oleh: al-faqir al-haqir Apria Putra
Artikel ini ditulis secara ringkas, tidak dimaksudkan untuk berpanjang-panjang bicara; namun sekedar usaha kecil untuk pelurus riwayat mengenai ulama kami al-Marhum Syekh Muhammad Thayyib bin Umar bin Abdul Qadir Sungayang, Batusangkar, yang disebut-sebut sementara orang sebagai “Ulama Kaum Muda” dan “Ulama Wahabi” yang menganut mazhab Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan Muhammad bin Abdil Wahhab an-Najdi.
Siapa tak kenal dengan Syekh Thayyib Umar Sungayang. Ulama besar yang mempunyai nama yang harum dikalangan orang Siak (baca: santri) di Minangkabau di awal abad 20. Salah seorang muridnya yang terkemuka ialah Prof. Mahmud Yunus, ulama dan tokoh pendidikan Islam Indonesia. Demikian harumnya, sampai-sampai generasi muda saat ini tetap mengenal namanya, bahkan diabadikan menjadi salah satu nama pesantren Modern, yaitu Pesantren Syekh Muhammad Thayyib Umar yang disokong oleh alumni-alumni Mesir masa kini.
Kenal nama, tentu kita kenal “Syekh Thayyib Umar Sungayang”. Namun mengenal pribadi secara mendalam, kita belum tentu tahu. Sekedar membuka-buka masa silam yang penuh kegemilangan, kita singkap riwayat ringkas beliau ini; untuk pengingat, untuk mempahamkan kita bagaimana sebenarnya jalan agama di ranah Minangkabau ini.
Riwayat rngkas mengenai Syekh Muhammad Thayyib Umar Sungayang pertama kali disitir oleh Hamka dalam buku “Ayahku”, riwayat itu ringkas, tak memuaskan hati. Dari tulisan Hamka, kita mengenal sosok Syekh Thayyib sebagai konco Haji Rasul. Riwayat yang agak lekap dan lebih kita percayai ditulis oleh Prof. Mahmud Yunus, murid kesayangan Syekh Thayyib Umar sendiri. Beliau menulis riwayat gurunya itu dalam “Sejarah Pendidikan Islam di Minangkabau”. Selanjutnya riwayat hidup beliau ditulis oleh Tim Islamic Centre Sumatera Barat pada tahun 1981, dikompilasi dalam buku “Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat”. Kita akan sari dari buku-buku masyhur ini, dan kita tambah dengan bahan-bahan yang belum dmasukkan oleh para sarjana tersebut.
Syekh Muhammad Thayyib bin Umar bin Abdul Qadir dilahirkan di Sungayang, Batusangkar, yang masa itu dikenal dengan nama Fort van der Capellen, pada tahun 1974. Diusia belia, beliau telah belajar dengan beberapa orang guru agama di kampung halamannya. Di usia remaja, beliau meninggalkan kampung halamannya untuk menambah pengetahuan, diantaranya kepada Syekh Abdul Manan Padang Gantiang dan Syekh Muhammad Shaleh Padang Kandih (ulama besar Tarekat Naqsyabandiyah Sumatera Tengah, w. 1912). Setelah cukup lama belajar kepada kedua ulama besar ini, Syekh Thayyib Umar berangkat ke Mekah dan mukim disana selama 5 tahun. Diantara gurunya disini ialah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (w. 1916), khatib dan guru besar dalam Mazhab Syafi’i di Mesjidil Haram. Pada tahun 1897 beliau kembali ke Sungayang dan langsung mengabdi mengajar agama di surau Tanjuang Pauah. Pada tahun 1910 beliau membuka Madras School, sebuah madrasah (setingkat pesantren di Jawa) dengan sistem klasikal sebagai trobosan baru sekolah agama masa itu. Syekh Thayyib Umar wafat pada tahun 1920.
Syekh Thayyib Umar: Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah
Sebagai ulama tua Minangkabau, Syekh Thayyib Umar Sungayang ialah ulama yang teguh memegang Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy’ariyyah dan Maturidiyyah), sebagai pegangan ulama besar Minangkabau sebelumnya, seperti Syekh Abdul Manan, Syekh Muhammad Shalih Padang Kandih Suliki dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Begitu juga ulama-ulama seangkatan beliau, seperti Haji Rasul, Syekh Jamil Jambek, Abdullah Ahmad dan Syekh Thaher Jalaluddin. Sebagai sokongannya terhadap pegangan ulama Minangkabau itu, beliau karang sebuah risalah yang berjudul “Aqa’id al-Iman”, menjelaskan Aqidah Lima Puluh (terutama Sifat Dua Puluh). Risalah ini dicetak bersama kitab “Irsyadul Awam ilal Islam” karya Syekh Muhammad Zain Simabur Batusangkar.
Foto: Halaman pertama kitab "Aqa'id al-Iman" oleh Syekh Muhammad Thayyib Umar Sungayang, berisi tentang penjabaran Aqidah Lima Puluh sesuai dengan akidah Ahlussunnah wal Jama'ah (Asy'ariyyah dan Maturidiyyah), dicetak bersama kitab "Irsyadul Awam Ilal Islam" karya Syekh Muhammad Zain Simabur, hal. 137.
Kita ingin membanding beberapa tulisan para sarjanawan yang menyebut Syekh Muhammad Thayyib dengan nada “ulama Wahabi”. Dalam beberapa penelitian disebutkan Syekh Thayyib Umar Sungayang sebagai kelompok kaum Muda (modernis) yang progresif seperti Haji Rasul. Mencap Syekh Thayyib Umar dengan “Ulama Muda” hanya semata-mata berpegang kepada buku “Ayahku”-nya Hamka saja, itu tidak mencukupi untuk sebuah tulisan ilmiah.
Syekh Muhammad Thayyib Umar memang ternyata pernah menulis di Majalah al-Moenir (Padang), majalah Kaum Muda Minangkabau. Namun itu bukan berarti beliau sehaluan dengan Ulama Muda yang Pro al-Manar Rasyid Ridha. Bukan.
Benar Syekh Thayyib pernah menulis sya’ir sindiran terhadap orang siak (para santri). Sya’ir sindiran itu dimuat dalam al-Moenir tahun 1912, diantaranya berbunyi:
Jangan diikut masa yang lata
Menuntut ilmu suatu mata
Sekedar fiqih hanya dicinta
Sehabis umur sendi anggota
Habislah masa fiqih tak terang
Rupa yang sungguh berupa karang
Awaklah faqih disangka orang
Ilmu yang tahqiq dapatnya jarang
Adapun masa dahulu hari
Ilmu dituntut pemagar diri
Sekedar bergelar faqih dan kari
Untuk pelepas rodi negeri
…………
Lebih-lebih di Minangkabau
Guru masyaikh pandai menghimbau
Ditipunya awam seperti kerbau
Ke dalam khalwat banyak terambau
Namun sindiran yang beliau ungkap ini menyerang teman-teman dan guru-guru surau yang menjadikan agama sebagai jualan semata; tidak berikhlas diri belajar dan mengajar agama. Bukan menolak ulama-ulama surau tentunya.
Sebagai bantahannya terdapat cap “Kaum Muda”, Syekh Thayyib Umar Sungayang mengeluarkan pernyataan pada Majalah Soeloeh Melajoe (tahun 1914), bahwa beliau bukannya “Ulama Muda” menganut mazhab al-Manar (majalah Syekh Rasyid Ridha), yang menyelisihi Ahlussunnah wal Jama’ah dan Mazhab yang Empat.
Syekh Thayyib sebagai guru-guru dan teman-temannya ulama Minangkabau tetap berpegang kepada Ahlussunnah wal Jama’ah dan Mazhab Syafi’i. Meski dalam satu dua masalah beliau berbeda dalam furu’ (cabang), dalam ushul (pokok) tetap perpegang kepada tali yang satu. Itulah kemudian yang dikembangkan oleh murid-murid Syekh Thayyib Umar selanjutnya seperti Syekh Abdul Wahid al-Khalidi Beliau Tobek Godang (pimpinan besar Perti), Prof. Mahmud Yunus, Angku Ajhuri, dan lainnya; mereka tetap asy’ariyyah dan syafi’iyyah.
Al-Fatihah.
Ditulis sesaat sebelum berziarah ke makam Syekh Abdul Aziz “Beliau Simpang Kapuak” (w. 1985, dalam usia 175 tahun), Simpang, Luak Lima Puluh Kota.
Se-dha’if manusia, Apria Putra, yang dimasyhurkan orang dengan “Angku Mudo Khalis”.