Sabtu, 09 Agustus 2014

Catatan Harian Ulama Minangkabau (Bagian 1): Catatan Harian Syekh Muhammad Sa’ad al-Khalidi Mungka (w. 1922) yang dimasyhurkan dengan “Baliau Surau Baru” atau “Baliau Mungka”

Oleh: al-Faqir Apria Putra

Para akademisi sepakat bahasanya ulama merupakan pencerdas kehidupan bangsa jauh sebelum adanya sekolah dan madrasah sebagaimana yang kita kenal sekarang. Selain transmisi intelektual, ulama memainkan peran penting untuk menyebar luaskan sistem tulisan. Minangkabau yang sebelumnya dikenal sebagai wilayah yang menggunakan tutur lisan semata, dengan masuknya Islam dan lahirnya surau-surau di Darek atau di Rantau maka mulai lah dikenal tulisan Arab-Minang yang kemudian populer dengan sebutan “Arab Melayu”. Riwayat-riwayat lama kemudian diaksarakan, apakah dalam bentuk tambo-tambo atau bari balabeh. Itu semua ditulis dalam tulisan Arab, ertinya kesadaran terhadap tulisan itu ada setelah pengaruh Islam, kalau ditelusuri lagi semuanya ialah karena ulama di belakangnya. Selain itu, ulama telah membawa kesadaran pentingnya sejarah sebagai cermin berkaca bagi generasi-generasi selanjutnya. Salah satu, dan mungkin dilupakan oleh ilmuan-ilmuan moderen saat ini, dibuktikan dengan pencatatan aktivitas hidup seorang ulama oleh ulama itu sendiri. Catatan itu lazim disebut dengan “catatan harian”.

Catatan harian berisi informasi-informasi peristiwa yang terjadi pada masa seorang ulama hidup dan berkarir. Isinya antaranya lain catatan kelahiran seorang tokoh, wafat seorang tokoh, tanggal-tanggal penting seperti kapan berangkat ke Makkah, kapan mulai mengaji kitab, kapan sebuah surau didirikan, kapan sawah diteruka, dan tak jarang berisi catatan pinjaman, gadai, atau utang piutang. Dus informasi ini penting bila ditinjau dari sisi historis, demi keberlanjutan sejarah tentunya.

Ulama-ulama dahulu di Minangkabau sangat lah cermat menulis hal-hal penting mengitari kehidupannya. Mereka menulis hari, tanggal, bulan, dan tahun suatu peristiwa dengan lengkap, hal ini membuktikan kecermatan mereka mengenai suatu hal. Kecermatan ini sebenarnya diajar oleh “kemahiran kitab kuning” yang mereka tuntut. Ketika mempelajari kitab kuning, seorang kader ulama akan diajar gramatikal (Nahwu, Sharaf, dan Balaghah) yang memerlukan sifat jeli dan cermat memperhatikan kata perkata, kalimat perkalimat, pragraf per pragraf Arab, lebih dari itu mereka dilatih melihat yang “tak tampak dari yang tampak”, yaitu “qarinah” sebuah kalimat, untuk menentukan harkat (baris) dan terjemahan sebuah teks kitab. Dalam membaca kitab kuning, seorang urangsiak (baca: santri) akan diajar menentukan titik dan koma dari pragraf-pragraf teks, sebab kitab kuning tidak mengenal titik dan koma, kejelian dan ke’aliman lah yang akan menuntun seorang pembaca. Seorang urangsiak juga dituntut mengenal dan menghafal nama thabaqat (tokoh-tokoh penting entah dalam disiplin ilmu tafsir, hadis, dll) beserta tanggal lahirnya, membedakan nama-nama ulama yang sama seperi Ibnu Hajar apakah ia bergelar al-Haitami atau al-Asqalani, dan lain-lainnya. Kecakapan ini dilatih di surau, dan inilah yang melatarbelakangi sikap hemat, cermat, dan jeli seorang ulama didikan surau. Kecermatan ini kemudian dibuktikan dalam catatan-catatan harian yang mereka tinggalkan.

Sebelum abad 19, ulama-ulama biasa menulis peristiwa-peristiwa penting di kulit-kulit kitab yang saat itu masih dalam bentuk tulisan tangan. Sebagian lainnya menulis di pinggir-pinggir teks naskah. Sebagian lain menulis di papan-papan atau di tonggak surau. Sekitar abad 19 di kalangan ulama mulai ditemukan naskah-naskah yang khusus berisi catatan harian yang berisi informasi peristiwa-peristiwa penting.

Pada artikel ini kita akan mengenal satu cacatan hari seorang ulama besar di awal abad 20, yaitu Syekh Muhammad Sa’ad al-Khalidi Mungka Payakumbuh, seorang yang disebut-sebut sebagai maha guru ulama tua Minangkabau abad 20, titik temu sanad keilmuan ulama surau, bahkan pendekar Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah yang masyhur se-antero Tanah Melayu. Beliau meninggalkan satu cacatan yang ditulis ketika lembaga pendidikan tradisional yang beliau dirikan mencapai titik kejayaan pada awal abad 20.

Catatan Harian Syekh Sa’ad Mungka

Catatan harian Syekh Muhammad Sa’ad terdiri dari beberapa halaman folio. Kertas yang digunakan ialah lokal bergaris. Catatan ini ditulis beberapa tahun sebelum beliau wafat pada 1922. Catatan ini berisi hal-hal menarik seputar pribadi ulama ini, antara lain:
  1.  Tanggal wafat urangsiak yang belajar di Surau Baru Mungka. 
  2.  Tanggal penting seputar aktivitas beliau ke Makkah, kehidupan keluarga, dan catatan ladang dan sawah. 
  3.  Tanggal didirikan surau Mungka, mencakup kapan mulai menebang kayu, kapan mulai dibangun, dan kapan selesainya. 
  4.  Tanggal penyimpanan uang, beserta nama dan jumlahnya dalam rupiah (zaman Belanda). 
  5.  Dan lain-lain.
Selain catatan ini, dalam kitab-kitab yang beliau muthala’ah, mencakup kitab-kitab besar seperti Tuhfah, Nihayah, Tafsir Jamal Jalalain, Qamus Muhith, Ittihaf Saadat al-Muttaqin, Iqna’ Khatib Syarbaini, Fatawa Kubra Ibnu Hajar al-Haitami, I’anatut Thalibin, Ghayah al-Wusul, al-Maktubat Imam Rabbani, dan lain-lain, beliau cermat menulis kapan mulai memuthala’ah (mempelajarinya) dan kapan selesainya. Selain itu, pada sampul beberapa kitab dituliskan mimpi-mimpi beliau, beserta tanggal, bulan, dan tahunnya.

Hasil Fotografi Catatan Harian Syekh Sa'ad Mungka


 Foto atas: Halaman 2 Catatan Harian Syekh Sa'ad Mungka. Tertulis tahun penulisannya yaitu 1312-1315 (sekitar 1891 Masehi hingga 1894)

Foto atas: Halaman 9 Catatan Harian Syekh Sa'ad Mungka

Begitulah ulama-ulama silam. Radhiyallahu ‘anhu... wa nafa'ana bi-'ulumihi, Amin.

Di Negeri Seribu Ulama
Mungka, dalam khalwat yang hening
Afqar al-wara ila maulihi al-ghani
Apria Putra Engku Mudo Khalis