Oleh: Hamba yang dha’if Apria Putra
Berdasarkan perjalanan ziarah ke Barulak, Sabtu/ 14 September 2013.
Dua Ulama Besar
Dalam catatan sejarah yang lama-lama disebutkan nama besar Barulak sebagai pusat keilmuan Islam di abad ke-19. Pistorius misalnya, dalam “De Priester en Zijn Invloed op de Samenleving in de Padangsche Bovenlanden” menyebutkan kebesaran Syekh Barulak, seorang ulama besar yang pulang dari Mekah dan mempunyai pengaruh yang luas di kalangan penduduk. Martin van Brunessen dalam penelitiannya menyebutkan bahwa Syekh Barulak merupakan salah satu dari sekian ulama yang mempunyai dedikasi dalam penyebaran Islam, khususnya dalam mengajarkan Tarekat Naqsyabandiyah. Wan Shagir Abdullah, seorang peneliti Naskah Melayu di Malaysia yang berasal dari Indonesia, menyebutkan dalam “Penyebaran Tarekat Mu’tabarah di Dunia Melayu”, bahwa Syekh Barulak, berikut Syekh Tungkar merupakan ulama-ulama yang terkemuka dalam penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah. Dan masih banyak lagi sumber-sumber lain yang menyebutkan kebesaran dan ketenaran Syekh Barulak dan Syekh Tungkar ini.
Siapa Syekh Barulak itu? Beliau ialah Syekh Muhammad Thahir bin Abdullah, atau yang dimasyhurkan dengan gelar “Beliau Barulak”, seorang ulama besar di abad 19. Dalam catatan yang ada kita temui informasi mengenai gurunya, yaitu Syekh Isma’il bin Abdullah al-Khalidi Simabur, ulama besar dalam Tarikat Naqsyabandiyah yang berdiam dan wafat di Mekah.
Siapa pula Syekh Tungkar itu? Beliau ialah Syekh Muhammad Jamil, digelari dengan “Beliau Tungkar”, ia merupakan murid dari Syekh Barulak di atas. Ulama besar yang mempunyai murid-murid yang kemudian juga menjadi ulama besar, seperti Syekh Abdullah Beliau Halaban, Syekh Abu Bakar Tabiang Pulai, Syekh Muhammad Sa’ad Mungka, Syekh Ibrahim Beliau Aia Angek dan lainnya. Syekh Tungkar wafat di akhir abad 19, setelah bertahun-tahun mengajar agama, khususnya dalam Tarekat Naqsyabandiyah.
Syekh Barulak dan Syekh Tungkar, dua ulama besar, yang tidak dapat disangkal lagi pengaruh dan dedikasinya sebagai salah satu pejuang-pejuang agama di Tanah Andalas ini. Namanya disejajarkan dengan ulama-ulama besar Sumatera lainnya seperti Syekh Muhammad Yatim Padang, Syekh Abdul Halim Labuh, Syekh Mustafa al-Khalidi Sungai Pagu, Syekh Abdul Fatah Natal, Syekh Jalaluddin Cangkiang, dll.
Tangis di Makam Barulak
Makam Syekh Barulak dan Syekh Tungkar berada dalam satu kubah di Mesjid Taqwa Barulak. Tidak sukar bagi kita untuk memastikan bahwa Mesjid ini dulunya ialah Surau Syekh Barulak, yang telah sekian lama dipugar dan dipugar, sehingga saat ini dikenal dengan “mesjid”. Bagunan tua Mesjid itu masih ditemui bekasnya, berupa bangunan batu dimana dindingnya dipenuhi oleh kaligrafi-kaligrafi yang indah. Sedangkan lantainya, berupa keramik dengan ubin khas klasik. Sedangkan kubah makam dua ulama yang berada di bagian mihrab berupa satu bagunan bergaya lama, mempunyai tiga labu-labu yang dibuat dari batu. Artistik memang.
Adalah saya, al-faqir, telah ziarah ke makam Syekh Barulak dan Syekh Tungkar mula-mula di tahun 2010. Ketika itu kondisi makam Syekh Barulak dan Syekh Tungkar yang berdampingan itu cukup nyaman. Namun mencengangkan, setelah al-faqir mengulang ziarah ke mawan beliau pada 14 September 2013, ruangan makam dua ulama besar itu telah menjadi gudang penyimpanan keperluan pertukangan, hingga pintu makam tertutup, entah oleh seng, bebatuan, atau lainnya. Tragis. Saat itu tangis berderai.
Bila ditanya kepada seorang nenek pemegang kunci macam, dengan enteng ia menjawab: “nanti kita baguskan lagi!”. Namun apakah ia tiada menaruh hiba? Pabila kedua makam ulama besar Minangkabau itu dijadikan gudang? Tiada terlihat dari raut wajahnya. Sungguh besar tangisku.
Urang Darek yang tidak menghargai Ulama
Dari beberapa tokoh nagari Barulak diperoleh keterangan, bahwa sebelum-sebelumnya telah ada niat seorang kaya yang hendak memperluas mesjid untuk menggusur Makam Syekh Thahir dan Syekh Tungkar itu. Dengan uang yang cukup, tinggal menggaji beberapa orang untuk membongkar makam dan memindahkannya, namun tanpa kesadaran bahwa akan melenyapkan monumen sejarah Islam di Sumatera Tengah ini. Maka samalah keadaannya dengan Wahabi di Mekah, membongkar monumen-monumen sejarah untuk perluasan atau dengan alasan lainnya, tentu dengan uang petrodollar yang besar.
Di sini terbukti benar ungkapan salah seorang Tuanku di Pariaman ketika saya berkunjung ke Ringan Ringan. Tuanku yang berasal dari Batusangkar itu, kontan berkata: “Orang-orang darek itu banyak yang tidak menghargai ulama.” Sehingga pusara, mawan makamnya tidak dirawat. Ironis. Sedangkan makam pahlawan-pahlawan bangsa saja diperbagus indah, bertuliskan “Taman Makam Pahlawan”, namun pahlawan-pahlawan agama dibiarkan semak tak terurus. Maka kaburlah sejarah Islam itu dihadapan anak-anak cucu kelak. Hal ini sudah banyak kita lihat, misalnya saja makam Syekh Harun Toboh Pariaman di Padang Panjang yang dibiar merimba, makam Syekh Abdullah Khatib Ladang Laweh, makam Syekh Abdullah Halaban di Tungkar, dll. Jangan tercengang bila nanti orang-orang Malaysia misalnya lebih tahu tentang sejarah Islam Minangkabau ini dibandingkan kita, sebab kita tidak sadar akan pentingnya monumen sejarah, apakah itu makam-makam ulama tadi atau situs Surau yang ditinggalkannya.
Kondisi Surau dan Makam saat ini
Surau Barulak, yang telah bermetamorfosis menjadi Mesjid Taqwa itu kini telah megah. Keramik-keramik mengkilat menggantikan kaligrafi-kaligrafi indah, atau marmer klasik. Namun, keindahan masa kini telah menghilangkan bekas-bekas sejarah penyebaran Islam oleh Syekh Thahir di lokasi ini. Tidak ada lagi Tarekat Naqsyabandiyah, mungkin malah ia telah dimusuhi? Tidak ada lagi mengaji kitab kuning, mungkin telah dianggap kuno ketinggalan zaman? Semua gambaran kejayaan surau Barulak hanya tinggal dalam catatan sejarah orang Belanda, atau tulisan-tulisan tangan ulama-ulama di negeri lain, atau sepenggal riwayat yang diterima dari orang tua-tua.
Ukiran indah khas Minangkabau di gobah-gobah mesjid ini niscaya sebentar lagi akan dibongkar, ditukar dengan keramik impor atau lainnya. Dinding kaligrafi indah mesjid ini akan diruntuh beberapa saat lagi. Lampu-lampu antik akan ditukar dengan bola philip atau lampu modern. Maka cerita Surau Barulak itu akan tinggal kenangan belaka.
Sayang sekali, Surau Syekh Thahir Beliau Barulak yang berpengaruh sejak tahun 1800-an itu tak sempat dilirik dinas Sejarah dan Kepurbakalaan, tak sempat lagi dicatat menjadi salah satu benda cagar budaya, sehingga orang-orang kini leluasa membongkar dan mengganti monumen sejarah perjalanan Islam ini.
Foto: Mesjid Taqwa (baca: Surau Barulak) ketika dipugar. (2013)
Foto: Ruangan makam Syekh Muhammad Thahir Barulak yang dijadikan gudang (2013)
Foto: Ruangan makam Syekh Muhammad Thahir Barulak yang dijadikan gudang. Dibelakang tumpukan seng itu Makam Syekh Muhammad Jamil Tungkar (2013)
Foto: Ruang lama Mesjid yang dipenuhi kaligrafi indah.
Foto: Ruang lama Mesjid yang dipenuhi kaligrafi indah.
Foto: Ruang lama Mesjid yang dipenuhi kaligrafi indah.
Foto: Ruang lama Mesjid yang dipenuhi kaligrafi indah.
Setiap tahun masih ramai orang-orang menziarahi Makam Syekh Thahir dan Syekh Jamil ini, tentu orang-orang dari jauh-jauh. Mereka mengenang guru dari pada ulama-ulama mereka, sambil berdo’a, mengirimkan bacaan al-Fatihah untuk beliau. Hanya kepingan sejarah, khitmat orang-orang dari jauh-jauh itu yang akan abadi. Sebab mereka tak pernah lupa dengan guru mereka, dan tak lupa akan ilmu yang diwariskan oleh dua ulama besar ini.
Padang Batang, Sungai Antuan. Mungka.
Yang karam dalam laut dosa al-faqir Apria Putra.