Telah masyhur dikalangan kaum intelektual
kita bahwa Minangkabau adalah salah satu pusat keilmuan Islam pada masa silam
di Sumatera, selain Aceh. Tersebab oleh putaran zaman, pergantian generasi, tak
banyak lagi yang tahu dimanakah letaknya pusat-pusat keilmuan Islam tersebut di
Minangkabau. Perhatian terhadap keilmuan Islam telah menurun, meski
kecenderungan beragama secara instan menyeruak di tengah masyarakat. Apakah
keadaan ini merupakan perputaran roda zaman untuk mencapai titik nadir,
kemudian kembali jaya semasa dulu, entahlah. Perhatian yang telah menurun
itulah yang menjadi penyebab banyaknya generasi muda kehilangan jati diri, itu
pulalah yang telah membuat orang-orang lupa dengan sejarah, yakni sejarah
kegemilangan Islam di negeri emas Minangkabau ini.
Di masa lalu, prestasi keilmuan seseorang
urangsiak (santri) dipatok dari tempat dia belajar. Misalnya ketika seorang
belajar agama di Tobekgodang, maka dia seorang ahli fiqih, ushul, lughah, dan
tasawuf. Bila seorang siak belajar di Candung misalnya berarti ia faqih. Dan
begitu seterusnya. Masyarakat telah mafhum kemampuan intelektual urangsiak
tersebut dari nama tempat dimana mereka memperdalam agama, sebab tempat-tempat
itu telah menjadi lokus pencetak ulama yang mumpuni. Maka jangan heran, di
zaman nenek-nenek kita dulu, orang-orang akan merinding bulu kuduknya mendengar
nama tempat seorang urangsiak belajar. Misalnya, mendengar Mungka, maka orang-orang
tak akan berani mendebat, karena telah paham bahwa urangsiak itu seorang alim
‘allamah dalam ilmu agama Islam.
Untuk mengingat-ingat masa silam, lebih
dari sekedar bernostagia tentang kejayaan Islam di Minangkabau ini, alangkah
rancaknya bila kita mengenal pusat-pusat keilmuan Islam di abad-abad silam di
negeri kita ini. Nama-nama tempat ini, berikut kebesaran dan ketokohan
ulamanya, saya simak dan saya dengar dari orang tua-tua dan ulama-ulama sepuh
yang pernah saya kunjungi disepanjang perjalanan saya menziarahi pusara-pusara
ulama besar di alam Minangkabau ini.