Pada tulisan ini, kita akan
mengenal beberapa Madrasah (baca: Pondok Pesantren) yang mempunyai sejarah dan
peran penting mencerdaskan kehidupan bangsa khususnya pada bidang intelektual
islam di Pedalaman Minangkabau. Madrasah-madrasah yang kita bicarakan ini hanya
tinggal nama dan cerita untuk dikenang-kenang saja. Tulisan ini sengaja ditulis
karena diinspirasi oleh “Muzakarah Eksistensi Pondok Pesantren Tarbiyah
Islamiyah Mengahadapi Tantangan Global“ yang diadakan oleh Persatuan Tarbiyah
Islamiyah di Asrama Haji, Tabing, Padang, pada Selasa tanggal 9 Desember 2014
atau 16 Shafar 1436 H. Meskipun saya tidak hadir pada acara yang menghadirkan
Menteri Agama RI tersebut, namun sebagai seorang yang hidup dan tumbuh
dilingkungan ulama-ulama PERTI, maka sewajarnya saya menyambut apa yang disebut
“muzakarah” itu dengan euforia. Euforia itu dituangkan dalam tulisan singkat
ini, sebagai alat pembuka mata kepada pimpinan-pimpinan organisasi keagamaan
khas Minangkabau, “Persatuan Tarbiyah Islamiyah”, itu sendiri. Terhadap apa
“mata” itu mesti dibuka? Terhadap kenyataan bahwa banyak sekolah agama kita,
sekolah agama yang sangat bersejarah dan mempunyai peran signifikan di masa
lalu, kini telah terabaikan, seakan tak dipedulikan, atau bahkan telah
dilupakan sama sekali. Itulah yang pernah saya kemukakan: “Kita seperti surau
besar tak berpenghuni.” Semoga kita dapat memetik hikmah dari tulisan ini,
paling tidak sekedar menambah perbendaharaan sejarah kita.
Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI)
Mungka Payakumbuh
Syekh Muhammad Sa’ad al-Khalidi
Mungka (w. 1922) adalah ulama panutan dari tokoh-tokoh tua PERTI. Ulama-ulama
PERTI seperti Syekh Sulaiman Arrasuli, Syekh Abbas Qadhi Ladang Laweh, Engku
Alwi Koto nan Ampek, Syekh Arifin Batuhampar, Syekh Ahmad Baruah Gunuang, Syekh
Salim Bayur Maninjau, dan lain-lain merupakan murid Syekh Sa’ad belaka. Syekh
Sa’ad wafat beberapa tahun sebelum PERTI berdiri 1928. Meski tidak melihat
perkembang madrasah-madrasah yang berakar pada tradisi surau ini, Syekh Sa’ad
telah mengkhalifahkan keulamaannya kepada salah seorang anaknya, yaitu Syekh
Muhammad Djamil Sa’adi (w. 1971). Syekh Djamil Sa’adi inilah yang kemudian
mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah di Mungka Payakumbuh sebagai respon
terhadap keputusan ulama di Candung 1928.
Belum ada catatan mengenai tahun
berdirinya MTI Mungka, namun dalam dokumen yang ada disebutkan bahwa pada 1950
MTI Mungka telah mengadakan sebuah pertemuan ulama PERTI, dan menjadi pusat
PERTI Kabupaten Lima Puluh Kota. Artinya jauh sebelum 1950 Madrasah ini telah
berdiri dengan kokoh.
Madrasah Tarbiyah Islamiyah
Mungka dipimpin oleh Syekh Djamil Sa’adi dan dibantu oleh anak beliau yaitu
Engku Hasan Sa’adi, dan Syaikhani Ismail. Tokoh yang terakhir ini merupakan
sosok terkemuka di Lima Puluh Kota sebagai orator, disamping ulama tentunya.
Syekh Djamil Sa’adi wafat 1971.
Setelah berpulangnya, MTI ini kehilangan figur, dan secara perlahan mengakhiri
riwayatnya. Di masa jaya dulu, Madrasah ini terkenal ke mana-mana negeri,
sebagai pusat menggali ilmu agama secara mendalam; tamatan madrasah ini umumnya
menjadi ulama besar di daerah masing-masing. Murid-murid yang dikenal dengan
sebutan “urangsiak” datang dari berbagai penjuru Minangkabau, bahkan dari
semenanjung Malaya.
Kini madrasah yang legendaris di
Lima Puluh Kota itu tinggal puing di pinggir jalan raya Koto Baru Mungka.
Orang-orang tentu tak menyangka bahwa bangunan tua itu adalah harum semerbak di
masa silam. Papan dengan tulisan “Madrasah Tarbiyah Islamiyah Mungka” masih
ada, namun aktivitas hanya semata kenangan. Beberapa tahun terakhir, mushallah
di Madrasah ini telah dimanfaatkan sebagai “Rumah Qur’an”, tempat belajar irama
al-Qur’an, atau pertemuan bila akan pergi lomba-lomba tarannum Qur’an.
Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI)
Sungai Rimbang
Berjalan ke Arah Suliki, sebelum
sampai di RS Ahmad Darwis, sebelah kiri kita akan melihat sebuah bangunan
menjorok ke dalam, di kelilingi sesawahan yang hijau. Tertulis pada bangunan
itu “PAUD”, tempat Pendidikan Anak Usia Dini. Dari gerbang masuk, kita akan
menyadari bahwa bangunan itu sejatinya bukan PAUD dari awal didirikan, tapi
“Madrasah Tarbiyah Islamiyah Sungai Rimbang”. Tulisan pada papan gerbang itu
sudah hampir dipupus waktu, tapi masih dapat di baca jelas. Konon, riwayat
orang tua-tua, MTI ini terkenal di masanya. Dan masa-masa itu telah berlalu
cukup lama.
Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI)
Limbukan Payakumbuh
Siapa tak kenal dengan Limbukan,
“pusek jalo pumpunan ikan,” tempat mukimnya ulama-ulama kenamaan sejak
abad-abad yang lalu. Sejak masa kolonial, di daerah ini berdiri Madrasah
Tarbiyah Islamiyah Limbukan yang masyhur kemana negeri. Selain tempat belajar
agama dengan kitab kuning, di sana juga diadakan suluk, berthariqat menurut
Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah. Ulama besar di MTI Limbukan tersebut ialah
Syekh Ruslan Limbukan, seorang Syekh Naqsyabandiyah, ahli ilmu Ushul Fiqih dan
Fiqih.
MTI Limbukan adalah salah satu
Madrasah PERTI kenamaan, sebab bila ada pertemuan ulama-ulama di Payakumbuh,
tak jarang dilaksanakan di MTI Limbukan. Murid-murid Syekh Ruslan ini juga
banyak yang kemudian menjadi ulama besar, seperti Syekh Mukhtar Engku Lakuang
koto Panjang Payakumbuh, Buya Junaid al-Mashri Situjuah yang menjadi guru besar
di MTI Koto Kandih Pesisir Selatan, dan Syekh Zamzami Yunus Lasi yang menjadi
pendiri sekaligus pimpinan Pondok Pesantren Ashabul Yami Lasi, Agam.
Bila Syekh Ruslan wafat, hilang
pula-lah “ruh” MTI Limbukan. Masalah klasik timbul, perlahan-lahan redup pula
madrasah fenomenal ini. Sekarang di lokasi MTI Limbukan itu hanya ditemui makam
Syekh Ruslan, membisu, dan dua lokal yang tampak baru, sedangkan aktivitas
belajar mengajar telah lama terhenti.
Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI)
Batu Tanyuah
Minantu Syekh Jamil Jaho dan
Syekh Darwisy Arsyadi ini terkenal masyhur sebagai ulama yang alim allamah dan
ahli sufi, dialah Syekh Muhammad Kanis Tuanku Tuah Batu Tanyuah. Beliau pendiri
sekaligus pimpinan MTI Batu Tanyuah, yang masyhur di zamannya. Syekh Tuanku
Tuah wafat 1989, meninggalkan MTI Batu Tanyuah. Setelah masa berlalu,
tinggallah gedung ini membisu sendirian. Tidak seperti halnya MTI-MTI lain yang
gedungnya terbiarkan, maka gedung MTI ini, setelah aktivitas belajar mengajar
terhenti, masih digunakan sebagai Surau Suluk setiap tahunnya. Inilah yang
bertahan dari gelombang masa. Dan memang, anak Syekh Kanis, yaitu Syekh H.
Zafrullah Dt. Bungkuah ialah seorang yang teguh memelihara “maqam” ayahnya.
Perlu diketahui, keluaran
madrasah ini banyak menjadi tokoh ulama, antara lain Alm. Buya Yarman Nur,
pendiri Pondok Pesantren al-Makmur Tungkar; Buya Amilizar Amir, guru MTI
Candung dan Syekh Naqsyabandiyah di Barulak; dan konon, Prof. Salmadanis, salah
seorang yang duduk di jajaran Jami’ah Thariqat Mu’tabarah (JATMAN) Sumbar,
ialah murid beliau juga.
Mungka, Medio Desember 2014