Oleh: al-Faqir Apria Putra
Ditulis berdasarkan kunjungan ke Sungai Batang Maninjau; menelusuri karya-karya tulis, surau dan makam Syekh Amrullah Maninjau, Februari 2013.
Ulama-ulama Maninjau
Jika mendengar kata Maninjau, seseorang tentu akan teringat dengan keindahan Danau Maninjau yang mempesona itu. Pesona Maninjau telah menggaet pelancong-pelancong alam dari berbagai belahan daerah, bahkan dari mancanegara. Barangkali orang-orang akan melihat dan mengenang sisi eksotik danau ini saja, tanpa melihat sisi lain yang membuat nama daerah Maninjau menjadi terkenal seantero negeri. Sisi yang terlupakan; dan hanya dikenang segelintir akademisi, ialah keadaan sosial keagamaan di Maninjau. Jauh sebelum menjadi pusat wisata sebagaimana yang disaksikan saat ini, Maninjau adalah salah satu pusat keilmuan Islam di Minangkabau.
Ketenaran Maninjau sebagai pusat keagamaan dapat kita lihat dari jejak rekam aktifitas intelektual di abad-abad yang lalu. Sejak abad XIX telah tercatat nama ulama Maninjau yang mempunyai pengaruh besar di Pedalaman Minangkabau. Begitu juga paruh pertama abad XX. Keadaan itu dirasa sangat kontras ketika memasuki milenium baru. Beberapa pusat keilmuan masa lalu yang tertulis dengan tinta emas dalam sejarah itu banyak menjadi puing. Hal ini tentu tidak disesalkan, sebab pergeseran nilai dengan masuknya pengaruh weternisasi dan modernisasi yang membadai; yang tak ayal menjadi salah satu ancaman bagi agama dan kearifan lokal setempat.
Di abad XIX dikenal tokoh ulama yang berpengaruh luas, antara lain Syekh Abdussamad Maninjau, Syekh Abdullah Koto Baru Maninjau, dan Syekh Amrullah Maninjau. Sedangkan di abad XX terdapat nama-nama antara lain Syekh Muhammad Salim Bayur Maninjau, Syekh Abu Bakar Maninjau, Syekh Hasan Bashri Maninjau dan Syekh Abdul Karim Amrullah Maninjau. Aktifitas yang menjadi prestasi dalam bidang keagamaan ulama-ulama Maninjau tersebut bukan hanya mengajar, namun mereka juga berperan dalam mendirikan lembaga pendidikan, seperti surau dan madrasah. Lebih dari itu beberapa di antara mereka juga menerbitkan jurnal (majalah), seperti Syekh Hasan Basri yang tercatat sebagai redaktur Majalah al-Mizan yang terbit di Maninjau (sebelum terbit di Bukittinggi). Selain itu di Maninjau juga didirikan penerbit dan pencetak kitab-kitab keagamaan, antara lain Syarikat al-Ihsan Maninjau. Sayang, sebagian besar dari hasil tangan ulama-ulama itu hanya tinggal cerita.
Foto: Mesjid Syekh Amrullah Maninjau yang telah dipugar (2013)
Dalam artikel pendek ini, kita akan melihat sekilas tentang Syekh Amrullah, ulama besar Maninjau abad XIX. Selain meninjau tentang kehidupannya, kita sigi juga beberapa tulisan yang sempat terselamatkan dari ulama yang satu ini.
Syekh Amrullah: Ikon Jaringan Ulama Minangkabau abad XIX
Syekh Amrullah lahir pada permulaan bulan Rajab 1256. Hamka, berdasarkan penjelasan ayahnya, bercerita tentang riwayat datuknya itu (Dalam buku “Ayahku”, hal. 40-51). Menurut riwayat yang diuraikannya itu, Syekh Amrullah, lengkapnya Syekh Muhammad Amrullah, ialah keturunan dari ulama-ulama terkemuka. Ayahnya ialah Syekh Muhammad Shaleh yang digelari dengan “Tuanku Syekh Guguk Katur”, seorang ulama sufi yang terkemuka. Konon, beliau hafal kitab Hikam karangan Syekh Atha’illah al-Sukadari yang masyhur itu. Sedangkan neneknya ialah Tuanku nan Tuo Ampek Koto, atau yang dikenal dengan “Tuanku Pariaman”. Beliau ialah salah seorang ulama Syattariyah. Muridnya ialah Tuanku Sutan, guru dari Tuanku Aluma Koto Tuo. Tuanku Aluma (w. 1963) ialah ulama besar Syattariyah abad XX.
Dari jalur keturunan, jelas bahasa Syekh Amrullah lahir dari lingkungan ulama. Lingkungan keluarga ini membawa dampak dalam perkembangan Syekh Amrullah di masa kecilnya. Di usia yang masih terbilang belia, Syekh Amrullah telah belajar al-Qur’an dengan ayahnya. Di tahun 1853, ia dibawa ayahnya itu menemui neneknya di Ampek Koto, untuk melanjutkan pelajaran agama. Di Ampek Koto, Syekh Amrullah sama-sama belajar dengan Syekh Tuanku Sutan.
Pada tahun 1864, Syekh Amrullah kembali ke kampung halamannya. Beliau telah menerima ijazah dari neneknya, Tuanku nan Tuo, sebagai tanda bahwa keilmuannya telah diakui. Di Maninjau, berdasarkan kesepakatan tokoh-tokoh adat dan agama, Syekh Amrullah diberi gelar dengan “Tuanku Kisa’i” dengan sebuah perhelatan cukup besar. Konon, gelar “Tuanku Kisa’i” itu dilekatkan karena Syekh Amrullah hafal al-Qur’an. Al-Kisa’i adalah nama seorang ahli Qira’at al-Qur’an yang muktabar.
Tak berapa lama setelah itu, Syekh Amrullah berangkat ke Makkah. Di sana beliau, di samping ber-haji, juga belajar kepada ulama-ulama terkemuka, seperti Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dan Syekh Muhammad Hasbullah. Cukup lama beliau bermukim di Makkah, kabarnya bertahun-tahun.
Setelah itu, Syekh Amrullah kembali ke kampung halamannya dan berkhitmat mengajar agama. Setelah kepulangannya itu, namanya semakin harum dikalangan penuntut-penuntut ilmu. Seiring kemasyhurannya, ia diundang ke berbagai daerah untuk mengajar agama, antara lain ke Sungai Landai, Koto Tuo, Banuhampu, Kapas Panji dan daerah-daerah lainnya. Kabarnya, dalam mengunjungi daerah-daerah itu beliau tidak berjalan, malah ditandu oleh murid-muridnya; sebagai alamat bahasa beliau ialah seorang ulama yang sangat dihormati.
Foto: Makam Syekh Amrullah Tuanku Kisa'i Maninjau
Selain terkemuka sebagai ulama yang mahir dalam ilmu al-Qur’an, Syekh Amrullah juga masyhur selaku ulama besar Tarekat Naqsyabandiyah. Namun, sampai saat ini belum ditemui informasi gurunya dalam tarekat ini, padahal Syekh nan Tuo ialah tokoh Syattariyah, dan berdebatan Syattariyah versus Naqsyabandiyah masih hangat saat itu.
Berdasarkan runut jaringan intelektual ulama Minangkabau, Syekh Amrullah termasuk jaringan inti di abad XIX. Ia telah mendidik beberapa ulama yang kemudian berperan dalam jaringan ulama setelahnya. Salah satu ulama besar hasil didikannya ialah Syekh Abbas Qadhi Ladang Laweh, salah seorang ulama besar, pimpinan Ittihad Ulama Sumatera dan sesepuh Persatuan Tarbiyah Islamiyah.
Tulisan Tangan Syekh Amrullah Maninjau
Tak banyak karya dan tulisan Syekh Amrullah yang dapat kita temui saat ini. Meskipun dua generasi setelahnya, yaitu Syekh Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dan Hamka, adalah ulama yang sangat menghargai buku dan kitab, namun hanya satu dua saja yang terselamatkan. Itupun wakaf orang kepadanya. Berikut adalah hasil fotografi kitab-kitab tulisan tangan Syekh Amrullah tersebut:
Foto: Tulisan tangan Syekh Amrullah-1.
Foto: Tulisan tangan Syekh Amrullah-2
al-Faqir al-Haqir Apria Putra
Dalam khalwat yang hening, Jakarta.