Kamis, 02 Oktober 2014

Sullam al-Arab ila Lughah al-‘Arab: Kamus Arab “Ammiyah-Minang” Pertama, Karya Syekh Abdul Latif Syakur Ampek Angkek (w. 1963)

Oleh: al-Faqir Apria Putra E. Mudo Khalis
 
Tuan-tuan jika ditanya tentang Kamus Arab-Melayu di masa awal-awal, tentu tuan akan dengan mudah menjawab: Kamus Idris Marbawi atau Kamus Zahabi-nya Mahmud Yunus. Tapi bila datang soal tentang Kamus Arab Ammiyah-Minang, tentunya sebagian besar akan menunjukkan ekspresi yang sama yaitu kerut di dahi tanda penasaran. Buat apa belajar Arab Ammiyah? Bukankah kitab-kitab pelajaran Agama semuanya ditulis dalam Bahasa Arab Fushah? 

Kehadapan tuan-tuan tentu akan dijelaskan terlebih dahulu, bahwasanya Bahasa Arab itu dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu (1) Arab Fushah, dan (2) Arab ‘Ammiyah. Arab Fushah ialah Bahasa Arab yang baku, sesuai dengan kaedah-kaedah gramatikal Arab, atau dengan tepatnya Bahasa Arab al-Qur’an. Bahasa Fushah inilah yang menjadi pengantar ilmu pengetahuan agama yang dipergunakan sejak dahulu, sejak al-Qur’an diturunkan hingga saat ini. Tuan tentu bisa menghitung berapa lama sudah itu. Sedangkan ‘Ammiyah ialah Bahasa Arab harian, kasarnya Bahasa Pasaran. Bahasa Arab jenis ini tidak terikat kuat dengan sintaksis Arab, elastis mengikuti zaman, dan berpeluang besar dipengaruhi oleh bahasa-bahasa lainnya. Bahasa jenis terakhir ini dipakai oleh masyarakat Arab sehari-hari.

Bagi orang yang bergelut dengan kitab-kitab standar tentunya tidak hajat mengetahui Bahasa Ammiyah, tapi bagi orang yang ingin mengadu untung sambil belajar Agama di negara Arab serta dapat berkomunikasi dengan orang Arab sehari-hari, maka Bahasa Ammiyah tentu dibutuhkan. Selama ini belum kita dengar lembaga pendidikan agama di zaman Belanda yang mengajarkan Bahasa Ammiyah. Tapi tuan mungkin salah, sebab salah satu sekolah agama yang berlokasi di Ampek Angkek telah menjadikan Bahasa Ammiyah menjadi salah satu pelajaran pokok. Sekolah agama itu ialah Madrasah Tarbiyah Hasanah, madrasah moderen yang berlokasi di Desa balai Gurah, Ampek Angkek, Agam. Deliar Noer dalam disertasinya yang masyhur itu, “Gerakan Mnoderen Islam”, menyebutkan bahwa madrasah ini merupakan sekolah agama moderen pertama di Minangkabau yang telah berdiri sebelum Madrasah Thawalib dan Madrasah Tarbiyah Islamiyah memaklumkan diri. Letak moderen itu ialah dari segi metode pembelajaran, adanya pelajaran umum, dan kelengkapan seperti papan tulis, bangku-meja, dan ruang kelas. Dari segi isi, tetap sebagaimana di surau-surau kebanyakan. Madrasah ini didirikan oleh tokoh ulama Ampek Angkek, yaitu Syekh Abdul Latif Syakur, seorang ulama besar, pengarang ulung, dan sosok pendidikan yang melampui zamannya.

Madrasah ini telah menggunakan rencana pembelajaran yang telah disusun rapi. Rencana itu ditulis oleh pimpinannya sendiri dalam sebuah buku khusus. Di dalam buku itulah diketahui aktivitas sang syekh dalam mengajar murid-muridnya, apakah kitab-kitab yang dipakai, jam pelajaran, dan guru-guru yang mengajar. Manuskrip catatan itu masih tersimpan rapi, dan menjadi satu bukti kemajuan berfikir ulama-ulama surau masa lalu.

Kitab-kitab yang dipakai di Madrasah Tarbiyah Hasanah antara lain kitab-kitab fiqih Syafi’iyah, seperti I’anah al-Thalibin dan Fathul Qarib. Selain itu buku pelajaran lain seperti hadis, muthala’ah, metode mengajar (Manahij al-ta’lim), dan Bahasa Arab ialah karangan Syekh Abdul Latif sendiri. Hal terakhir inilah yang menjadi gebrakan baru kala itu. Ia mengarang untuk mengajar, bukan untuk mencari keuntungan semata. Siapa Syekh Abdul Latif Syakur?

Syekh Abdul Latif Syakur: Dari Mekkah ke Minangkabau

Syekh Abdul Latif Abdus Syakur ialah nama sejatinya. Ia lahir di Balai Gurah, Ampek Angkek, pada paruh terakhir abad 19. Ketika usianya belum baligh ia telah ke Mekkah untuk belajar agama dan sekaligus menunaikan rukun Islam kelima. Selama di Mekkah ia belajar agama kepada ulama-ulama kenamaan ketika itu, seamsal Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Teman-temannya sesama di Mekkah ialah Syekh Sulaiman Arrasuli, Syekh Abdul Karim Amrullah, Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Ibrahim Musa Parabek, dan lain-lainnya. Cukup lama ia di Mekkah, tak kurang 12 tahun lamanya ia mukim menuntut ilmu di negeri itu. Pada awal abad 20, ia pulang ke kampung halamannya, Balai Gurah. Selain menyibukkan diri dengan mengajar, di kampung halamannya ia melakukan tugas dakwah yang begitu berat yaitu menyadarkan pelaku maksiat yang saat itu bersimaharaja. Ia melakukan dakwah yang santun, mendekati pelaku maksiat dengan rasa empati, sehingga lambat laun kampung halamannya berubah menjadi kampung urangsiak (kampung santri). Konon dari tutur orang tua-tua kita ketahui bahwasanya Syekh Abdul Latif Syakur menjalankan dakwahnya dengan sangat bijak. Ia tidak lantas mengatakan “haram” kepada pelaku maksiat, tapi ia dekati dengan lemah lembut; duduk bersama mereka dan memasukkan pelajaran agama dengan perlahan namun pasti. Itulah caranya yang bijak.

Pada awal abad 20 Syekh Abdul Latif Syakur mendirikan sekolah agama dengan sistem klasikal yang saat itu masih tabu. Ia beranjak dari halaqah surau menjadi sekolah berkelas lengkap dengan papan tulis. Sekolah itulah Madrasah Tarbiyah Hasanah. Jangan tuan menyangka bahwa madrasah saat itu seperti madrasah zaman sekarang, tidak, namun madrasah saat itu ialah sepadan dengan pondok pesantren di Jawa, belajar kitab kuning, urangsiak yang mukim, dan pimpinannya seorang syekh yang kharismatik. 

Untuk menunjang pelajaran pada madrasah itu, di samping menggunakan kitab-kitab kuning klasik, Syekh Abdul Latif juga mengarang kitab-kitab yang menjadi pegangan urangsiak. Kitab-kitab itu diterbitkan di berbagai percetakan di Bukittinggi. Di antara karangannya itu ialah kitab Sullam al-Arab ila Lughah al-‘Arab, kitab yang akan kita deskripsikan kali ini.

Sullam al-Arab ila Lughah al-‘Arab

Lebih dari 10 tahun di Mekkah membuat Syekh Abdul Latif sangat mahir dalam Bahasa Arab, apakah yang Fushah atau Ammiyah. Kemahiran ini umum dimiliki oleh ulama-ulama waktu itu. Terdorong untuk memasyarakatkan Bahasa Arab, Syekh Abdul Latif Syakur menjadikan keaktifan berbahasa menjadi unggulan di Madrasah Tarbiyah Hasanah, madrasah yang ia bina itu. Anehnya ia bukan hanya mengajar Arab Fushah namun juga Ammiyah, suatu yang bisa dikatakan tidak ada pada waktu itu. Atas motivasi apa ia memunculkan ide yang tak terpikirkan ini? Kita dapat menebak bahwasanya Bahasa Ammiyah yang ia ajarkan diharapkan mampu membantu murid-muridnya berkomunikasi dengan masyarakat Arab di Mekkah nanti, pendek kata ia ingin murid-muridnya belajar agama di Mekkah, kota ilmu pengetahuan, tempat bergumulkannya Bahasa Arab Fushah dan Bahasa Arab ‘Ammiyah.  

Demi menunjang pembelajarannya itu ia menulis Sullam al-Arab ila Lughah al-‘Arab, kamus berisi kata-kata Arab Ammiyah populer lengkap dengan terjemahannya dalam bahasa Minang huruf latin. Kamus ini terdiri dari dua jilid. Jilid pertama ditulis pada tahun 1915, dan jilid kedua tahun 1918. Kitab ini kemudian dicetak pada Mathba’ah Merapi Bukittinggi pada tahun 1920.


Foto: Sampul kitab Sullam al-Arab ila Lughah al-'Arab yang telah dimakan usia (Cetakan Drukkerij Merapi, 1920)
Foto: Salah satu halaman kitab Sullam al-Arab ila Lughah al-'Arab

Penulisan kamus ini sudah dapat bilang cukup modern. Ia membagi pembahasan kamus ini ke dalam dua sub, pertama mukaddimah dan kedua daftar kata-kata Ammiyah populer. Pada mukaddimah, Syekh Abdul Latif Syakur memberikan panduan lengkap dalam menggunakan kamusnya itu. Ia juga memberikan daftar tabel transliterasi yang ia bakukan sendiri, sebab kamusnya itu selain berisi kata Arab juga transliterasi kata-kata itu. Pada sub kedua, ia mendaftarkan ratusan kata Ammiyah lengkap dengan terjemahan Minangnya. Inilah keunikan dari ulama yang satu ini.

Semoga kita terpacu untuk berbenah, tuan!

Katapiang, Padang, 24 September 2014
Ditangan al-Faqir Apria Putra