaddimah-nya, disebutkan bahwa beliau membahas 5 masalah dalam Tarikat Naqsyabandiyah. Mulai saat itu mulailah perang dingin itu muncul, satu keras berfaham baru dan satu istiqamah dengan faham ulama silam. Namun hal itu dapat dipertahankan oleh ulama-ulama Minangkabau kala itu, antara lain yang Mulia Syekh Muhammad Sa’ad “Beliau Surau Baru” Mungka Tuo (w. 1922) dan Syekh Khatib Muhammad ‘Ali al-Fadani (w. 1939). Yang Mulia Syekh Sa’ad, yang terkemuka selaku Syaikh Masyaikh (guru sekalian guru) ulama Minangkabau itu dan juga selaku pimpinan Ittihat Ulama Sumatera (Persatuan Ulama Sumatera) , menulis risalah yang terkenal yaitu Irghamu Unufil Muta’annitin fi Inkarihim Rabithatal Washilin (Meremukkan Hidung Penantang, mereka yang membatalkan rabithah orang-orang yang telah sampai kepada Allah). Diawal risalah itu beliau berujar:
(Setelah Basmallah dan Hamdalah serta shalawat)
Tatakala di thaba’ orang kitab izhar Zaghlil Kazibin dan masyhurlah sikatib negeri Minangkabau, gaduhlah orang awam dan caci mencaci mereka itu, hingga mengkafirkan setengah mereka itu mereka yang lain orang yang ditetapkan oleh Allah hatinya atas yang haq. Dan demikian itu dengan sebab tersebut di dalam kitab izhar tersebut menyerupakan orang yang pakai rabithah dengan orang yang menyembah berhala dan di datangkan beberapa dalil dari pada al-Qur’an dan hadist dan kalam sahabat dan ulama sufiyah. Maka dengan sebab itu memintalah dari pada al-haqir Muhammad Sa’ad bin Tanta’ Mungka Tuo setengah dari pada ikhwan dari pada ahlus shalah bahwa menyebutkan al-Haqir akan wajah bagi penguatkan segala dalil rabithah dan bagi penolakkan segala wajah membatalkan rabithah dan pemasukkan amalan Tarikat Naqsyabandiyah kepada syari’at, supaya jangan terlonsong dan terkecuh orang-orang yang tiada kuasa menfahamkan dalil….
Sedangkan Syekh Khatib ‘Ali menulis kitab Burhanul Haq Raddu ‘ala Tsamaniyah al-masail al-Jawab min Su’alis Sa’il al-Qathi’ah al-Waqi’ah Ghayatut Taqrib (cetakan Pulo Bomer-Padang, 1918), berikut kitab Miftahul Shadiqiyyah fi Ihtilahin Naqsyabandiyah (terjemahan karya Syekh Abdul Ghani an-Nablusi). Beliau lebih kuat lagi pertahanannya, sebab beliau pernah merekomendasi keputusan “14 orang oelama Radd tinggi di Mekah” (1924) yang kala itu dipimpin oleh mufti Sayyid Abdullah bin Sayyid Muhammad Shaleh az-Zawawi. Kemudian muncul lagi apologetis Syekh Muhammad Dalil Bayang (w. 1923) yaitu kitab Targhub ila Rahmatillah.
Meski kemudian Syekh Ahmad Khatib menulis lagi risalah kedua beliau tentang Tarikat Naqsyabandiyah, yaitu al-Ayatul Bayyinat lil Munshifin fi Izalati Khurafat Ba’di Muta’ashisibin. Dimana di dalamnya dibahas panjang lebar mengenai i’tiradh bantahan Syekh Muhammad Sa’ad tersebut. Tak berselang lama, Syekh Muhammad Sa’ad melayangkan lagi penanya yang kedua, berjudul Risalah Tanbihul Awam ‘ala Taghrirat Ba’dhil Anam, sehingga mematahkan kalam Syekh Ahmad Khatib. Dengan syukur Syekh Sa’ad berujar:
Maka terbujuklah dengan dia setengah segala hati yang pecah-pecah wal hamdulillah ‘ala dzalika.
Setelah dua ulama ini kembali akrab, saat lama berpolemik. Maka yang membuat panjang masalah ialah murid-murid Syekh Ahmad Khatib, seumpama DR. Abdul Karim Amarullah (ayah Hamka) , DR. Abdullah Ahmad Padang (pendiri Adabiyah School) dan lainnya. Mereka menulis surat kabar untuk menyambung ide-ide pembaharuan itu di Padang, dengan nama “Majalah al-Munir” (senada dengan al-Manar di Mesir). Lalu kemudian diramaikan oleh Syekh Muhammad Jamil Jambek dengan buku Penerangan tentang asal Usul Tarikat Naqsyabandiyah (2 jilid, terbitan Tsamaratul Ikhwan Bukittinggi, 1940), dengan nada bantahan yang moderat.
Begitulah halnya kaum muda di Minangkabau, yang mencoba menanggalkan amal Tarikat di pulau perca ini. kemudian pada tahun 1925, masuk Muhammadiyah ke Minangkabau (kantor perwakilan pertamanya di Sungai Batang Maninjau), dibawa oleh ayah Hamka ytb. Sehingga pertentangn semakin alot, kemudian disusul dengan pembentukan “Sumatera Thawalib” di Padang Panjang, yang mempunyai pendirian radikal terhadap Tarikat.
Meski begitu, benteng telahpun terpasang, ulama-ulama Minangkabau lainnya terus membendung arus perubahan tersebut. Maka terkemukalah nama-nama seperti Maulana Syekh Sulaiman ar-Rasuli (w. 1970) yang mengarang berbagai risalah tentang Naqsyabandiyah, satunya yang terkemuka ialah Risalah Aqwalul Washithah fi Zikri wa Rabithah; kemudian Syekh Abbas Qadhi Ladang Laweh, Syekh Arifin Batu Hampar, kemudian Syekh Abdul Wahid “Beliau Tabek Gadang” Payakumbuh, dan banyak lagi lainnya. Dan Syekh Bayang sendiri, dengan untaian sya’ir-nya Darul Mau’izhah:
………
Nama nazham ini Darul Mau’izhah
Artinya pengajaran yang amat indah
Karena pemutusan hajat fitnah
Kepada ahli naqsyabandiyah

Karangan saya faqir yang ummi
Taqshir dan lalai sepanjang hari
Muhammad Dalil hamba haqiri
Nama ayahnya Muhammad Fatawi

Mula adanya di negeri Bayang
Sekarang ini di negeri Bayang
Di belakang mesjid tempatnya terang
Demikian lagi di pasar Gadang

Dosanya banyak tidak terhinggakan
Jikalau ada tuan kasihan
Tuan tolonglah minta ampunkan
Kepada Allah Tuhan ar-Rahman

Muhammad Shaleh bin Muhammad Saman
Di Alahan Panjang duduk kediaman
Nazham ini sungguhan betulkan
Patut sekali tuan amalkan

Ambillah nazham coba muthala’ah
Supaya nafsu jangan melengah
Nazham tarekat Naqsyabandiyah
Nyatalah suci sempurna jelah

Manalah tuan yang baik hati
Mana yang salah boleh baiki
Saya mengaku bukan ahli
Belumlah patut mengarang ini

Kalau mufakat kitab dan Sunnah
Muthabaqah pula dengan waqi’ah
Semua itu karunia Allah
Mengucap syukur alhamdulillah

Jikalau tuan menaruh dengki
Tuan membaca berhati benci
Tuan melengah kanan dan kiri
Mencari ikhtiar serta budi

Di mana orang ada menyalahkan
Nomor berapa ia sebutkan
Ambillah dawat lekas tuliskan
Ke dalam Koran boleh masukkan

Fasal tarekat Naqsyabandiyah
Asal mulanya dari Allah
Jibril membawa kepada Rasulullah
Dengan wahyunya azzal jalalah

Kemudian turun ke Abu Bakari
Sudah itu ke Salman al-Farisi
Sampai sekarang tali bertali
Dengan silsilahnya terang sekali

Jikalau tuan mau bertanya
Kalau tarekat ini Abu Bakar punya
Patut turun kepada anaknya
Mengapa kepada Salman tempat turunnya

Ini jawabnya yang amat indah
Anak Nabi Siti Fathimah
Patutlah ia jadi Khalifah
Menggantikan Nabi Rasul ar-Rahmah

Mengapa Abu Bakar khalifah Nabi
Diizinkan Allah Tuhan Ilahi
Dengan sepakat segala ashabi
Wallahu yakhtasshu bi Rahmatihi man Yasya’

Artinya Allah Ta’ala yang menentukan
Dengan rahmat-Nya buat yang dikehendakkan
Patut sekali kita benarkan
Demikianlah sebab hamba katakan
………

Dilanjutkan oleh wadah kaum Tua, Persatuan Tabiyah Islamiyah, 1930. begitulah adanya pergolakan agama, yang pernah diabadikan sejarawahan, entah negeri kita ataupun para intelek belanda. Hingga kini corak Tasawwuf itu, masih seperti dulu, tiadakan bertukar. Dan sayapun menemui satu scrit di akhir tahun lalu, tepatnya di Kutubkhannah Dr. Abdul Karim Amrullah, Sungai Batang Maninjau, perihal ijazah Tarikat ‘Alawiyah dan Hadadiyah yang diterima Inyiak rasul itu dari ayahnya Syekh Amrullah Tuanku Kisa’i al-Khalidi Naqsyabandi ad-Danawi.
Setelah masa pergolakan itu, kedua kelompok kemudian hidup berdamping, meski perang dingin pernah pula terjadi, namun tidak lagi meluas. Untuk kemudian, kehidupan “Tarikat” tetap berkembang di alam Minangkabau ini, bahkan menurut catatan-catatan peneliti meningkat dari tahun ke tahun. Dari dulu tetap menjadi kekhasan Islam di Minangkabau, dan pulau-pulau nusantara ini. semuanya terekam jelas, sebagai diurai oleh Wan Shaghir Abdullah, si-“Manuskript berjalan dunia Melayu” itu, juga dibeberkan oleh Prof. Aboe Bakar Aceh.
Untuk selanjutnya, para alim kita telahpun mengelompokkan Tarikat ke dalam 2 kategori besar, yaitu [satu] Tarikat Mu’tabarah (diakui), dan [dua] Tarikat ghair mu’tabarah. Saya tidak akan memperpanjang kalam dalam ini. dari Tarikat Mu’tabarah, disebutkan sebanyak 41 Tarikat yang diakui, memiliki sanad yang mu’an’an kepada Rasulullah dan pengamalannya tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Yaitu:
1. Umariyah
2. Naqsyabandiyah
3. Qadiriyah
4. Syaziliyah
5. Rifa’iyah
6. Ahmadiyah
7. Dasuqiyah
8. Akbariyah
9. Maulawiyah
10. Kubrawiyah
11. Sahrawardiyah
12. Khalwatiyah
13. Jalwatiyah
14. Bakdasyiyah
15. Ghazaliyah
16. Rumiyah
17. Sa’diyah
18. Gistiyah
19. Sya’baniyah
20. Kalsyaniyah
21. Hamzawiyah
22. Bairumiyah 23. Usysyaqiyah
24. Bakriyah
25. Idrusiyah
26. Ustmaniyah
27. Alawiyah
28. Abbasyiyah
29. Zainiyyah
30. Isawiyah
31. Buhuriyah
32. Hadadiyah
33. Ghaibiyah
34. Khadhiriyah
35. Syathariyah
36. Bayumiyyah
37. Malamiyyah
38. Uwaisyiyah
39. Idriyyah
40. Akabiral Auliyah
41. Matbuliyyah
42. Sunbuliyah
43. Tijaniyah
44. Samaniyyah
Begitulah perihal Tarikat-tarikat Sufiyah dikalangan penghulu kita Ahlis Sunnah wal Jama’ah, begitulah amalan ulama-ulama di Pulau perca ini, nusantara umumnya. Untuk dunia melayu, khusus di Minangkabau setidaknya ada tiga kearifan Tasawwuf yang berkembang pesat, yaitu Syathariyah, Naqsyabandiyah dan Samaniyah. Lebih khusus lagi di ranah Luak nan Bungsu ini, yang paling berkembang pesat ialah Tarikat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Adanya penambahan nisbah “al-Khalidiyah” mengiringi “Naqsyabandiyah” merupakan nama yang melekat setelah masa silsilah ke-30 dari Rasulullah, yaitu dimasa Maulana Syekh Khalid Kurdi. Periodesasinya ialah:
1. Dimasa Sayyidina Abu Bakar Shidiq ra. Hingga masa Syaikh Taifuriyah dinamai dengan Shidiqiyah
2. Dari masa Syekh Taifuriyah hingga masa Khawajah Syekh Abdul Khaliq Fajduani dinamai dengan Taifuriyyah
3. Periode Syekh Abdul Khaliq hingga Syekh Bahauddin al-Bukhari dinamai dengan Khawajakaniyah
4. Masa Syekh Bahauddin al-Bukhari hingga Syekh Ubaidullah Ahrar dinamai dengan Naqsyabandiyah
5. Masa Syekh Ubaidullah hingga Imam Robbani dinamai dengan Ahrariyyah
6. Darimasa Imam Robbani hingga Maulana Syekh Khalid dinamai dengan Mujaddidiyah
7. Dimasa Maulana Syekh Khalid hingga saat sekarang ini dinamai dengan al-Khalidiyah
Sejak masa Maulana Syekh Khalid inilah dinamai dengan al-Khalidiyah, lengkapnya dibaca “Tarikat Naqsyabandiyah al-Ahrariyah al-Mujaddidiyah al-Khalidiyah”, lebih lazim disebut dengan “Tarikat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah”. Dan inilah yang berkembang pesat di Bumi nan Permai ini, Minangkabau.
Itulah sekilas yang saya sebutkan mengenai “Tarikat” ulama-ulama kita tersebut, lebih dalam secara tafshili niscaya tiada mampu saya menguraikan.
Adalah suatu kerinduan bila kesejukan tetap ada di Luak Limopuluah ini, ranah yang sering saya rindui di perantauan, yang masih belum terkuak keajaiban-keajaiban yang ada di negeri kita ini. harapannya orang-orang yang telah terlanjur buruk sangka kepada Tarikat dapat arif bertindak, menimbang dengan ilmu dan bertanya pada ahli-nya. Sebab kadang kala orang buta sering mengatakan matahari itu tak ada. Apatah lagi sekarang, ulama-ulama tempat bertanya telah banyak berpulang kerahmatullah, surau-surau sudah hampir lapuk dan roboh, orang-orang tak ber-himmah lagi belajar agama dengan semantap-mantapnya. Sedang orang ramai hanya seperti orang nan diasak jalannyo, kaji lah diubah pakiah singgah, cupaklah acok dipapek rang manggaleh. Pantas saja mutiara telah dianggap batu biasa, kerisik sudah dianggap sebagai sutera. Dan jika itu terjadi, maka Luak nan Bungsu, dalamnyo akan tajangkau, dangkanyo ka tasubarangi, dan Buayo Gadang itu takkan lagi maunikan kampuang kito.
Jikalaupun ditangan kita ada kitab-kitab yang disurukkan itu, seumpama risalah-risalah yang “DALAM” karya Syekh Mudo Abdul Qadim (w. 1957) yang masyhur terbilang namanya dengan “Baliau Balubuih” itu, atau dapat membeli kitab al-Bahjatus Saniyyah fi Adabit Tariqatil Aliyah an-Naqsyabandiyah, atau Majmu’atur Rasa’il fi Ushulin Naqsyabandiyyah al-Mujaddi al-Khalidiyah karya Syekh Sulaiman Zuhdi yang sangat langka itu, ataupun mampu memperoleh kitab-kitab Tarikat yang sengaja disembunyikan itu, niscaya kita takkan faham maksudnya, sehingga akan kita ungkap saja “kitab apa pula ini???”, jikalau tanpa seorang guru yang alim allamah, yang terbilang silsilahnya dalam Tarikat Naqsyabandiyah. Sebab kato mereka basingkek-singkek, rundingan bamisa baumpamo, dibaliak tasurek ado nan Tasirek… mencakup Balaghah, lengkap bayan ma’ani badi’ dalam setiap ungkapannya.
Begitupula perihal rabithah yang terpakai pada sisi Tarikat Naqsyabandiyah, tiadakan memperoleh faham kalau hanya membaca buku saja, apatah lagi membaca buku yang bukan dikarang oleh si-ahli-nya. Dia mesti berhadap-hadapan dengan ulama-ulama yang “dalam” fahamnya mengenai hal tersebut. Perlu diketahui, beliau-beliau itu masih ada, namun beliau-beliau tinggal di dusun-dusun terpencil, jauh dari hiruk pikuk kota nan memusingkan. Beliau-beliau hidup selaku petani, orang biasa tiadakan tau kalau mereka adalam alim-nya. Untuk perkara rabithah yang musykil ini, maka hendaklah bertanya kepada ulama-ulama mumpuni.
Minggu, 27 Februari 2011, merupakan satu angin kesejukan bagi saya pribadi. Tepatnya di negeri yang sejuk, Koto Tangah – Kec. Bukik Barisan diadakan wirid bulanan oleh “Wirid Silaturahmi Sumatera Barat”. Dihadiri oleh tamu istimewa, Tuanku Raja Besar dari Negeri Sembilan – Malaysia, diiringin Wakil Bupati, dan diikuti oleh ribuan jama’ah yang bukan hanya datang dari Limapuluh kota, namun juga dari Agam, dimana kebanyakan beliau yang hadir ialah para Syekh dan Khalifah dari Tarikah Ahli Sufi yang ada di Minangkabau, apakah Naqsyabandiyah atau Sammaniyyah. Tuanku Raja Besar naik ke panggung, beliau membacakan sekilah hubungan kerabat antara Negeri Sembilan dengan Luak Limopuluah, disebutkan nama seorang ulama yang menjadi moyangnya yaitu Syekh Abdurrahman, teman dari Syekh Burhanuddin Ulakan. Rupanya beliau keturunan Sufi-sufi besar Minangkabau, ungkapku. Kemudian disambung pembicara Wakil Bupati, ketika sampai membicarakan faham Tarikat yang gencar-gencarnya dibicarakan itu, saya lihat para Tuanku dan Syekh tersimpul manis, entah apa gerangan yang mereka senyumkan. Kemudian tampil Buya Mangkuto Malin dari Sungai Beringin, mengupas Naqsyabandiyah dengan “dalam” dan berbekas, hingga hampir air mataku menganak sungai, haru. Saya hanya penonton luar lapangan, menyaksikan alim-alim itu duduk tenang berselimut khirqah. Andai saya adalah satu antara mereka, niscaya saya akan jahit mulut-mulut yang mengingkari “Tarikat” ini dengan kalam yang tajam. Namun saya memang terburu nafsu, mereka, para Tuanku Syaikh itu bukanlah termasuk orang yang suka memuncak bila kemafsadatan terhadap kaji lama itu marak, mereka masih senyum dan sabar dengan suasana yang ada. Ku ingat dalam Ijazah tertulis: “Jikalaulah Mereka atas Nama Tarikat, niscaya akan Kami tuangi dengan air Mata Ma’rifat”.
Demikianlah halnya yang dapat saya ungkap dalam surat yang sederhana ini, kehadapan ulama-ulama supaya Arif dan Bijaksana. Janganlah nila setetes membuat rusak susu sebelanga, angkatkan segera nila itu, bersihkan putihnya susu yang ada, hingga dapat diminum mensihatkan jasad dan ruh.
Terakhir, teringat ungkapan guru kito Maulana Syekh Mudo Abdul Qadim “Beliau Belubus” yang masyhur itu, beliau berpitua pada akhir Risalah Tsabitul Qulub-nya:
“Pegang Syari’at Tubuh nan kasar,
pegang tharikat tubuh nan halus,
pegang Hakikat tubuh nan Bathin,
pegang Ma’rifat Tuhan nan punya pegang.
Dicari pengenalan di dalam zikir, dipakai di dalam sembahyang,
disudahi tatakalo nyawa berpulang kerahmatullah…”


selesai ditulis 23.25, malam senin petang Rabu, 28 Februari 2011
ditulis dengan wajah yang khalis, memakai tinta nan sempurna hitamnya, diatas kertas yang seputih-putihnya.
Ditangan Fakir yang karam dalam lautan dosa
Diam bermain di Surau Batu Berair, Mungo

Selasa, 15 Maret 2011

Angku Sjech Jamaluddin dan Surau Parak Pisang: Intan berlian yang terlupakan

Oleh: Apria Putra

Berbicara mengenai Negeri Sumani, kita akan menemui kekhasan sendiri, tepatnya bila kita melirik aktifitas keagamaan dan transmisi keilmuan Islam di daerah ini. Dalam catatan ringkas ini penulis mencoba merangkum keterangan orang-orang tua perihal ketokohan seorang ulama yang masyhur di daerah ini, dia merupakan intan berlian yang jarang dibicarakan saat ini, seorang tokoh yang mengajar orang-orang siak lewat institusi surau hingga paruh abad ke XX, yang “dalam” fahamnya dalam syari’at, mempunyai nama besar dalam soal-soal Tasawwuf dan “Kaji Tuo”, beliaulah Angku Syekh Jamaluddin, dimasyhurkan dengan Buya Jama Sumani.
Tersebutlah nagari Sumani, tepatnya di distrik Parak Pisak, kabupaten Solok, pernah ada satu lembaga pendidikan tradisional Islam yang terkemuka. Suraunya tampak besar. Dikelilingi oleh surau-surau kecil tempat bermukimnya orang-orang mengaji yang berasal dari berbagai wilayah di Sumatera Tengah, apakah dari Jambi, Alahan Panjang, Sungai Pagu, Malalo dan lainnya. Ketenaran Surau Parak Pisang itu tak lain disebabkan oleh kemasyhuran ulamanya, yaitu angku Syekh Jamaluddin tersebut. Dalam penuturan orang tua yang sempat bertemu muka dengan beliau, diceritakan bahwa beliau merupakan salah seorang murid kesayangan dan teralim dari Syekh Abbas Abdullah Padang Japang (wafat 1957). Perihal Syekh Abbas sendiri merupakan seorang alim ternama di dataran tinggi Minangkabau, tepatnya di Padang Japang – Payakumbuh (sekarang termasuk kabupaten Limapuluh kota). Lembaga pendidikan Syekh Abbas ini telah lama masyhurnya, sejak dari ayahnya Syekh Abdullah “Beliau Surau Gadang” yang membuat halaqah besar di abad XIX.
Kembali kepada Angku Jamaluddin, telah bertahun-tahun beliau mengaji di Padang Japang, berkhitmat dalam halaqah Syekh Abbas, karena kecerdasan dan kealiman beliau, beliaupun mampu menjadi guru tuo (yang lebih dikenal dengan istilah Guru Suduik) di surau gurunya. Sangat besar sayang Syekh Abbas kepada beliau, apatah lagi hal ini didukung oleh kecerdasan Angku Jama yang mampu mengusai kitab dengan jitu, tidak seperti teman-teman seangkatan beliau yang lainnya. Ketika semua kaji yang tersurat telah dikuasai, Syekh Abbas kemudian menyuruh Angku Jama pulang ke kampungnya dan mengajar, sebab ilmu yang ada pada beliau telah mumpuni, dan pelajaran dari Syekh Abbas-pun telah dikuasainya dengan baik. Dengan ijazah sharih yang diungkapkan gurunya itu, Angku Jama kemudian pulang ke kampung halamannya Sumani. Kemudian mulailah beliau mengajar dengan cara lama. Bukan main-main pelajaran yang beliau sampaikan, kitab-kitab gundul yang tebal-tebal, berikut dengan syarah dan hasyiyah tingkat berat, bahkan Tuhfah dan Nihayah, sebuah kecerdasan dan kedalaman ilmu yang jarang kita temui saat ini. sebuah prestasi yang hakiki, tidak prestesius seperti profesor-profesor saat ini. sehingga dalam waktu yang lumayan singkat, surau Parak Pisang yang lumayan besar itu menjadi icon intelektual terkemuka di daerah Solok kala itu. Sehingga berbondong-bondonglah orang-orang siak dari berbagai daerah di Minangkabau datang bermukim, menyauk ilmu dari lautnya ilmu Angku Syekh Jama ini.
Memang berbagai ketegangan sosial masa penjajahan ini banyak menghambat kemajuan Islam, begitu pulalah yang dialami oleh Surau Parak Pisang. Setelah sekian lama mengisi lembaran Islam dengan torehan tinta emas, pendidikan di Surau ini terhenti ketika Jepang masuk ke Minangkabau di era 40-an itu. Banyak orang-orang siak dan lari akibat tekanan Dai Nippon, membuat transmisi keilmuan di surau ini nyaris tanpa bekas.
Namun keadaan itu kemudian dapat teratasi setelah masa kemerdekaan diraih. Angku Syekh Jama kemudian dikenal sebagai seorang ulama yang karam dalam hakikat. Riwayat yang didengar, terbujuknya hati beliau kepada alam Hakikat setelah mewarisi sebuah kitab lama dari ayahnya yang dikenal sebagai ahli Tarikat diabad silam. Selama masa sendirian beliau ketika ditinggal orang-orang siak, beliau berkesempatan mengkaji kitab lama itu sedalam-dalamnya, bahkan beliau memperbanding-bandingkan kitab itu dengan kitab-kitab besar lainnya, seumpama Tuhfah tersebut. Bahkan menurut penuturan istri beliau, ketika masa tersebut penuhlah lantai surau beliau itu dengan kitab-kitab dalam keadaan terbuka. Sesekali sambil memperhatikan kitab lama ayahnya, beliau melirik satu persatu kitab-kitab yang telah dikembangkan sepenuh surau itu. Ketika siang hari (beliau membuka kitab malam hari), beliau melakukan hal-hal yang tak lazim untuk untuk ukuran ulama, beliau bermain layang-layang dan sesekali menunggangi kuda, sampai-sampai ada mulut yang berujar bahwa Angku Jama ini telah gila. Peristiwa seperti ini sering kita jumpai dalambigrafi-biografi tokoh Sufi, lazim dikenal dengan istilah Jazabat. Sampai pada suatu hari, semua kitab yang terbuka dihalaman surau itu beliau tutup dan beliau simpan dalam lemari. Maka usailah masa bersunyi-sunyi.
Setelah itu beliau kembali mengajar, tepatnya mengajar hakikat dengan pelajaran “Kaji Tuo”. Sehingga ramailah kembali surau beliau itu, para orang siak (yang saat itu ialah terdiri dari orang-orang tua dan ulama-ulama pula) mulai berdatangan menyauk kaji Tuo, mengaji jalan ka Tuhan, hidup nan dipakai, mati nan ditompang, kehadapan angku Jama ini.
Setelah Angku Syekh Jama wafat, tak banyak lagi kisah kejayaan yang dapat kita sebut. Hal ini mungkin karena tak ada lagi sosok sealim beliau dalam syari’at, apalagi Hakikat dan Tarikat. Hal ini juga ditambah dengan munculnya golongan muda di daerah ini, yang tak menyukai kaji-kaji lama yang “tak tertandingi itu”.
Pada tahun 2003, ketika kelompok kajian Puitika Unand menyelusuri Surau Parak Pisang, maka didapatilah sisa-sisa kejayaan pengajian Tasawuf di Surau ini. ada berupa kitab-kitab lama, adapula catatan yang tersebunyi yang disimpan dalam bambu. Itu semua perihal “Kaji Tuo” itu, pegangan ulama-ulama silam.

Riwayat ini penulis peroleh dari guru penulis yang lautan ilmu. Adalah guru penulis pernah bertemu muka dengan beliau di tahun 1952 dimasa kanak-kanaknya, saat itu beliau mengikuti ayah dan mamaknya menuntut kaji kepada engku Jama ini.

Syekh Abdul Ghani Batu Basurek-Kampar (1811-1961): Pemuka Ulama Naqsyabandiyah dan Auliya’ yang terbilang di belahan Riau, ranah Minangkabau

Oleh: Apria Putra

Di belahan aliran Sungai Kampar, di sebelah negeri seribu rumah Suluk, semasa dulu kala terkemuka dengan ulama-ulamanya yang masyhur terbilang. Di antara ulama-ulama yang terkemuka keberadaannya itu, tersebutlah orang tokoh yang paling masyhur terutama ketika membicarakan persebaran Tarikat Ahli Sufiyah, terutama Tarikat Naqsyabandiyah. Dua ulama besar itu ialah Maulana Syekh Abdul Wahab Rokan al-Khalidi dan Syekh Abdul Ghani Batu Basurek Kampar. Syekh Abdul Wahab terkenal murid-muridnya yang berasal dari orang awam hingga pejabat-pejabat pemerintahan, sedang Syekh Abdul Ghani Batu Basurek terkenal dengan murid-muridnya yang berasal dari ulama-ulama belaka. Dua ulama besar Naqsyabandiyah inilah yang terkemuka di pantai Timur Sumatera.
Syekh Abdul Ghani itulah nama Beliau yang masyhur, sedangkan Batu Basurek ialah nisbah negeri beliua bermukim yang Batu Bersurat di Kampar, yang sekarang termasuk wilayah Riau, semasa dulu Kampar merupakan bagian rantau dari Luak Limapuluh Kota, ranah Minangkabau sejati. Jika disebut-sebut ulama penyebar Naqsyabandiyah di Kampar ini, ada satu tokoh lagi yang tak mungkin tidak disebut, yaitu Syekh Ja’far Pulau Gadang, alim pula, guru dari seorang Ulama Besar Minangkabau Syekh Zakaria Labai Sati Malalo. Namun soal kemasyhuran, dan ketersebutan dalam sejarah, tetap Syekh Abdul Ghani yang terbilang.
Mengenai tahun lahir belum ditemui cacatan pasti, namun dari usia Syekh Abdul Ghani yang mencapai umur 150 tahun dan tahun wafatnya 1961, niscaya kita jumpai tahun lahirnya 1811. Bagi orang-orang dulu, apatah lagi dia merupakan Syekh-syekh terkemuka memang dikenal berumur panjang. Begitupula pendidikan awalnya, dimasa kecil-kecil tentunya, masih pula kabur dalam kabut sejarah. Namun dapat dipastikan bahwa Beliau merupakan ulama hasil didikan surau-surau yang menjamur seantero Minangkabau kala itu. Setelah menahun mengaji ala surau itu, Beliau melanjutkan pertualangan intelektualnya ke Haramain (Mekah dan Madinah), pusat Ibadah sekaligus ilmu pengetahuan kala itu. Dan menurut sumber Belanda, van Bruinessen, di Mekkahlah tepatnya di Jabal Abi Qubais-lah Syekh Abdul Ghani menerima ijazah atas jalan Tarikat Naqsyabandiyah, sebagai petanda bahwa beliau telah diangkat menjadi khalifah Naqsyabandi dan berhak mengajarkan ilmu Tarikat kepada orang banyak secara mandiri. Adapun syekh Naqsyabandi yang memberinya ijazah itu ialah Syekh Sulaiman Zuhdi, yang pada abad 19 banyak mengangkat khalifah-khalifah dari tanah “Jawi” (baca: Melayu) ini, beliau juga dikenal dengan nama Syekh Sulaiman Afandi.
Setelah mengaji ilmu agama beberapa tahun lamanya dan telah pula di-khatam kaji itu dengan amalan Rohani Suluk Tarikat Naqsyabandiyah, kemudian menerima ijazah dalam Tarikat Sufi itulah Syekh Abdul Ghani memapankan karir ke-ulama-annya di Kampar, tepatnya di Batu Basurek. Di sanalah beliau mendirikan surau sekaligus rumah Suluk untuk mengajar agama dan melatih rohani dengan melaksanakan Suluk Naqsyabandi. Tak perlu menunggu waktu lama, surau beliau itu kemudian ramai sekali dikunjungi oleh orang-orang siak dari berbagai penjuru daerah. Nama Beliau selaku ulama terkemuka dalam kedalaman ilmu dan kedalaman faham masyhur kemana-mana. Melalui lembaga pendidikan itulah beliau mendidik murid-murid yang banyak, sehingga tak sedikit murid-murid beliau itu nantinya yang menjadi alim pula, kemudian pulang ke kampung halaman masing-masing selaku ulama dan mengajarkan ilmu pula di tanah kelahirannya. Tak jarang pula ada murid-muridnya yang telah ulama mengambil ilmu lagi kehadarat Syekh Abdul Ghani ini.
Diantara murid-murid Beliau yang terkemuka dan dapat dicatat pada kesempatan kali ini ialah:
1. Maulana Syekh Muda Wali al-Khalidi Naqsyabandi Aceh (w. 1964). Ulama besar kharismatik di Aceh abad ke-XX, tercatat sebagai pengibar bendera Tarikat Naqsyabandiyah di Aceh, juga termasuk sesepuh Perti yang sangat disegani. Syekh Wali ini pada mula belajar ilmu agama di berbagai Dayah di Aceh. Kemudian disarankan seorang tokoh di Aceh untuk menyambung pelajar ke Padang yaitu ke Normal Islam, yang saat itu dipimpin Mahmud Yunus (Prof.). Namun Syekh Wali hanya 3 bulan di Normal Islam Padang, sebab tak sesuai dengan cita-cita beliau untuk memperdalam agama, sedang di Normal Islam hanya pelajaran umum yang banyak diberikan. setelah berhenti dari Normal Islam, beliau berkenalan dengan salah seorang tokoh besar Syekh Khatib Muhammad Ali al-Fadani Parak Gadang (w. 1939). Dari hubungan dengan ulama-ulama itu beliau menjadi masyhur pula di Minangkabau, hingga Beliau digelari dengan “Angku Aceh”. Syekh Wali juga berkenalan dengan Syekh Jamil Jaho. Karena ketertarikannya dengan pemuda yang alim itu, Syekh Jamil Jaho mengambilnya menjadi menantu. Banyak usaha keagamaan yang dilakukan oleh Syekh Wali di Minangkabau sampai-sampai beliau mendirikan madrasah di Lubuk Alung bersama-sama dengan rekannya Syekh Zakaria Labai Sati Malalo (madrasah itu tidak ada lagi sekarang). Setelah itu Syekh Wali berangkat ke Mekkah untuk berhaji dan menambah ilmu pengetahuan, di Mekkah beliau seangkatan dengan ulama masyhur dari Padang Syekh Muhammad Yasin al-Fadani al-Makki (w. 1990) dan Syekh Alwi al-Husaini Mekkah. Sekembali dari Mekkah beliau pulang ke Minangkabau. Di saat itulah beliau merasakan haus dahaga ilmu. Obat satu-satunya kali itu ialah mengisi batin dengan air Ma’rifat. Maka Beliau carilah seorang mursyid yang kamal, sehingga bersuluklah Beliau kepada Syekh Abdul Ghani ini, hingga memperoleh maqam khalifah dan mendapat ijazah.
2. Syekh Muhammad Yunus Tuanku Sasak di Sasak, Pasaman. Juga merupakan ulama besar, termasuk sederet tokoh-tokoh sepuh Perti. Beliau mengajar banyak murid di suraunya di Kapar Pasaman Barat.
3. Syekh Muhammad Djamil Sa’adi (w. 1971), anak dari yang mulia Syekh Muhammad Sa’ad bin Tinta’ al-Khalidi Mungka Tuo Payakumbuh. Informasi beliau merupakan murid Batu Basurek ialah dari beberapa murid kepercayaan beliau di Mungka.
4. Syekh Adimin ar-Radji Taram (w. 1970), terbilang murid tertua Syekh Sulaiman ar-Rasuli. Ulama terkemuka atas Jalur Tasawwuf Tarikat Naqsyabandiyah yang diterimanya dari Syekh Batu Basurek.
5. Tuanku Alaydrus Ghani (w. ?), anak kandung dari Syekh Abdul Ghani Batu Basurek. Beliau yang melanjutkan surau ayahnya dan mendirikan pula Madrasah Tarbiyah Islamiyah di Kampar. Menerima Tharikat dari Syekh Muda Wali Aceh.
6. Prof. DR. Syekh Muhibbin Wali, Ph. D., salah seorang Ahli hukum Islam dan Tasawwuf Indonesia, S3 Kairo Mesir. Anak kandung Syekh Muda Wali, menerima Tharikat dari Syekh Abdul Ghani Batu Basurek
7. dan Banyak lagi lainnya.
Selain itu Syekh Abdul Ghani termasuk tokh sepuh Perti yang sangat dihormati. Pada tahun 1954 terjadi kofrensi Tarikat Naqsyabandiyah di Bukittinggi atas prakarsa Perti, dan salah seorang tokoh utama yang hadir ialah Syekh Abdul Ghani (waktu itu usia nya telah sepuh). Hasil-hasil konfrensi itu dibukukan dengan judul Risalah Tablighul Amanah fi Izalati Khurafat wa syubhah (KAHAMY, 1954).
Syekh Abdul Ghani wafat tahun 1961 dalam usia yang sangat tua, 150 tahun, setelah berkhitmat lama menegakkan agama di Minangkabau umumnya. Usaha beliau dilanjutkan oleh anaknya yang juga alim yaitu Tengku ‘Aidrus Ghani.

Sekilas Tentang Naskah Kuno dan Ulama-ulama di Serambi Alam Sungai Pagu (Solok Selatan)

Oleh: Apria Putra
Tulisan ini merupakan hasil penelusuran Penulis dan Tim Filologia, menelusuri Solok Selatan pada 22-24 April 2010

A. Keadaan Naskah Keagamaan di Sumatera Barat dewasa ini
Sumatera Barat, secara sosio kultural merupakan wilayah Minangkabau, telah menoreh tinta emas dalam perjalanan Islam di nusantara. Masih menjadi buah bibir hingga saat ini bahwa negeri ini, Minangkabau, sejak dulu kala telah menjadi gudang ulama. Banyak terbilang nama-nama besar ulama lahir dari negeri ini, hal ini memberikan kesan kuat bahwa memang aktifitas keagamaan (baca: Islam) memang sangat semarak di Minangkabau sejak dulunya. Walaupun zaman renaisans, ke-gemilangan Islam, meminjam istilah Azra, telah memudar akibat beberapa faktor, namun beberapa bukti kuat tentang kejayaan Islam masa lalu masih dapat kita lihat hari ini, meski tak tinggal seberapa, seperti ulama-ulama pewaris alim ‘allamah masa lalu, surau-surau besar dan naskah-naskah hasil fikiran tokoh-tokoh cemerlang itu. Mana yang tinggal inilah yang mestinya (harus) diwariskan kepada generasi muda, agar filter (jati diri) tetap terjaga, agar adat basandi syara’-syara’ basandi Kitabullah tetap menjiwai orang-orang Minang.
Salah satu karya gemilang intelektual Islam masa lalu ialah naskah-naskah, hasil-hasil buah fikiran ulama yang tertuang dalam bongkahan kertas-kertas tua yang lapuk. Berbicara mengenai naskah-naskah di Minangkabau, niscaya kita tidak akan terlepas dari dua aspek lainnya, yaitu Ulama, sebagai penulis dan penuang gagasan; dan Surau, sebagai tempat transmisi keilmuan Islam dan hasil pikiran dari tokoh-tokoh ‘alim.
Salah satu karakter ulama silam yang paling menonjol ialah keperangaran mereka. Sudah diteorikan bahwa tidak ada satupun ahli metafisik Islam yang tidak menulis, walaupun hasilnya tak seberapa, namun penuangan tulisan amat mesti. Apalagi ulama-ulama yang tergolong dalam tokoh-tokoh Tasawwuf, maka menulis merupakan salah satu bentuk pengungkapan dzuq (rasa, raso-Minang). Walau untuk bidang-bidang lain, seumpama Fiqih, Tauhid, Ushul, Tafsir, Sintax (nahwu-sharaf) dan lainnya juga ramai ditulis, namun untuk Tasawwuf (Tharekat) menepati jumlah istimewa dalam khazanah keilmuan Islam di Minangkabau khususnya.
Kemudian lewat surau-lah terbentuk tradisi keilmuan Islam tersebut, di mana seorang ulama berpengaruh mengajar keilmuannya kepada orang-orang siak dari berbagai daerah. Sehingga buah fikiran dari sang syekh sendiri dapat diwarisi dengan baik kepada generasi muda, dalam hal ini ialah murid-murid Syekh sendiri. Kebanyakan dari buah fikiran yang diwariskan itu terekam jelas dalam lembaran naskah-naskah tulisan tangan, dan untuk sebahagiannya telah ada pula yang dicetak untuk kalangan sendiri. Dan kebanyakan naskah-naskah itu menguraikan ajaran-ajaran Tasawwuf tingkat tinggi, yang biasanya menjadi pengajian tersuruk (kaji tersembunyi) bagi sebahagian kalangan guru-murid, biasanya setelah prosesi bai’at dalam sebuah tarikat.
Naskah-naskah untuk kategori Tasawwuf tersebut sangat sulit untuk diakses kalangan banyak, sebab sulitnya prosesi yang mesti dilalui seseorang untuk melihatnya ataupun memilikinya. Kelangkaan ini menjadikan naskah tersebut menjadi barang mahal. Salah satu cohtoh dari naskah-naskah “tersembunyi” itu ialah Kitab Tahqiq Syekh Burhanuddin Ulakan, sebuah kitab yang disinyalir sebagai tulisan dari Syekh Burhanuddin sendiri. Menurut keterangan yang diperoleh bahwa naskah ini pernah dilihat oleh Alm. Adam Malik dan Hamka. Bagi siapa yang ingin melihat aslinya mestipula mengikuti serangkaian ritual dipimpin oleh Tuanku di Ulakan sendiri. Dari informasi yang diperoleh, bahwa naskah tersebut terbilang istimewa. Diantara syekh-syekh Syathariyah sendiri ada yang telah menyalin ala kadarnya kemudian diterbitkan sebagai panduan khusus murid-murid dari tharikat Syathariyah itu. Salah satu salinan yang diperoleh oleh Tim ialah salinan Syekh Sidi Jumadi Padang Sarai Koto Tangah. Salinan itu kemudian diterbitkan di Padang Panjang atas jasa penerbit Tandikek tahun 1926. secara fisik naskah tersebut masih baik, terdiri atas 9 teks. Satu dua teks itu anonim, tanpa penyebutan penulis (muingkin inilah yang ditulis Syekh Burhanuddin), beberapa teks lainnya jelas merupakan karangan Syekh Abdurra’uf Singkel dan ditutup dengan Sya’ir yang cukup panjang membahas martabat tujuh. Naskah ini menjadi barang langka dan sangat sulit diakses saat ini.
Penelitian yang telah dilakukan memberikan gambaran betapa banyaknya naskah-naskah karya ulama-ulama di Sumatera Barat. Salah satunya di tahun 2003, atas kerjasama Fak. Sastra Unand dengan Tokyo University of Foreign Studies (Jepang) menerbitkan katalog manuskrip Minangkabau dengan judul Katalogus Manuskrip dan Skriptorium Minangkabau. Hasil inventarisasi yang dilakukan tersebut setidaknya mencatat lebih dari 300 manuskrip yang terdiri dari surat-surat, Tambo Minangkabau, kaba-kaba Minang dan naskah-naskah keagamaan (Tauhid, Fiqih, Tasawwuf, Sintax, Tafsir dan lainnya). Naskah-naskah berada di tangan masyarakat dan lembaga-lembaga tertentu, tersebar di hampir setiap pelosok Sumatera Barat, seperti di Taram, Suliki, Sumani – Solok, Batang Kapeh, Bayang, Lunang, Inderapura, Bintungan Tinggi, Tandikek, Batang Kabung dan lainnya. Begitupun yang oleh lembaga-lembaga seperti Musium Adityawarman dan Fakultas Sastra Unand sendiri.
Selain penelitian itu, masih ada penelitian lainnya seperti yang dilakukan Rusydi Ramli (Fak. Adab IAIN Imam Bonjol) dengan tema Identifikasi Awal naskah-naskah Kuno Sumatera Barat dan beberapa tulisan dalam jurnal-jurnal Filologi tentang keberadaan naskah-naskah di Sumatera Barat. Dari hasil catatan-catatan yang ada itu diperoleh gambaran banyaknya naskah-naskah kuno keagamaan di Sumatera Barat, masih banyak lagi naskah-naskah yang belum dijamah oleh tangan-tangan filolog dan masih berada ditangan masyarakat. Contohnya, naskah-naskah kuno Islam yang ditemui oleh Tim Pusat Studi Naskah (Mahasiswa Sastra Arab) di Rao Kabupaten Pasaman (Maret, 2009), setidaknya menemui 32 manuskrip kuno yang langka setelah puluhan tahun tidak dijamah oleh tangan manusia; dan di Bonjol, dengan menemui 17 manuskrip kepunyaan Alm. Syekh Muhammad Sa’id Bonjol (Desember 2009). ). Hal ini menguatkan indikasi masih banyaknya naskah-naskah yang luput dari pengamatan dan masih berada di tangan masyarakat.
Oleh karenanya pada tangal 10-17 November 2010, kami dari Tim Peneliti telah menelusuri sentra Naskah-naskah di Sumatera Barat, tepatnya untuk menelusuri naskah yang berkaitan dengan penelitian ini. Banyak sedikitnya dari naskah-naskah tersebut telah diselamatkan dengan baik oleh Tim.

B. Naskah-naskah Sungai Pagu
Setelah melakukan penelusuran Lapangan ke sentra-sentra Islam di Sungai Pagu masa lalu di berbagai daerah, maka didapati keadaan dan keberadaan Naskah-naskah kuno dan Ulama pemangkunya di beberapa daerah antara lain, antara lain di:

1. Padang Aro
Padang Aro, sebuah kawasan yang terlihat makmur dengan keramaian, menyiratkan potensi keagamaan yang masih kokok, dimana di daerah ini masih ditemui bukti-bukti nyata akan hal tersebut. Di daerah ini, sebagaimana yang diperoleh oleh Tim di lapangan, pernah terdapat beberapa pusat pendidikan Islam tradisional dalam bentuk surau. Maka dari beberapa surau tersebut, ada satu yang paling menonjol dan memiliki dedikasi keilmuan yang memang terbilang dalam ahli-ahli sejarah oral di daerah ini. Adapun pusat pendidikan Islam Tradisional itu berada di Sampu, kawasan sejuk yang cukup asri dalam kacamata kekotaan. Surau sampu ini pernah memainkan peranan penting dalam revalitasi masyarakat yang Islam, tak tercatat lagi berapa banyak orang-orang siak yang datang mengaji ke daerah ini, tak terbilang pula berapa murid-murid alumni pendidikan ini yang menjadi ulama ternama pula di kemudian hari. Maka untuk hal transmisi keilmuan Islam di Padang Aro, umumnya di Solok Selatan, posisi Surau Sampu tak terpungkiri lagi membawa pengaruh yang luar biasa. Hingga sekarang, meski yang tinggal hanya sejarahnya saja, masa kejayaan Surau Sampu masih menjadi Buah bibir bagi banyak orang.
Layaknya sebuah lembaga pendidikan tradisional yang terpandang, tentulah Surau Sampu memiliki seorang tokoh kharismatik yang memainkan peran penting dalam pengembangan pendidikan tersebut. Jika berbicara mengenai tokoh besar itu, yang menjadi panutan tersebut, maka tak lain ialah ulama besar Syekh Muhammad ‘Arif (w. 1961) yang masyhur dengan gelar Syekh Sampu. Dengan seorang tokoh inilah pembelajaran Islam di Sampu dapat mencapai titik kejayaan, surau Sampu kemudian dapat mengundang orang-orang mengaji untuk datang ke Sampu, berkhitmat kepada ulama-nya yang terkemuka, Syekh Sampu.
Syekh Sampu memiliki kharisma yang berbekas pada masyarakat banyak, hal ini sangat didukung oleh dedikasi keilmuannya yang komplit. Beliau seorang ahli fiqih yang mumpuni, mahir mengaji kitab. Beliau juga seorang ushuliyyin, beliau pun terbilang Sufi yang masyhur dengan pengajaran Tarikat Samaniyah. Tak pelak lagi dimensi keilmuannya tersebutlah yang membuat surau Sampu tenar hingga saat ini.
Beliau pernah berjibaku menuntut ilmu di Mekkah al-Mukarramah, pernah bersufaha dengan ulama-ulama Minang lainnya di tanah Haram tersebut. Hal ini semakin memantapkan posisinya selaku ulama Besar di Solok Selatan.
Sebagai ulama tua yang alim terbilang tentunya beliau memiliki simpanan Bibliografi kitab-kitab klasik yang banyak, termasuk naskah. Hal ini diakui terus terang oleh anak beliau, ketika kami mengunjungi Surau Syekh Sampu. Namun amat disayangkan beberapa naskah-naskah tua itu telah raib, sebahagian dipinjam orang, sebahagian tak terawat hingga hancur dimakan usia, sebahagian lagi ada yang diserahkan kepada pihak Pesantera Malus, tapi tak ada yang tau kemana rimbanya naskah-naskah itu saat ini.
Menurut keterangan yang diperoleh Tim, setidaknya terdapat satu peti naskah yang masih tersisa setelah Syekh Sampu meninggal. Begitupula ada beberapa naskah yang disimpan diatas pagu kala itu. Namun karena tidak adanya usaha perawatan saat itu, anak-anak Syekh tersebut tiada mewarisi keahlian ayahnya membaca Arab gundul, kitab-kitab tersebut telah terabaikan, hingga sekarang hilang jejak.


Foto : Tim berada di Makam Syekh Muh. ‘Arif (Syekh Sampu)

2. Bidar Dalam
Bidar Dalam, daerah bersejarah, tempat bersembunyinya Mr. Syafruddin Prawira Negara dulunya ketika pergolakan daerah (PRRI) di era 50-an itu. Kini telah berkembang menjadi satu kawasan yang ramai, tiada menyisakan bekas perang masa lalu. Rumah-rumah mewah yang tegak berdiri sekeliling jalan, menjadi petanda makmur sentosanya masyarakat.
Namun siapa sangka, daerah yang dulu merupakan pusat perang itu, pernah menjadi gudang-nya para malin, suluh bendang nagari. Di sini pernah bermukim beberapa ulama hasil dari didikan Surau Sampu, mengembangkan sayap pengajaran Islam ke masyarakat banyak. Tak disangkal bahwa Bidar Dalam juga merupakan lumbung naskah-naskah kegamaan.
Setelah Tim mengadakan penelusuran yang intens di tengah-tengah masyarakat Bidar Dalam, diketahui, kebanyakan naskah-naskah tersebut telah banyak yang raib. Sebabnya sangat lumrah sekali, pertama dicuri semasa perang, kedua dibakar pemiliknya, karena generasi setelah ulama-ulama terkemuka tersebut buta dengan huruf Arab, buta dengan bahasa Arab.

3. Sungai Pagu
Tepatnya Alam Surambi Sungai Pagu, tercatat merpakan pusat kebudayaan Minang dan pusat Islam terkemuka di Minangkabau. Di daerah ini pernah bermukim ulama-ulama besar yang namanya tetap harum hingga sekarang, menorehkan tinta emas dalam perjuangan kaum agama di Sumatera Barat.
Disebut sebagai Alam Surambi, karena Sungai Pagu merupakan Serambi Alam Minangkabau, di sana pernah berkedudukan datuk-datuk pemangku adat yang besar bertuah, serpih belahan zuriyyat raja-raja Pagaruyung. Bekas dari kejayaan adat lama pusako usang itu masih tampak jelas, yaitu berderetnya ribuan rumah gadang, dengan arsitek Minang yang sangat unik dan menawan. Siapa yang memasuki wilayah ini tentu terkesima dengan rumah gadang, berukir ganggo cino, condong tanda kokoh, ribuan banyaknya. Inilah gambaran Minang masa dahulu, dizaman emasnya. Rumah gadang sembilan ruang yang kokoh menyiratkan rakyat yang hidup makmur sejahtera. Gemah ripah loh jinawi
Selain rumah gadang tanda adat yang kuat berakar, tentunya adat nan kawi, syara’ nan lazim terkedepan sangat di Sungai pagu. Islam menjadi tumpuan adat yang sebenar-benarnya. Beberapa bukti arkeologis membuktikan hal tersebut. Tepatnya dikampung di masyhur dinamai negeri “seribu rumah gadang” berdiri semua mesjid batu, gonjong menjulang kelangit, tampat tegar mesti usianya sudah tua. Itulah salah satu bukti kejayaan Islam tersebut.
Selain dari itu, di sini, di Sungai Pagu pernah hadir ulama-ulama besar yang terkemuka, yang terkenal dengan lembaga pendidikan tradisionalnya hingga berbagai penjuru Minangkabau. Diantara ulama ulama Sufi yang terkemuka tersebut ialah :


Syekh Maulana Sufi (wafat awal abad 19)
Beliau dianggap sebagai penyebar agama Islam di Sungai Pagu. Salah satu peninggalannya ialah Mesjid Enam puluh kurang Aso, sebuah mesjid yang sangat unik dan diselubungi dengan keanehan-keanehan. Mesjid tersebut sesuai namanya terdiri atas enam puluh kurang satu tonggak kayu ( yang berarti 59), namun bila dihitung dengan seksama maka setiap kali dihitung hasilnya pasti akan berbeda-beda, entah apapula keanehannya yang lain.
Sebagai seorang tokoh ulama tertua yang masih dapat dicatat, pastinya bukan hanya mesjid itulah peninggalan beliau, diyakini ada beberapa kertas tua yang turut menjadi warisan bagi kita semua. Namun penelusuran Tim ke Surau beliau belum mampu menuahkan hasil.

Foto : Tim berada di salah satu mesjid tertua di Sungai Pagu

Syekh Mustafa al-Khalidi Sungai Pagu (w. 1901)
Salah seorang tokoh ulama atas jalus Tarikat Naqsyabandiyah, mempunyai murid-murid yang luar biasa. Dialah Maulana Syekh Mustafa. Di Suraunya, yang sekarang terletak di tengah-tengah pemukiman seribu rumah gadang tersebut, nampak jelas peranannya selaku surau yang berdedikasi luas menyebarkan keilmuan Islam di Belahan selatan Minangkabau tersebut. Surau itu bernama surau menara, walau sudah dipugar entah berapa kali, namun surau itu masih menyiratkan keklasikannya.
Diantara murid-murid Syekh Muftafa al-Khalidi yang kemudian menjadi ulama besar yang terkemuka di Minangkabau ialah Syekh Muhammad Dalil Bayang (Syekh Bayang) dan Syekh Khatib Muhammad ‘Ali Padang.
Menurut keterangan yang diperoleh Tim sewaktu menelusuri surau Menara tersebut, tepatnya keterangan cucu dari cucu beliau, Syekh Muftafa bukan hanya meninggalkan Surau sebagai buah warisannya, tapi juga meninggalkan beberapa buah manuskrip tua, yang dikenalnya hanya kitab Tufah saja. Namun sejak pergolakan daerah pada tahun 50-an, kitab-kitab tersebut mengalami nasib yang sama dengan yang dialami tempat-tempat lain di Sumatera Barat. Hilang tanpa jejak.

Foto : Surau Menara, tempat aktifitas Syekh Mustafa al-Khalidi

Syekh Khatib ‘Ali al-Fadani (w. 1939)
Beliau merupakan seorang Murid Syekh Muftafa al-Khalidi yang cemerlang dan terkemuka di Minangkabau. Beliau merupakan salah seorang pemimpin ulama-ulama tua Minangkabau yang kharismatik. Seorang penulis dan penyair yang lahir di Muara Labuh, dan kemudian memapankan karirnya di Padang. Banyak sekali karangan beliau. Diantaranya yang terkemuka yaitu kitab Burhanul Haq, risalah yang bertujuan mempertahankan Mazhab Syafi’i dan Tarikat Naqsyabandiyah di Minangkabau.
Dalam menelusuri, Tim tidak menemui satupun peninggalan beliau yang dapat ditemui di kampung halamannya sungai pagi. Peninggalannya banyak di Parak Gadang Padang, namun di masa pergolakan telah diobrak abrik orang-orang yang tak bertanggung jawab.

Buya H. Muhammad Ridhwan Sungai Pagu (w. 1982)
Salah seorang ulama pewaris keilmuan ulama-ulama tua, itulah beliau Buya Muhammad Ridhan (w. 1982) yang secara adat bergelar Datuk Tum Bijo. Beliau ini pernah menimba ilmu kepada Syekh Khatib ‘Ali di Parak Gadang dan Candung. Kemudian mendirikan sebuah surau di Jembatan Kuning, Koto Baru Sungai Pagu. Beliau terkenal sebagai ahli Tarikat yang Mumpuni. Kalau orang mengibaratkan menyuruk di lalang sehelai sebagai sebuah kemustahilan, tapi bagi beliau menyuruk di lalang sehelai adalah kenyataan, begitulah keramatnya tokoh yang satu ini.
Sebagai murid dari tokoh-tokoh tua tersebut, Buya H. Muhammad Ridhwan mempunyai simpanan karya-karya Syekh Khatib ‘Ali yang langka itu agak lengkap. Untuk yang satu ini telah diinventarisasi oleh Prof. Sanusi Latief pada tahun 1984. adapula Buya Muhammad Ridhwan ini yang menulis karangan-karangan yang berbentuk Manuskrip, maka di sinilah Tim memainkan peranan untuk menginventarisirnya. Tercatat 14 manuskrip yang dapat diselamatkan oleh Tim di sini. (dilampirkan dalam bentuk copian).


Foto : Penulis dan Tim serta pemilik naskah Buya Muhammad Ridwan Sungai Pagu

Foto : Penulis dan Tim Sibuk mendeskripsikan naskah Buya Muh. Ridhwan Sungai Pagu

Jumat, 11 Maret 2011

Naskah Kuno Islam Taram

Tulisan ini merupakan hasil Penelusuran Penulis dan Tim Lektur Keagamaan RI, pada Februari 2009

Deskripsi dan Identifikasi : Skriptorium dan Katalogus


1. Skriptorium Manuskrip : Nagari Taram dan Surau Tuo

Tersebutlah nagari Taram, sebuah kawasan yang sekarang terlihat berkembang dan cukup makmur dari segi sosio-kemasyarakatan dan keagamaan. Dalam perkebangannya selanjutnya, nagari Taram dikenal luas di Luak nan Bungsu (Luak Limapuluh Kota), disamping kampung agamis, sebagai dari daerah pengembangan pariwisata, berupa sungai-sungai kecil yang jernih dan suasana alam yang cukup menawan, yang pastinya digemari Masyarakat. Disamping realitas masa kini tersebut, jauh sebelum zaman Milenium ini, nagari Taram merupakan salah satu Nagari yang menjadi sentra pendidikan Islam yang masyhur di Minangkabau khususnya, sampai-sampai tertulis dalam Surat Keterangan Fakih Shaghir tentang Tuanku Taram, yang konon khabarnya –menurut Faqih Shaghir- berbeda pengamalan dengan Tuanku di Ulakan (maksudnya Syekh Burhanuddin Ulakan), sehingga Tuanku Koto Tuo (guru dari penggerak-penggerak Paderi “Harimau nan Salapan”) perlu mengunjungi Taram buat beberapa waktu (baca lebih lanjut : Hikayat Jalaluddin diterbitkan oleh JJ. Holander, Leiden-Belanda).
Secara geografis, nagari Taram sekarang termasuk ke dalam kecamatan Harau, daerahnya dilingkupi oleh bukit-bukit kecil dan tebing-tebing yang membentang hingga Harau (Sarilamak). Salah satu perbukitan yang unik ialah “Bukik Bulek” (Ind: Bukit Bulat), nampak tegar berdiri, yang konon menurut Historiografi lisan masyarakat Taram bukit ini merupakan tempat tambatan jangkar kapal besar dulunya. Selain itu nagari ini dilewati oleh satu aliran sungai yang cukup besar, sungai ini nantinya saling bertemu dengan sungai-sungai lain hingga menyatu menjadi “Sungai Sinamar” (yang besar), mengalir sangai ke Lautan barat Sumatera. Dibeberapa tempat, selain yang tadi mengalir pula sungai-sungai kecil yang menjadi kawasan favorit di daerah ini, bagi para pelancong khususnya, daerah ini sekarang terkenal dengan “Kapalo Banda” (Indonesia: Kepala Kali Air). Penamaan tempat ini sangat erat kaitannya dengan kisah “Syekh Keramat” yang menjadi penyebar Islam di nagari Taram.
Selain tempat-tempat itu, ada satu lagi yang terpenting di nagari Taram, yaitu Surau Tuo dan Makam Keramat. Keberadaan dua situs ini sekarang dikelola oleh pemerintah nagari sendiri dan menjadi aset keagamaan utama nagari Taram, telah mempunyai hak paten sendiri dalam “Inventarisasi Kebudayaan Sumatera Barat”. Sebagai halnya kisah yang beredar ditengah-tengah masyarakat, dan yang dituturkan oleh keturunan Syekh Keramat (Ramli Dt. Marajo Bosa nan Mudo), bahwa kedatangan Syekh Keramat di daerah Taram ini diperkirakan pada abad ke-17. sebagai lembaga pendidikan Islam tardisional yang berkembang di Minangkabau, maka Syekh Keramat kemudian mendirikan surau cukup besar untuk mengajar ilmu agama yang didatangi oleh orang-orang siak¬¬ (santri. Pen), itulah Surau Tuo yang sudah Tua sebagai namanya. Surau ini dipastikan tidak menurut bentuk aslinya lagi, karena sudah beberapa kali memugaran akibat usianya yang kadung tua. Pernah pula dulu Nagari Taram Banjir, yang tentunya membawa sedikit banyak kerusakan pada kontruksi surau ini. Namun, walau usia sudah tua, kontruksi bangunan yang sudah berubah samasekali, yang namanya Surau Tuo tetap akan terkenang, dan aktifitas keagamaan tetap berlangsung hingga sekarang.
Mengenai Makam Syekh sendiri yang terletak dalam Kubah, merupakan salah satu tujuan penziarah yang datang dari berbagai daerah di Minangkabau, bahkan ada yang datang dari luar. Sebagai dalam tradisi sunni (termasuk tradisi yang dipegang erat NU, Perti-Sumbar, Jami’atul Wasilah-Medah dan Nahdathul Wathan-Lombok) ziarah kemakam ulama besar dan berpengaruh merupakan hal yang dianjurkan sekali, maka semakin ramailah komplek surau Tuo bila tiba musim Ziarah, berkhitmat kepada Tuan Syekh yang konon mempunyai Karomah itu. Tidak hanya satu aliran Tasawwuf yang datang, tapi dari berbagai pengamal Tarikat, Naqsyabandiyah-kah, Syathariyah-kah atau Samaniyah-pun datang berbondong-bondong. Kontruksi Kubah makam inipun sama seperti kebanyakan makam ulama-ulama besar di Darek dan Rantau, Minangkabau umumnya. Di dalam Kubah terdapat 2 makam, yang satu dikenal dengan makam Syekh, yang satu lagi ialah makam anak beliau, Syekh Muhammad Nurdin. Anak beliau ini, konon mencari ayah-nya dari Bengkalis-Riau dan wafat di Taram. Makam tersebut memakai kelambu, sebagai dalam tradisi ahlussunnah, yang bertuliskan jama’ah Syathariyah Koto Tuo- Bukittinggi, yang mengindikan bahwa kelambu makam ini merupakan hadiah dari penziarah yang notabenenya jama’ah Tarikat Naqsyabandiyah Koto Tuo – Bukittinggi, yaitu dari khalifah Syathariyah terkemuka saat ini yaitu Alm. Tuanku Aluma Koto Tuo, dan anaknya Tuanku Ismail Koto Tuo.




Foto : Surau Tuo Taram

2. Silsilah Pewarisan Naskah : “Beliau Keramat” hingga Pewaris saat ini

Sebagai halnya ulama Tua, Syekh Ibrahim Mufti “Beliau Keramat Taram” yang dideteksi sebagai penyebar Islam di masa awal, tepatnya di pedalaman Minangkabau. Tentu dapat dipastikan beliau mempunyai simpanan naskah-naskah tua, sebagai materi awal ilmu-ilmu keislaman yang beliau ajarkan kepada banyak santri di wilayah ini. Namun belum dapat teridentifikasi apakah naskah itu beliau sendiri yang menulis atau merupakan salinan dari naskah-naskah yang lebih Tua (tentunya menunggu penelitian yang lebih lanjut). Namun perlu juga diketahui mengenai ketokohan Beliau yang di elu-elukan masyarakat Minangkabau tersebut.
Nama terang beliau, sebagai dituturkan oleh keturunannya ialah Syekh Ibrahim Mufti, gelar yang dikenal di Minangkabau seperti “Beliau Keramat”, Tuanku Taram atau Syekh Taram. Beliau aslinya bukanlah darah asli keturunan Minangkabau, tapi merupakan seorang ulama-mubaligh yang datang untuk menyebarkan Islam, bermukim di Taram hingga dinyatakan hilang (raib) dan ditemukan makamnya secara tiba-tiba didekat Mihrab Surau Tuo Taram. Menurut kisah yang diterima turun temurun, Beliau –Syekh Taram- merupakan teman satu angkatan dengan Syekh Abdurrauf Singkel – Aceh (guru Syekh Burhanuddin Ulakan, ulama dan Mufti yang masyhur di masa kerajaan Samudera Pasai Aceh). Satu sumber menyebut Syekh Taram ialah asli Palestina, satu lagi mengungkap beliau asli Medinah, namun yang pasti beliau adalah orang Arab tulen, timur tengah negeri dimasyhurkan. Ketika beliau bertemu ketika mengaji di Medinah (indikasinya ketika menuntut ilmu kepada Syekh Ahmad Qusasi al-Madani, biografinya lihat Azra Jaringan Ulama) Syekh Abdurrauf membawa beliau hingga menapakkan kaki di tanah Melayu (pulau perca) Aceh. Kemudian Syekh Abdurrauf melepas Syekh Ibrahim untuk menyebarkan Islam ke tanah nusantara lainnya, maka berangkatlah Syekh Ibrahim hingga sampai di sebuah kerajaan yang tersohor yakni Siak Indrapura, disana untuk sementara Beliau menetap, berdakwah sampai mempunyai seorang istri dan beberapa orang anak. Setelah lama di Siak, Syekh Irahim melanjutkan perjalanan dakwahnya, berjalan menyelusuri pantai Timur Sumatera, Riau, mengikuti aliran sungai-sungai seperti Kampar dan Indragiri, hingga sampai ke negeri Taram yang konon ketika itu baru dihuni oleh 82 orang. Di sini beliau bermukim untuk selanjutnya, tinggal sementara sebelum menetap di rumah “Angku Bulu Lidah”, kemudian mendirikan pengajian ala Surau Minangkabau, sampai menikah pula dengan seorang dara di Taram. (mengenai perhubungan dengan Syekh Abdurra’uf, ada sebuah cap setempel yang menjadi bukti)
Berbicara mengenai Syekh Taram, pembicaan kita tak akan terlepas dari kekeramatan ulama yang satu ini. Bahkan orang-orang tua sering bercerita mengenai pribadi Beliau yang disertai dengan karomah yang diterima turun temurun, kebanyakan masyarakat hanya mengenal kekeramatan Beliau, tanpa tahu mengenai ketokohan beliau dan aktifitas pendidikan yang Beliau rintis. Begitulah halnya tentang pemegang naskah pertama kali, Tuanku Taram nan Keramat ini.
Sekarang, telah lewat beberapa generasi, masa telah berganti beberapa abad lamanya, nama Syekh Taram tetap harum semerbak keulamaannya, makam beliau tetap menjadi salah satu tujuan tour spritual (ziarah) dari berbagai kawasan Minangkabau. Sedang untuk benda-benda peninggalan Syekh, termasuk tongkat, ember air tembaga dan naskah-naskah tua disimpan oleh keturunan Beliau yang ke-13 yaitu Ramli Datuak Marajo Basa nan Mudo (73 tahun), keturunan dari istri Syekh Taram yang bernama Laut Aceh. Di sinilah barang-barang itu disimpan secara tradisional. Menurut keterangan yang berlaku, disamping tongkat dan ember tembaga, naskah-naskah tua itu disimpan dengan baik dalam peti. Namun di era pergolakan daerah (tahun 50-an), ada seorang haji yang datang ke Taram, menurutnya dia bermimpi bertemu Syekh Taram yang mengisyaratkan untuk melihat naskah-naskah dalam peti itu, nama haji ini ialah Haji Abdul Hadi (haji ke Mekah seangkatan Buya H. MD. Datuak Palimo Kayo Bukittinggi). Rupanya H. Abdul Hadi mampu melunakkan hati pewaris waktu itu, sehingga peti yang tak pernah dibuka-buka itu akhirnya dibuka, dilihat oleh Haji yang mengaku bermimpi. Sampai di sini naskah-naskah itu menjadi tak terawat lagi, diperkirakan banyak naskah yang hilang dikemudian hari. Sehingga yang dapat kita saksikan sekarang hanya sebahagian kecil dan itupun tak berapa yang tinggal.
Dan naskah-naskah inilah kemudian yang menjadi saksi bisu betapa Syekh Taram yang keramat itu bergiat menyebarkan Islam di Sumatera Tengah, mendidik orang¬ siak hingga ke pelosok-pelosok negeri. Terkenang hingga sekarang dimasa modern ini.


Bpk Ramli Dt. Marajo Basa nan Mudo
Pewaris naskah ke-13 dari Syekh Keramat Taram


Foto : Cap Stempel yang diyakini sebagai cap Syekh Abdurra’uf Singkel
Ketika bersurat kepada Syekh Taram (naskah ini masih disimpan pewaris)

3. Naskah-naskah Taram : Identifikasi awal

Naskah Fadha’il al-Qur’an

Judul : Kitab Fadhail al-Qur’an
Penulis :
Penyalin :
Bahasa/Aksara : Arab/Arab
Ukuran Naskah :
Jumlah Halaman :
Kertas : Eropa
Watermark :
Warna tulisan : hitam dan merah (sebagai rubrikasi)

Kondisi Fisik :
Naskah terdiri dari satu bundelan yang cukup tebal. Kondisi alas naskah cukup baik, walau di beberapa bagian kertas ada yang lengket akibat terkena hujan dan cuaca lembab. Penulisan menggunakan khat naskhi yang kurang rapi namun masih dapat dibaca dengan jelas.

Deskripsi Isi :
Naskah berisi tentang keutamaan-keutamaan membaca al-Qur’an, lebih spesifik dari itu naskah menguraikan tentang Fadhilah-fadhilah surat-surat al-Qur’an. Naskah ini merupakan naskah yang cukup istimewa, sebab keterangan-keterangan yang diberikan didukung kuat dengan hadist-hadist yang dibubuhi sanadnya. Tidak seperti naskah-naskah dan teks lain yang berbicara sama, kebanyakannya tidak menyebutkan sumber-sumber pengambilan (naql) yang autentik sebagai halnya yang terdapat dalam naskah Fadha’il Qur’an versi Taram ini.
Naskah Hikayat Raja-raja

Judul :
Penulis :
Penyalin :
Bahasa/Aksara : Melayu/Arab
Ukuran Naskah :
Jumlah Halaman :
Kertas : Eropa
Watermark : ada
Warna tulisan : hitam

Kondisi Fisik :
Naskah dalam keadaan baik, disebahagian kertas terdapat sobekan-sobekan kecil akibat perawatan yang kurang. Naskah ditulis menggunakan khas Riq’ah yang cukup rapi dan mudah dibaca. Naskah dijilid memakai model kuras, rangkaian kuras disatukan dengan benang.

Deskripsi Isi :
Naskah bercerita tentang hikayat raja-raja Islam seperti Harun ar-Rasyid penguasa Bangdad dulu. Gaya penceritaan naskah ini mirip dengan gaya dalam Sejarah Melayu yang ditulis oleh Tun Sri Lanang, namun untuk lebih lanjut nampaknya perlu dilakukan kajian komperatif antara kedua naskah. Episode yang ditawarkan dalam teks mengenai epos kepahlawanan hingga kehidupan pribadi penguasa-penguasa (sultan). Kalau memang didapati dalam naskah terdapat pengaruh Melayu (Siak), berarti memang benar indikasi yang menunjukkan bahwa Syekh Taram berasal dari Siak Inrapura dulunya.

Naskah Fiqih

Judul :
Penulis :
Penyalin :
Bahasa/Aksara : Arab/Arab
Ukuran Naskah :
Jumlah Halaman :
Kertas : Eropa
Watermark : ada
Warna tulisan : hitam dan merah (sebagai rubrikasi)

Kondisi Fisik :
Naskah dalam keadaan baik, walau ada diantara bagian-bagiannya yang terlepas dan sobek karena faktor usia. Ada pula bagian-bagian tertentu yang rusak akibat lembab. Naskah menggunakan khat naskhi yang cukup rapi dan mudah dibaca. Tulisan terkesan kecil dibanding dengan teks lainya.

Deskripsi Isi :
Naskah tampak lebih istimewa berbicara mengenai fiqih (khususnya rubu’ Ibadat), dibandingkan dengan teks-teks lain yang telah dicetak. Keistimewaan naskah terletak pada penjabaran materi yang kebih dalam, seperti dalam tradisi Hasyiyah pada kitab kuning. Dibanding dengan teks lain yang hanya menguraikan yang pokok saja dibandingkan dengan penjelasan rinci. Naskah berbicara mengenai hukum-hukum fiqih khususnya mengenai ibadah, seperti shalat, puasa, haji dan lainnya. Ada juga indikasi keistimewaan naskah itu ialah adanya penjelasan mengutip pendapan Imam Baidhawi (pengarang Tafsir Jamal Jalalen yang termasyhur) mengenai masalah-masalah yang dibicarakan.
Naskah Asbabun Nuzul

Judul :
Penulis :
Penyalin :
Bahasa/Aksara : Arab/Arab
Ukuran Naskah :
Jumlah Halaman :
Kertas : Eropa
Watermark : ada
Warna tulisan : hitam dan merah (sebagai rubrikasi)

Kondisi Fisik :
Naskah dalam kondisi cukup baik, kendati halamannya telah bercerai berai termakan usia. Naskah menggunakan khat Naskhi kurang rapi namun masih jelas dibaca.

Deskripsi Isi :
Naskah berbicara mengenai asbabun Nuzul (sebab-sebab turun)-nya ayat-ayat al-Qur’an. Belum ditemui indikasi apakah naskah ini merupakan salinan dari karya as-Suyuthi yang berjudul Asbabun Nuzul (dicetak dipinggir Tarsir Jalilain) atau tidak. Keberadaan naskah yang menguraikan asbabun nuzul memberi kesan bahwa Syekh Taram dulunya memang masyhur dalam bidang keilmuan, apatah lagi dalam Tafsir yang mencakup asbabun Nuzul-ini.

Naskah Hadist (bagian I, II dan III)

Judul :
Penulis :
Penyalin :
Bahasa/Aksara : Arab/Arab
Ukuran Naskah :
Jumlah Halaman :
Kertas : Eropa
Watermark : ada
Warna tulisan : hitam dan merah (sebagai rubrikasi)

Kondisi Fisik :
Naskah terdiri dari satu bundelan tebal, yang dibagi 3 menurut teksnya masing-masing. Naskah dalam kondisi cukup baik, namun halaman-halaman naskah sebahagian besar sudah terlepas dari kurasnya. Naskah ditulis dengan khat Naskhi yang kurang begitu rapi, namun masih dapat dibaca.

Deskripsi Isi :
Naskah merupakan satu kumpulan hadist-hadist yang disertai dengan sanadnya masing-masing. Kebanyakan hadist yang terdapat dalam naskah berbicara tentang hukum-hukum fiqih.