Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi ialah salah
seorang tokoh ulama Nusantara dari Minangkabau yang mempunyai reputasi penting
dalam jaringan ulama negeri bawah angin pada awal abad 20. Ketokohannya
barangkali bisa disetarakan oleh Syekh Nawawi al-Jawi Banten yang dikenal
sebagai Sayyid Ulama Hijaz tersebut, meskipun dalam segi keilmuan Syekh Ahmad
Khatib berada di bawah level ulama Banten tersebut. Ulama-ulama besar yang
umumnya yang berkarir di Dunia Melayu hampir semuanya merupakan murid Syekh
Ahmad Khatib. Ketokohan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan kepopulerannya
disebabkan oleh prestasinya sebagai Imam dan Khatib dalam Mazhab Syafi’i di
Mesjid Haram, Makkah. Selain itu, hal yang membuat namanya melambung ialah
polemik-polemiknya dengan ulama-ulama se zaman dengannya. Untuk kasus
Minangkabau, ia merupakan sosok yang kritis terhadap adat pusaka dan amalan
Tarekat Naqsyabandiyah. Mengenai adat pusaka, ia menentang tradisi mewariskan
harta pusaka yang telah menjadi adat kebiasaan di kampung halamannya itu. Dalam
risalah “al-Da’i al-Masmu’ yang kemudian ia terjemahkan sendiri ke dalam
bahasa Melayu dan diberi judul Minhaj al-Masyru’ ia mengecam pembahagian
harta pusaka kepada kemenakan. Menurutnya adat pusaka itu terlarang di mana
harta tersebut jatuh kepada syubhat. Ia menekankan pentingnya Faraidh dalam
pembahagian harta pusaka itu. Kecamannya terhadap harta pusaka mendapat
tanggapan dari ulama-ulama Minangkabau, di antaranya Syekh Muhammad Sa’ad
al-Khalidi Mungka Payakumbuh (w. 1920) yang menyindirnya dalam kitab “Tanbih
al-‘Awam ‘ala Taghrirat Ba’dhil Anam” (1910). Tantangan terhadap Khatib di
Makkah ini juga datang dari murid-muridnya, salah seorang di antara mereka
ialah Syekh Abdul Karim Amrullah yang dikenal dengan Inyiak Rasul, ia
menyatakan bahwa yang harta yang diwariskan di Minang secara adat itu hanya
harta pusaka tinggi yang termasuk kategori harta Musabalah yang pewarisannya berdasarkan
hibah, sedangkan untuk harta pencarian tetap diwariskan menurut Faraidh
(Tulisan terbaik mengulas Harta Pusaka dan pewarisannya di Minangkabau itu
ialah disertasi Prof. Amir Syarifuddin yang berjudul “Hukum Kewarisan Islam di
Lingkungan Adat Minangkabau”).
Masalah kedua, yang benar-benar membuatnya
berpolemik besar dengan ulama-ulama di kampung halamannya itu, ialah
kritikannya terhadap amalan Tarekat Naqsyabandiyah. Kita maklum bahwa
Minangkabau ialah salah satu daerah yang menjadi pusat Tarekat Sufi terpadat di
Nusantara. Ulama-ulama di daerah ini dapat dikatakan berafiliasi dengan salah
satu tarekat mu’tabarah, apakah Naqsyabandiyah, Syattariyah, Sammaniyah, dan
Syadziliyyah. Surau-surau tumbuh bak cendawan, entah di Darek atau di Rantau,
memiliki karakteristik tasawuf yang kental. Dapat di katakan bahwa ruh dari
surau itu ialah tarekat sufi. Hal ini telah berlangsung sejak Islam menancapkan
akar di wilayah ini, sampai saat ini keadaan seperti itu masih berlaku meski
fungsi dan kedudukan surau itu telah digeser zaman.
Beberapa peneliti acap keliru menempatkan Syekh
Ahmad Khatib al-Minangkabawi sebagai penentang tarekat sufi secara mutlak.
Barangkali kesimpulan yang tergesa-gesa itu muncul karena mereka tidak membaca
karya-karya Syekh Ahmad Khatib secara utuh. Mengenai kritikan terhadap Tarekat
Naqsyabandiyah beliau menulis kitab “Izhar Zaghlil Kadzibin fi Tasyabbuhihim bi
al-Shadiqin” (1906). Dalam karya itu beliau beliau membantah amalan Rabithah
dan mengkritisi sebagian orang yang mengaku-ngaku sebagai Syekh Sufi. Ia tidak
membantah tarekat ini secara menyeluruh, bahkan dalam mukaddimah kitab itu ia
memberikan panduan-panduan menjalankan tarekat secara benar yang mencakup
syarat rukun mengamalkan tarekat dengan mengutip literatur Tarekat Naqsyabandiyah
yang sangat populer yaitu “Jami’ Ushul fi al-Awliya’” karya al-Khumuskhanawi.
Dalam karyanya yang lain, beliau bahkan
menegaskan pentingnya mengikuti tarekat ahli sufi sebagai jalan untuk
menghampirkan diri kepada Allah. Selain itu beliau mengajarkan kaifiyat
mengambil tarekat (talqin zikir), sebagaimana terdapat dalam karya beliau yang
berjudul “Fathul Mubin fi ma Yata’allaqu bi Umur al-Din”.
Fathul Mubin: Cermin pribadi sufi Syekh Ahmad
Khatib al-Minangkabawi
Kitab Fathul Mubin fima Yata’allaqu bi-Umuriddin
merupakan salah satu karya Syekh Ahmad Khatib yang berbicara tentang akidah,
fiqih, dan tasawuf secara gamblang. Kitab ini terbit pada tahun 1901 di Makkah
dan tersebar luas di Nusantara lewat para jemaah haji. Nampaknya Fathul
Mubin memang diperuntukkan bagi muslim nusantara, hal ini dapat dibuktikan
dengan bahasa Melayu yang dipakai dalam kitab ini.
Secara umum kitab ini terdiri dari tiga bab,
yaitu mengenai bab tauhid, fiqih dan tasawuf, sesuai dengan isyarat dalam
sebuah hadis yang menyatakan tiga pokok penting yaitu iman sebagai gambaran
tauhid, islam sebagai fiqih dan ihsan sebagai tasawuf. Pada awal kitab ini,
penulisnya menyebutkan alasan penulisan kitab ini sebagai jawaban dari
permintaan sebagian kaum muslimin yang hendak belajar agama untuk menempuh
negeri akhirat: Maka berkata hamba yang faqir, Ahmad Khatib ibn Abdul Latif
Khatib, khadam orang yang menuntut ilmu pada masjid al-Haram al-Makki, yang
imam lagi khatib pada makam Imam Syafi’i: Telah meminta kepada hamba oleh
setengah daripada sebagian orang yang ingin kepada jalan akhirat bahwa
memperbuat hamba akan satu risalah dengan simpan [mencakup]. Maka hamba
nyatakan pada ini akan hasil yang dipintak daripada tiap-tiap orang mukallaf
daripada ilmu tauhid dan furu’ agama. Dan hamba khatam dengan menyatakan
syari’at dan tarikat dan hakikat. (Fathul Mubin, hal. 2)
Isinya terdiri tiga judul besar, yaitu yang
pertama pada menyatakan Tauhid dan ashal agama, yang kedua pada
menyatakan ibadah yang empat, yaitu sembahyang, zakat, puasa dan haji, Dan
kitab yang ketiga pada syari’at dan tarikat dan hakikat.
Dan satu khatimah (penutup). Bagian ketiga kitab ini menarik untuk
disimak, sebab pada fasal yang cukup panjang ini Syekh Ahmad Khatib
menjelaskan pendirian beliau bahwa ilmu Tarikat dan Hakikat sangat penting
untuk dituntut. Dalam mukaddimahnya tersebut, ia menyebutkan: Dan kitab yang
ketiga pada syari’at dan tarekat dan hakikat, dan khatimah pada menyatakan
bahagian orang yang mengambil tarekat dan syarat si-murid dan syarat guru dan
kaifiyyat mengambil tarekat dan bai’at dan memakaikan pakaian fakir pada
tarekat serta dalil tiap-tiap daripada hadis nabi kita dan perbuatan ulama
sufiyyah yang ikutan pada ilmu tasawuf. (Fathul Mubin, hal. 32)
Ada beberapa bagian penting dalam bab tasawuf
yang dikemukakan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dalam Fathul Mubin,
yaitu (1) pentingnya menyelaskan syari’at, tarekat dan hakikat sebagai jalan
untuk menempuh dunia akhirat, (2) Syari’at merupakan refleksi dari memperbuat
segala yang diperintahkan Allah dan rasul-Nya dan menghentikan segala
larangan-Nya, (3) tarekat yaitu yang dipakaikan oleh ulama tasawuf yang diambil
dari perilaku Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya, (4) hakikat, dengan
mengutip pendapat Ibnu Hajar, yaitu ilmu dan amal, adakalanya ilmu diberi Allah
seperti ilmu Mukasyafah atau hakikat syari’at, (5) pergeseran orientasi
tarekat-tarekat pada masa kini dan (6) ketentuan seorang ahli tarekat yang
sesuai syara’. Beberapa poin ini akan kita lihat pada sub bahasan ini.
Pada bagian khatimah kitab Fathul Mubin, Syekh
Ahmad Khatib secara khusus menguraikan tatacara seseorang menjalani tarekat
ahli Sufi. Dengan mengutip pernyataan Imam Ibnu Hajar al-Haitami, Syekh Ahmad
Khatib menjelaskan bahwa orang yang menjalani tarekat itu terbagi dua, yaitu
(1) orang yang hendak mengambil barokah saja, dan (2) orang yang hendak
menjalani jalan akhirat, di bawah bimbingan seorang guru mursyid. Kemudian
beliau menguraikan panjang lebar mengenai sifat-sifat seorang guru mursyid,
sifat-sifat seorang murid tarekat (baca: salik) beserta dengan adab
masing-masingnya. Setelah itu beliau menjelaskan tata cara mentalqin zikir
(dalam istilah suluk yaitu baiat tarekat) dan syarat-syarat memberi ijazah
kepada murid yang telah wushul kepada Allah. Pada akhir kitab Fathul Mubin, Syekh
Ahmad Khatib memaparkan fadhilah keutamaan zikir.
Foto atas: Halaman sampul kitab Fathul Mubin, tertulis: Ini Risalah yang elok susunannya lagi bagus ibarat aturannya, yang bernama akan dia Fathul Mubin fima Yata'allaqu bi-Umuriddin, pada bicara Tauhid dan hukum Fiqih rubu' ibadah dan bicara kelebihan zikir, karangan Tuan Guru al-'Alim al-'Allamah al-Mudaqqiq al-Muhaqqiq al-Fahamah al-Mudarris bil Masjidil Haram al-Khatib wal Imam fil Maqam al-Shaikh Ahmad Khatib ibn 'Abdullatif Khatib ibn Abdullah al-Minkabawi al-Jawi tsummal Jawi...
Foto atas: Halaman 17 Kitab Fathul Mubin. Teks bergaris merah tertulis: Pada menyatakan Syari'at dan Tarekat dan Hakikat. Ketahui olehmu akan bahwasanya tiap-tiap orang yang hendak menjalani jalan akhirat, lazimlah atasnya bahwa menghimpunkan ia akan syari'at dan thariqat dan hakikat karena hakikat tiada syari'at batil, dan syari'at dengan tiada hakikat tiada berfaedah.
Foto atas: Halaman 32 Fathul Mubin. Teks bergaris merah: (Khatimah) Pada menyatakan bagi orang yang mengambil tarekat dan pada menyatakan kaifiyat bai'at (talqin zikir) dan memakai khirqah.
Foto atas: Teks Fathul Mubin berisi kaifiyat talqin tarekat, bergaris merah tertulis: (Adapun) Kaifiyat menurunkan tarekat kepada murid, yaitu bahwa membaca ia akan... kaifiyat yang diturunkan oleh Syekh Ahmad Khatib bersesuaian dengan Tarekat Naqsyabandiyah yang masyhur di Minangkabau ini.
Demikian kita ringkas dari Fathul Mubin karya
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.
Dalam khalwat yang hening
Batubaraia, Mungo
Al-Faqir Apria Putra