Tuan-tuan jika ditanya tentang Kamus Arab-Melayu di masa awal-awal, tentu tuan akan dengan mudah menjawab: Kamus Idris Marbawi atau Kamus Zahabi-nya Mahmud Yunus. Tapi bila datang soal tentang Kamus Arab Ammiyah-Minang, tentunya sebagian besar akan menunjukkan ekspresi yang sama yaitu kerut di dahi tanda penasaran. Buat apa belajar Arab Ammiyah? Bukankah kitab-kitab pelajaran Agama semuanya ditulis dalam Bahasa Arab Fushah?
Kehadapan
tuan-tuan tentu akan dijelaskan terlebih dahulu, bahwasanya Bahasa Arab itu
dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu (1) Arab Fushah, dan (2) Arab
‘Ammiyah. Arab Fushah ialah Bahasa Arab yang baku, sesuai dengan kaedah-kaedah
gramatikal Arab, atau dengan tepatnya Bahasa Arab al-Qur’an. Bahasa Fushah
inilah yang menjadi pengantar ilmu pengetahuan agama yang dipergunakan sejak
dahulu, sejak al-Qur’an diturunkan hingga saat ini. Tuan tentu bisa menghitung
berapa lama sudah itu. Sedangkan ‘Ammiyah ialah Bahasa Arab harian, kasarnya
Bahasa Pasaran. Bahasa Arab jenis ini tidak terikat kuat dengan sintaksis Arab,
elastis mengikuti zaman, dan berpeluang besar dipengaruhi oleh bahasa-bahasa
lainnya. Bahasa jenis terakhir ini dipakai oleh masyarakat Arab sehari-hari.
Bagi
orang yang bergelut dengan kitab-kitab standar tentunya tidak hajat mengetahui
Bahasa Ammiyah, tapi bagi orang yang ingin mengadu untung sambil belajar Agama
di negara Arab serta dapat berkomunikasi dengan orang Arab sehari-hari, maka
Bahasa Ammiyah tentu dibutuhkan. Selama ini belum kita dengar lembaga
pendidikan agama di zaman Belanda yang mengajarkan Bahasa Ammiyah. Tapi tuan
mungkin salah, sebab salah satu sekolah agama yang berlokasi di Ampek Angkek
telah menjadikan Bahasa Ammiyah menjadi salah satu pelajaran pokok. Sekolah
agama itu ialah Madrasah Tarbiyah Hasanah, madrasah moderen yang berlokasi di
Desa balai Gurah, Ampek Angkek, Agam. Deliar Noer dalam disertasinya yang
masyhur itu, “Gerakan Mnoderen Islam”, menyebutkan bahwa madrasah ini merupakan
sekolah agama moderen pertama di Minangkabau yang telah berdiri sebelum
Madrasah Thawalib dan Madrasah Tarbiyah Islamiyah memaklumkan diri. Letak
moderen itu ialah dari segi metode pembelajaran, adanya pelajaran umum, dan
kelengkapan seperti papan tulis, bangku-meja, dan ruang kelas. Dari segi isi,
tetap sebagaimana di surau-surau kebanyakan. Madrasah ini didirikan oleh tokoh
ulama Ampek Angkek, yaitu Syekh Abdul Latif Syakur, seorang ulama besar,
pengarang ulung, dan sosok pendidikan yang melampui zamannya.
Madrasah
ini telah menggunakan rencana pembelajaran yang telah disusun rapi. Rencana itu
ditulis oleh pimpinannya sendiri dalam sebuah buku khusus. Di dalam buku itulah
diketahui aktivitas sang syekh dalam mengajar murid-muridnya, apakah
kitab-kitab yang dipakai, jam pelajaran, dan guru-guru yang mengajar. Manuskrip
catatan itu masih tersimpan rapi, dan menjadi satu bukti kemajuan berfikir
ulama-ulama surau masa lalu.
Kitab-kitab
yang dipakai di Madrasah Tarbiyah Hasanah antara lain kitab-kitab fiqih
Syafi’iyah, seperti I’anah al-Thalibin dan Fathul Qarib. Selain itu buku
pelajaran lain seperti hadis, muthala’ah, metode mengajar (Manahij al-ta’lim),
dan Bahasa Arab ialah karangan Syekh Abdul Latif sendiri. Hal terakhir inilah
yang menjadi gebrakan baru kala itu. Ia mengarang untuk mengajar, bukan untuk
mencari keuntungan semata. Siapa Syekh Abdul Latif Syakur?
Syekh Abdul Latif Syakur: Dari
Mekkah ke Minangkabau
Syekh
Abdul Latif Abdus Syakur ialah nama sejatinya. Ia lahir di Balai Gurah, Ampek
Angkek, pada paruh terakhir abad 19. Ketika usianya belum baligh ia telah ke
Mekkah untuk belajar agama dan sekaligus menunaikan rukun Islam kelima. Selama
di Mekkah ia belajar agama kepada ulama-ulama kenamaan ketika itu, seamsal
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Teman-temannya sesama di Mekkah ialah Syekh
Sulaiman Arrasuli, Syekh Abdul Karim Amrullah, Syekh Muhammad Jamil Jambek,
Syekh Ibrahim Musa Parabek, dan lain-lainnya. Cukup lama ia di Mekkah, tak
kurang 12 tahun lamanya ia mukim menuntut ilmu di negeri itu. Pada awal abad
20, ia pulang ke kampung halamannya, Balai Gurah. Selain menyibukkan diri
dengan mengajar, di kampung halamannya ia melakukan tugas dakwah yang begitu
berat yaitu menyadarkan pelaku maksiat yang saat itu bersimaharaja. Ia
melakukan dakwah yang santun, mendekati pelaku maksiat dengan rasa empati,
sehingga lambat laun kampung halamannya berubah menjadi kampung urangsiak
(kampung santri). Konon dari tutur orang tua-tua kita ketahui bahwasanya Syekh
Abdul Latif Syakur menjalankan dakwahnya dengan sangat bijak. Ia tidak lantas
mengatakan “haram” kepada pelaku maksiat, tapi ia dekati dengan lemah lembut;
duduk bersama mereka dan memasukkan pelajaran agama dengan perlahan namun
pasti. Itulah caranya yang bijak.
Pada
awal abad 20 Syekh Abdul Latif Syakur mendirikan sekolah agama dengan sistem
klasikal yang saat itu masih tabu. Ia beranjak dari halaqah surau menjadi
sekolah berkelas lengkap dengan papan tulis. Sekolah itulah Madrasah Tarbiyah
Hasanah. Jangan tuan menyangka bahwa madrasah saat itu seperti madrasah zaman
sekarang, tidak, namun madrasah saat itu ialah sepadan dengan pondok pesantren
di Jawa, belajar kitab kuning, urangsiak yang mukim, dan pimpinannya seorang
syekh yang kharismatik.
Untuk
menunjang pelajaran pada madrasah itu, di samping menggunakan kitab-kitab
kuning klasik, Syekh Abdul Latif juga mengarang kitab-kitab yang menjadi
pegangan urangsiak. Kitab-kitab itu diterbitkan di berbagai percetakan di
Bukittinggi. Di antara karangannya itu ialah kitab Sullam al-Arab ila Lughah
al-‘Arab, kitab yang akan kita deskripsikan kali ini.
Sullam al-Arab ila Lughah
al-‘Arab
Lebih
dari 10 tahun di Mekkah membuat Syekh Abdul Latif sangat mahir dalam Bahasa
Arab, apakah yang Fushah atau Ammiyah. Kemahiran ini umum dimiliki oleh
ulama-ulama waktu itu. Terdorong untuk memasyarakatkan Bahasa Arab, Syekh Abdul
Latif Syakur menjadikan keaktifan berbahasa menjadi unggulan di Madrasah
Tarbiyah Hasanah, madrasah yang ia bina itu. Anehnya ia bukan hanya mengajar
Arab Fushah namun juga Ammiyah, suatu yang bisa dikatakan tidak ada pada waktu
itu. Atas motivasi apa ia memunculkan ide yang tak terpikirkan ini? Kita dapat
menebak bahwasanya Bahasa Ammiyah yang ia ajarkan diharapkan mampu membantu
murid-muridnya berkomunikasi dengan masyarakat Arab di Mekkah nanti, pendek
kata ia ingin murid-muridnya belajar agama di Mekkah, kota ilmu pengetahuan,
tempat bergumulkannya Bahasa Arab Fushah dan Bahasa Arab ‘Ammiyah.
Demi
menunjang pembelajarannya itu ia menulis Sullam al-Arab ila Lughah al-‘Arab,
kamus berisi kata-kata Arab Ammiyah populer lengkap dengan terjemahannya dalam
bahasa Minang huruf latin. Kamus ini terdiri dari dua jilid. Jilid pertama
ditulis pada tahun 1915, dan jilid kedua tahun 1918. Kitab ini kemudian dicetak
pada Mathba’ah Merapi Bukittinggi pada tahun 1920.
Foto: Sampul kitab Sullam al-Arab ila Lughah al-'Arab yang telah dimakan usia (Cetakan Drukkerij Merapi, 1920)
Foto: Salah satu halaman kitab Sullam al-Arab ila Lughah al-'Arab
Penulisan
kamus ini sudah dapat bilang cukup modern. Ia membagi pembahasan kamus ini ke
dalam dua sub, pertama mukaddimah dan kedua daftar kata-kata Ammiyah populer.
Pada mukaddimah, Syekh Abdul Latif Syakur memberikan panduan lengkap dalam
menggunakan kamusnya itu. Ia juga memberikan daftar tabel transliterasi yang ia
bakukan sendiri, sebab kamusnya itu selain berisi kata Arab juga transliterasi
kata-kata itu. Pada sub kedua, ia mendaftarkan ratusan kata Ammiyah lengkap
dengan terjemahan Minangnya. Inilah keunikan dari ulama yang satu ini.
Semoga
kita terpacu untuk berbenah, tuan!
Katapiang, Padang, 24
September 2014
Ditangan al-Faqir
Apria Putra