Senin, 07 April 2014

Syekh Jamaluddin Pasai di Minangkabau

Oleh: al-Faqir Apria Putra

Dalam menelusuri sejarah persebaran ilmu tasawuf di Minangkabau, kita akan dihadapkan dengan nama-nama tokoh sufi pengembara yang datang, adakalanya bermukim atau sekedar tinggal beberapa saat di Minangkabau. Kita catat nama-nama seperti Syekh Burhanuddin Kuntu di Minangkabau Timur, yang riwayatnya tidak begitu dapat dipastikan (riwayat mengenainya hanya diberikan oleh Mahmud Yunus, 1982). Adalagi tokoh yang dikenal dengan Syekh Keramat Taram. Tokoh ini dikenal sebagai sosok misterius, yang konon datang dari Negeri Madinah al-Munawwarah bersama Syekh Abdurra’uf Singkel. Ia, setelah tinggal beberapa saat di Aceh, kemudian mengembara sepanjang pantai timur sumatera, hingga sampai di pedalaman Minangkabau. Di Pedalaman, tepatnya di Taram, Lima Puluh Kota, ia tinggal dan memapankan karir ulama dengan mengajar ilmu agama. Layaknya sufi-sufi lain, riwayat hidupnya penuh dengan peristiwa yang tergolong “khariq lil ‘adah” (di luar manusia) yang di dalam literatur Sunni disebut “karomah”.

Selain dua tokoh tersebut, terdapat tokoh lain yang ternyata mempunyai andil dalam persebaran Tarekat Sufi Naqsyabandiyah. Tokoh ini ialah Syekh Jamaluddin Pasai. Azyumardi Azra (2007) dalam karya fenomenalnya “Jaringan Ulama” menyebutkan tokoh ini sebagai penyebar pertama Tarekat Naqsyabandiyah di abad 18. Selain itu, informasi ini juga dikuatkan oleh Cristine Dobbin dalam “Islamic Revivalism”. Namun ketokohan Jamaluddin Pasai yang dimaksud oleh dua peneliti kenamaan ini tidak lengkap. Penulisnya tidak membeberkan siapa sebenar Jamaluddin, bagaimana pengaruh, dan jaringan intelektualnya. Oleh karenanya, ketokohan Jamaluddin sebagai sufi pembawa Tarekat Naqsyabandiyah pertama dibantah oleh peneliti-peneliti setelahnya. Penelitian setelahnya menekankan peran Syekh Isma’il al-Khalidi al-Minangkabawi, tokoh penting jaringan ulama Nusantara abad 19 yang bermukim di Makkah asal Simabur Batusangkar. Tokoh terakhir disebut sebagai pembawa pertama Tarekat Naqsyabandiyah; mengaminkan Schrieke (1919).

Mengenai Jamaluddin yang kita sebut, Van Ronkel mempunyai informasi lain yang bersumber dari sebuah naskah fiqih berorientasi Naqsyabandiyah yang tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden. Naskah itu berjudul “Lubab al-Kifayah”. Pengarang naskah tersebut tak lain ialah Syekh Jamaluddin Pasai. Naskah ini, menurut Chambert-Loir, diperkirakan ditulis pada perempat pertama abad 18 (buku “Naik Haji di Masa Silam I: 1482-1890”, 2013: 210). Benar kiranya, pengarang, dalam hal ini jamaluddin, merujuk karya ulama Naqsyabandiyah terkemuka di Makkah di abad sebelumnya, yaitu Ibnu ‘Alan al-Naqsyabandi. Ibnu ‘Alan pernah menulis syarah terhadap “Qashidah Bintil Milaq” yang menjadi acuan oleh tokoh-tokoh Naqsyabandi dan Syattariyah di Minangkabau pada abad 19.

Chambert-Loir telah membuat edisi teks salah satu bagian naskah ini, berdasarkan hasil transkripsi Van Ronkel (1919), kemudian memasukkan dalam buku “Naik Haji di Masa Silam” jilid I (terbitan KPG bekerjasama dengan Ecole francaise d’Extreme-Orient, November 2013). Naskah ini berkisah tentang perjalanan hidup Jamaluddin, mulai dari Timur Tengah seperti Makkah, Zabid (Yaman), dan Mesir lalu pulang ke Sumatera, ke Batak dan akhirnya ke Minangkabau, yaitu ke Pariaman dan pedalaman. Dalam teks ini pengarang menyebut namanya dengan Jamaluddin ibnu Jawi.

Bagian naskah ini berupa bait-bait sya’ir dalam bahasa Melayu, yang ditranskrip oleh Van Ronkel dalam bentuk prosa. Hal ini membuat Chambert-Loir yang mengedit kemudian merasa “pusing” memahami teks ini. Meski begitu, dari hasil editan Chambert-Loir kita dapat mengikuti beberapa fragmen dari kisah perjalanan tokoh ulama Pasai ini.

Terkait dengan Minangkabau, menarik kita simak bagian akhir bait Jamaluddin. Ia mengemukakan:

(35) Dari sana pula lalu berlayar,
Ke negeri Pariaman nama bandar,
Sampai di sana nyatalah khabar,
Pada pendeta alam (?=alim) yang besar-besar.

.....
(37) Mencari bicara meninggalkan zaman,
Lalu ke Agam bertanam-tanaman,
Ke Lima Puluh Kota sampai Palangan,
Menghasilkan tanaman dan perbuatan.

(Chambert-Loir, 2013: 218)

Dari dua fragmen bait ini berisi kisahnya di Minangkabau. Pertama di Pariaman, di mana di daerah ini Jamaluddin bertemu dengan ulama-ulama besar yang menyampaikan berita gembira padanya. Kedua, di pedalaman Minangkabau, yaitu Agam dan Lima Puluh Kota. Di sana ia menghasilkan “pekerjaan” yaitu berdakwah dan mengajar agama. Kita ketahui bahwa sejak abad 18 dua daerah terakhir, yaitu Agam dan Lima Puluh Kota menjadi basis pendidikan Islam ala sufi yang padat di Minangkabau. Ordo sufi yang berkembang di daerah ini, sejak dahulu, ialah Naqsyabandiyah dan Syttariyah. Apakah memang Jamaluddin pernah menancapkan pengaruh di daerah ini, hingga kedua daerah ini menjadi sentra tasawuf? Sampai saat ini belum ada analisis tuntas mengenai pengaruh ulama luar terhadap transmisi keilmuan Islam di alam Minangkabau. Paling tidak, apa yang dikemukakan Chambert-Loir dan Van Ronkel membuktikan bahwa pada abad 18 telah ada ulama sufi Pasai ber-Tarekat Naqsyabandiyah singgah dan “menghasilkan pekerjaan” di pedalaman Minangkabau, Agam dan Lima Puluh Kota. Oleh karenanya, apa yang dikemukakan Azra dan Dobbin mengenai sosok Jamaluddin dan pengaruhnya di Minangkabau menjadi lebih agak jelas dari sebelumnya.

Perpustakaan Riset Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta
Ciputat, 7 April 2014.

Rabu, 02 April 2014

Jejak Intelektualisme Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Pesisir Selatan

Oleh: al-Faqir Apria Putra

Tulisan ini sengaja ditulis memenuhi permintaan Ust. Heri Surikno, Mudarris di MTI Timbulun, Pesisir Selatan.

Rekam Jejak Masa


Sejarah Islam di Pesisir telah melewati waktu cukup panjang. Kita mendengar, misalnya cerita Kho Pin Ho, seorang jenderal Muslim dari benua Cina yang merapatkan kapalnya di sebuah pulau kecil di Pesisir, sehingga kemudian pulau itu bernama Pulau Cingkuak. Cingkuak ialah perubahan bahasa dari nama sang jenderal, Kho Pin Ho. Itu sudah lama, sudah berabad-abad yang lalu. Riwayat kedatangannya itu oleh sementara kalangan menjadi petanda bahwa di masa Kho Pin Ho telah terjalin kontak antara benua Ruhum (Cina) dengan Pulau Perca, tepatnya Pesisir. Hubungan yang terjalin itu tepatnya ialah tali keagamaan, yaitu agama Islam. Maka di disitulah perjalanan agama dimulai di ranah Banda nan Sapuluah ini. Itu yang diungkap Yulizal Yunus dalam “Islam di Gerbang Selatan Sumatera”.

Perjalanan agama Islam, yakninya I’tikad Ahlussunnah wal Jama’ah (al-Asy’ariyyah) dan Mazhab Syafi’i itu sebenarnya baru muncul kepermukaan sejarah ketika Syekh Buyuang Mudo Puluik belajar agama ke Aceh, tepatnya kepada Syekh Abdurra’uf Singkel, pada abad ke-XVII. Syekh Buyuang Mudo tidak sempat mengkhatam kajinya di Aceh, sesuai dengan saran gurunya itu, beliau kemudian melanjutkan pelajaran agamanya kepada Syekh Burhanuddin Ulakan, Pariaman. Di sana beliau memutus kaji dan memperoleh ijazah keilmuan, serta diakui sebagai salah satu khalifah Syekh Burhanuddin tersebut. Syekh Buyuang Mudo kemudian mengembangkan dakwah Islam ke kampung halamannya, Bayang. Di sana beliau mendirikan surau dan mengabdi untuk tegaknya agama hingga wafat.

Selain Syekh Buyuang Mudo, ada tokoh ulama lain yang mempunyai pengaruh besar dalam perjalanan agama di Pesisir, yaitu yang dikenal dengan Syekh Keramat Langgai. Tokoh ini disebut sebagai nenek moyang orang Pesisir. Dalam historiografi lokal disebutkan bahwa nenek moyang orang Pesisir turun dari Sungai Pagu, menembus hutan di belantara bukit barisan, dan sampai di tepian pesisir. Di sana mereka membuka pemukiman dan menaruko. Syekh ini, atau yang lebih dimasyhurkan dengan Aek Keramat Langgai lebih sebagai sufi yang mempunyai khariq lil ‘adah (kisah keramat – diluar nalar logis). Sampai saat ini sosoknya sebagai tokoh bertuah masih menjadi buah bibir. Makamnya berada di Langgai, sebuah daerah yang terletak di antara Pesisir dan Sungai Pagu, masih di ziarahi hingga saat ini. Konon, bagi siapa saja orang luar yang datang ke Langgai, niscaya akan dibasuh hujan. Salah satu peninggalan Aek Langgai ini ialah sebuah kitab tulisan tangan berusia lebih dari tiga abad. Kitab itu ialah Minhaj al-Thalibin karya agung Imam Nawawi. Jelas, Aek Keramat Langgai ialah ulama Syafi’iyyah.


Foto: Salah satu halaman Naskah Minhaj al-Thalibin peninggalan Aek Keramat Langgai (difoto di Surantih, Pesisisr Selatan, 2010)

Kita belum mempunyai rekaman tokoh-tokoh lain. Tentunya banyak ulama lain yang telah memancangkan perjuangan agama Islam sesuai dengan I’tikad Ahlussunnah wal Jama’ah di masa awal sejarah Islam di Pesisir. Kita mengenal Kesultanan Indropuro, kerajaan Bahari yang merupakan sapih belahan Kerajaan Pagaruyuang di abad-abad silam di Pesisir. Di masa kesultanan ini juga banyak ulama-ulama. Begitu juga kawasan Istana Mande Rubiah, daerah Bundo Kanduang yang bertuah itu. Juga banyak bukti-bukti keislaman yang kuat kita temui. Namun sayang, kita belum mempunyai catatan yang memuaskan untuk hal itu.

Di Lunang, kita kenal Syekh Ibrahim Lunang, murid Syekh Burhanuddin Ulakan angkatan pertama. Beliau berkhitmat mengajar agama di Lunang, khususnya Tarekat Syattariyah. Sejarah tetangnya belum kita dapati.

Di Koto Baru, Kambang, dikenal pula Mufti Kambang, seorang syekh ‘alim yang menjadi tumpuan masyarakat dalam soal-soal agama. Namun riwayat tentang itu belum juga ditelusuri secara mendalam. Dalam satu kesempatan saya sempat berkunjung ke Mesjid Raya Koto Baru Kambang. Di mihrab mesjid itu ditemui satu lemari kitab kuning. Kitab-kitab itu tak lain kitab-kitab Syafi’iyyah yang besar-besar dan berjilid-jilid, juga kitab-kitab mu’tamad dalam ilmu tasawuf. Dapat diterka, Mufti Kambang itu tak lain juga ulama Syafi’iyyah.

Pesisir Selatan dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah

Pesisir Selatan mempunyai peran penting dalam sejarah Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Selain, sebagaimana yang saya ungkap di atas, Pesisir Selatan di masa silam dihuni oleh ulama Syafi’iyyah yang berpengaruh luas, juga dikarenakan ulama-ulama Pesisir menjadi simpul jaringan intelektual ulama Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Paling tidak, terdapat dua ulama besar Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang mempunyai koneksi intelektual (isnad) dengan ulama Pesisir Selatan. Pertama Syekh Muhammad Dalil, atau yang dimasyhurkan dengan Syekh Bayang. Kedua, Syekh Khatib ‘Ali Padang. Syekh Bayang belajar agama pertama kali di kampung halamannya dengan ulama-ulama terkemuka ketika itu. Sedangkan Syekh Khatib ‘Ali Padang juga pernah menimba ilmu dengan ulama Pesisir, salah satunya Syekh Haji Saya di Air Haji.

Selain posisi jaringan intelektual itu, bukti posisi penting Pesisir dapat kita lihat pada keaktifan ulama-ulama Pesisir dalam kegiatan Persatuan Tarbiyah Islamiyah di masa lalu. Salah satunya, pada tahun 1954 diadakan konferensi Tarekat Naqsyabandiyah di Bukittinggi. Waktu itu hadir 180 masya’ikh Tarekat Naqsyabandiyah. Namun dari 180 itu, hanya terdapat 34 tokoh yang menonjol. Dua dari 34 tokoh terkemuka dalam konferensi itu berasal dari Pesisir Selatan, yaitu Syekh Abdul Wahab al-Khalidi Pelangai dan Syekh Qulan al-Khalidi Painan. Di samping itu di Pesisir terdapat pula sekolah-sekolah agama (baca: pesantren) Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang dimotori oleh ulama-ulama yang tergolong dalam Persatuan Tarbiyah Islamiyah.

Berdasarkan penelusuran saya, terdapat empat tokoh besar dalam perjalanan Persatuan Tarbiyah Islamiyah dan MTI di Pesisir Selatan. Empat tokoh itu ialah (1) Tuanku Syekh Bayang, (2) Syekh Kolang Koto Kandih, (3) Syekh Junaid al-Mashri, dan (4) Syekh Munaf Bakrin Tuanku Lubuak.

A. Tuanku Syekh Bayang


Tuanku Syekh Bayang ialah salah seorang ulama tua yang hidup pada pertengahan abad ke 19 hingga paruh pertama abad 20. Beliau lahir di daerah Bayang, Pesisir Selatan. Sebelum belajar agama di Mekkah al-Mukarramah, beliau belajar dasar-dasar agama di kampung halamannya. Setelah itu beliau melanjutkan pelajarannya di Mekkah. Di sana beliau belajar dengan ulama-ulama terkemuka. Beliau pulang ke Minangkabau pada awal abad 20, dan bermukin di Padang. Di sana beliau memapankan karier keulamaannya hingga wafat. Di Padang beliau mengajar bermacam ilmu-ilmu agama di Mesjid Ganting, mesjid tertua di Kota Padang. Ketika beliau wafat, beliau juga di makamkan di Mesjid ini.

Syekh Bayang termasuk salah seorang ulama tua yang bersinggungan langsung dengan benih-benih Persatuan Tarbiyah Islamniyah di masa awal, namun beliau tidak sempat melihat perkembangan Persatuan Tarbiyah Islamiyah selanjutnya karena beliau wafat pada 1923. Sebelumnya ia termasuk salah seorang ulama yang aktif pada Ittihad Ulama Sumatera yang ketika itu dipimpin oleh ulama-ulama kenamaan seperti Syekh Sa’ad Mungka dan Syekh Abdullah Halaban.

Syekh Bayang termasuk ulama yang gigih mempertahankan I’tikad Ahlussunnah wal Jama’ah dan Mazhab Syafi’i di Minangkabau, terbukti dengan keikut sertaannya dalam muzakarah-muzakarah bersama Ulama-ulama dari Kaum Muda. Beliau ‘alim dalam ushul syari’at, terutama dalam Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah. Beliau menulis sebuah risalah monumental di zamannya, berjudul Targhub ila Rahmatillah.

B. Syekh Kolang Koto Kandih


Riwayat perjalanan hidupnya belum terungkap lengkap, namun dipastikan beliau ialah ulama besar terkemuka di Pesisir di awal abad 20. Beliau belajar agama di Kelang, Malaysia, oleh sebab itu beliau digelari dengan Syekh Kelang atau Syekh Kolang. Setelah lama belajar agama, beliau kemudian pulang ke kampung halamannya, Koto Kandih. Di sana beliau mendirikan sebuah Madrasah yang dikenal dengan Madrasah Tarbiyah Islamiyah Koto Kandih, Kambang. Madrasah ini terkemuka di Pesisir zaman itu, dan termasuk yang tertua. Bagaimana hubungannya pribadi Syekh Kolang dengan Persatuan Tarbiyah Islamiyah, belum terungkap jelas. Namun, Madrasah ini mempunyai andil yang besar dalam membentengi faham Ahlussunnah wal Jama’ah dari rongrongan faham modernis.

C. Syekh Junaid al-Mashri: Dari Situjuah ke Pasisia


Syekh Junaid al-Mashri ialah murid dari Syekh Muhammad Ruslan Limbukan, Payakumbuh. Beliau berasal dari Situjuah Banda Dalam, Payakumbuh. Ketika MTI Koto Kandih kekurangan guru dalam mengajar agama lewat kitab-kitab kuning, maka beliau dijemput untuk menetap di Koto Kandih dan mengajar. Beliau sosok yang ‘alim, lagi keramat. Beliau mempunyai andil dalam melanjutkan eksistensi MTI Koto Kandih, dengan berhasil mengkader murid-murid yang ‘alim. Murid-muridnya inilah yang kemudian menyambung estafet keulamaan Ahlussunnah wal Jama’ah di Pesisir Selatan. Syekh Junaid wafat pada paruh terakhir abad 20.

D. Syekh Munaf Bakrin Tuanku Lubuak

Surau Lubuak, Baruangbaruangbalantai, ialah salah satu saksi bisu kejayaan ulama Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Pesisir Minangkabau. Surau ini pernah menjadi basis intelektual ulama Perti hingga akhir abad 20; mempunyai jariangan luas hingga daerah Mukomuko, Bengkulu. Tokoh utamanya ialah Syekh Munaf Bakrin, atau yang dikenal dengan “Tuanku Lubuak”.
Syekh Munaf Bakrin belajar agama kepada ulama-ulama generasi pertama Persatuan Tarbiyah Islamiyah, seperti Syekh Ibrahim Harun “Beliau Bomban” Tiakar, Payakumbuh. Dalam ilmu Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah beliau belajar intens kepada Syekh Muhammad Thaib di Pauah, Padang.

E. Pemandangan saat ini

Masa-masa cemerlang telah berlalu terlalu lama, namun sebagaimana hukum alam tentu ada “arus balik”-nya, ertinya masa-masa kejayaan Persatuan Tarbiyah Islamiyah tak mustahil akan terulang lagi. Melihat keadaan masa kini, dapatlah saya simpulkan bahwa terjadi satu ghirah besar dalam generasi muda Persatuan Tarbiyah Islamiyah; apatah lagi bisa menyaksikan perkembangan MTI Timbulun, dan semangat generasi mudanya. Insya Allah wibawa Persatuan Tarbiyah Islamiyah sebagai “NU”-nya Sumatera Barat dapat menggema se-antero negeri. Syaratnya satu, yaitu dengan menjalin kembali tali-temali yang sebelumnya rapuh oleh putaran zaman keegoan. Semoga.


Dalam Khalwat yang hening, Jakarta.

Januari 2014.