Jumat, 18 Maret 2011

Sebuah Catatan bagi mereka yang mengingkari penghulu-penghulu Naqsyabandiyah: Satu Kesaksian Sejarah, Kehalusan Pesan dan Cerminan “Raso” dari Luak Limopuluah

Oleh: Apria Putra

Tersebut dalam sejarah, bahwa keberadaan Tarikat Naqsyabandiyah di Minangkabau mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan Islam di ranah ini. Dia adalah amalan ulama-ulama besar sejak dahulu kala, bukan hanya di Minangkabau ini, di Sumatera, bahkan di Indonesia ini. mereka –ulama- silam itu, disamping zahir ‘alim bersyari’at, mereka juga bertarikat, mereka memakai dua sayap, lahia dan batin, masyhur berpakaian dengan pakaian Naqsyabandi. Itulah kaji ulama-ulama Ahlussunnah di negeri gudang ulama ini. orang-orang yang mengenal sejarah tentu tak akan memungkiri betapa besar jasa ulama-ulama yang nota bene-nya Ahli Tarikat Sufiyah itu, apakah dalam penyebaran Islam atau perjuangan melawan penjajah.
Maka dialah intan berlian yang tersisa dari ulama-ulama silam, lukluk marjan pusaka orang-orang alim saisuak, yang terus diwarisi dan dipakai, hingga orang-orang luar kagum ketika memasuki Luak nan Bungsu, sebab masyarakatnya ramah dan santun, dan satu sebabnya, disamping alam geografis yang membentuk watak itu, ialah karena cahaya kulimah diwajah mereka, sebab mereka orang-orang Naqsyabandiyah.
Sungguh saya tak mampu menguraikan “Naqsyabandi” yang ibarat samudera itu kehariban tuan-tuan, sebab “Naqsyabandiyah” satu coraknya bukanlah salah satu dari ilmu suthur, tapi dialah ilmu shudur. Sungguh saya takkan menguraikan yang “Batin” itu dalam kertas yang kecil ini, sebab kertas ini takkan mampu membendung luasnya lautan Tasawwuf yang tersimpan dalam mutiara Naqsyabandiyah. Pun saya ini barulah orang awam bekala, alim bukan, ulama tidak, ilmu bintang-bintangan, jo adat ambo mangapalang, jo syarak jauah sakali. Namun karena soal ini suatu yang penting, yang telah pula menggoncangkan alam Minangkabau diawal abad ke-20, maka perlu pula menulis ini kehadapan tuan-tuan yang dipercaya selaku pemutus “kato syara’” dalam Luak nan Bungsu ini.
Saya takkan mengurai “Tarikat”, semua telah jelas tertulis dalam kitab-kitab mu’tamad yang dipakai sejak ratusan tahun yang lalu. Sebutlah semisal kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam al-Ghazali yang terkemuka, Jami’ul Ushul fil Auliya’ karangan Syekh Ahmad al-Khamaskhanawi an-Naqsyabandi, Risalah Qusyairiyah buah tangan Imam al-Qusyairi dan banyak lagi lainnya, beratus-ratus judul dapat kita sebutkan. Namun yang yang menjadi masalah, yang akan menguraikan kitab itu siapa lagi??? Mau dibaca saja, maka bersya’irlah orang-orang alim:
من يأخذ العلم من شيخ مشافهة يكن عن الزيغ و التصحيف فى حرم
و من يكن آخذا للعلم من صحف فـــــعلمه عند أهل العلم كالعدم

Berpendidikan Mesir-pun belumkan lagi menjadi jaminan buat membaca dan menguraikan karya-karya besar itu. Wajar bila tampak keanehan, sebagai tradisi Islam di Minang ini, lantas kontan mengata Bid’ah, khurafat dan Tahayyul.
Dan “Tarikat” itu bukanlah satu aliran faham sebagai banyak diungkap saat ini, niscaya kelirulah mereka. Sebab “Tarikat” merupakan satu pengamalan dan jalan kearifan Tasawwuf, yangmana kajiannya ialah perkara membersihkan hati. Tasawwuf merupakan 3 serangkai kajian Islam yang paling inti, disamping Fiqih dan Tauhid. Satu antara 3 hal tersebut tidak terpisahkan, jika kurang satu maka takkan sempurna, begitu ulama-ulama kita telah mengisyaratkannya.
Islam masuk ke Minangkabau jelas dengan membawa unsur Tasawwuf yang kental lewat balutan Tarikat-tarikat ahli Sufi. Apakah itu Tarikat Syathariyah, Tarikat Samaniyah maupun Tarikat Naqsyabandiyah. Dan Luak Limopuluah merupakan salah satu basis Tarikat, khususnya Tarikat Naqsyabandiyah, yang terpadat bukan hanya di Minangkabau, namun juga di dataran Melayu ini. ulama-ulamanya masyhur terbilang lewat surau-surau yang tumbuh menjamur dengan ribuan orang Siak yang datang silih berganti. Mereka bukan hanya ahli dalam syari’at belaka, disamping itu mereka melengkapi diri dengan Tasawwuf ber-Tarikat Naqsyabandiyah. Maka berdirilah ratusan Surau Suluk yang besar-besar kala itu. Bila disebut kampar sebagai negeri “Seribu Suluk”, maka boleh dikata Luak nan Bungsu adalah adiknya. Begitulah perihal jalan agama waktu itu. Semua satu, semua sama bersyafi’i dan sama berpakaian Naqsyabandiyah.
Kemudian ada orang yang berteori, bahwasanya arus pembaharuan ala Paderi telah menghanyutkan sendi-sendi pengamalan Tarekat di Minangkabau. Maka hal demikian keliru, sebab, meskipun Paderi membawa semangat Wahabi ke Minang lewat 3 Haji itu, namun mereka sekali-kali mereka tidak merubah jalan agama di kampung ini. malah mereka adalah orang-orang kuat ber-Tasawwuf dan ber-Tharikat. Sebutlah Tuanku nan Renceh, Tuanku Pamansiangan nan Mudo, Syekh Jalaluddin Cangkiang, begitupula Harimau nan Salapan itu merupakan murid-murid terutama Tuanku nan Tuo, ulama besar yang memakai jalan Syathariyah.
Sungguh takkan cukup kertas ini menulis nama siapa-siapa saja Ulama besar Luak nan Bungsu ini yang alim dan terkemuka Sufi-nya itu dalam secarik kertas ini. saya kira tuan-tuan sudilah mencari arsip-arsip lama itu buat mengetahui jejak rekam Islam di Minangkabau, sebagai tempat kita bercermin.
Barulah pada awal abad ke-20 muncul gelombang pergolakan agama, sebagai disebut oleh Prof. Schrieke, dimana timbul pertentangan Kaum Muda dan Kaum Tua di Minangkabau. Semuanya terekam jelas dalam berbagai Bibliografi. Seorang Mufti Syafi’iyyah di Mekkah beliau bernama Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (w. 1916) menulis sebuah risalah yang menghebohkan Minangkabau, berikut dunia Melayu. Risalah itu berjudul Izhharuz Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bis Shadiqin, dimana didalam risalah itu dipertanyakanlah tentang Tarikat Naqsyabandiyah, khususnya mengenai Rabithah. Risalah itu tersebar di Minangkabau dikontribusikan oleh Murid-muridnya yang telah banyak terkontaminasi oleh Faham Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha (pengarang Majalah Modernisasi terkemuka “al-Manar”) sepertihalnya beliau. Kitab itu terdiri dari 144 halaman (terbitan at-Taqdum Ilmiyah Mesir, 1908). Dalam Muqaddimah-nya, disebutkan bahwa beliau membahas 5 masalah dalam Tarikat Naqsyabandiyah. Mulai saat itu mulailah perang dingin itu muncul, satu keras berfaham baru dan satu istiqamah dengan faham ulama silam. Namun hal itu dapat dipertahankan oleh ulama-ulama Minangkabau kala itu, antara lain yang Mulia Syekh Muhammad Sa’ad “Beliau Surau Baru” Mungka Tuo (w. 1922) dan Syekh Khatib Muhammad ‘Ali al-Fadani (w. 1939). Yang Mulia Syekh Sa’ad, yang terkemuka selaku Syaikh Masyaikh (guru sekalian guru) ulama Minangkabau itu dan juga selaku pimpinan Ittihat Ulama Sumatera (Persatuan Ulama Sumatera) , menulis risalah yang terkenal yaitu Irghamu Unufil Muta’annitin fi Inkarihim Rabithatal Washilin (Meremukkan Hidung Penantang, mereka yang membatalkan rabithah orang-orang yang telah sampai kepada Allah). Diawal risalah itu beliau berujar:
(Setelah Basmallah dan Hamdalah serta shalawat)
Tatakala di thaba’ orang kitab izhar Zaghlil Kazibin dan masyhurlah sikatib negeri Minangkabau, gaduhlah orang awam dan caci mencaci mereka itu, hingga mengkafirkan setengah mereka itu mereka yang lain orang yang ditetapkan oleh Allah hatinya atas yang haq. Dan demikian itu dengan sebab tersebut di dalam kitab izhar tersebut menyerupakan orang yang pakai rabithah dengan orang yang menyembah berhala dan di datangkan beberapa dalil dari pada al-Qur’an dan hadist dan kalam sahabat dan ulama sufiyah. Maka dengan sebab itu memintalah dari pada al-haqir Muhammad Sa’ad bin Tanta’ Mungka Tuo setengah dari pada ikhwan dari pada ahlus shalah bahwa menyebutkan al-Haqir akan wajah bagi penguatkan segala dalil rabithah dan bagi penolakkan segala wajah membatalkan rabithah dan pemasukkan amalan Tarikat Naqsyabandiyah kepada syari’at, supaya jangan terlonsong dan terkecuh orang-orang yang tiada kuasa menfahamkan dalil….
Sedangkan Syekh Khatib ‘Ali menulis kitab Burhanul Haq Raddu ‘ala Tsamaniyah al-masail al-Jawab min Su’alis Sa’il al-Qathi’ah al-Waqi’ah Ghayatut Taqrib (cetakan Pulo Bomer-Padang, 1918), berikut kitab Miftahul Shadiqiyyah fi Ihtilahin Naqsyabandiyah (terjemahan karya Syekh Abdul Ghani an-Nablusi). Beliau lebih kuat lagi pertahanannya, sebab beliau pernah merekomendasi keputusan “14 orang oelama Radd tinggi di Mekah” (1924) yang kala itu dipimpin oleh mufti Sayyid Abdullah bin Sayyid Muhammad Shaleh az-Zawawi. Kemudian muncul lagi apologetis Syekh Muhammad Dalil Bayang (w. 1923) yaitu kitab Targhub ila Rahmatillah.
Meski kemudian Syekh Ahmad Khatib menulis lagi risalah kedua beliau tentang Tarikat Naqsyabandiyah, yaitu al-Ayatul Bayyinat lil Munshifin fi Izalati Khurafat Ba’di Muta’ashisibin. Dimana di dalamnya dibahas panjang lebar mengenai i’tiradh bantahan Syekh Muhammad Sa’ad tersebut. Tak berselang lama, Syekh Muhammad Sa’ad melayangkan lagi penanya yang kedua, berjudul Risalah Tanbihul Awam ‘ala Taghrirat Ba’dhil Anam, sehingga mematahkan kalam Syekh Ahmad Khatib. Dengan syukur Syekh Sa’ad berujar:
Maka terbujuklah dengan dia setengah segala hati yang pecah-pecah wal hamdulillah ‘ala dzalika.
Setelah dua ulama ini kembali akrab, saat lama berpolemik. Maka yang membuat panjang masalah ialah murid-murid Syekh Ahmad Khatib, seumpama DR. Abdul Karim Amarullah (ayah Hamka) , DR. Abdullah Ahmad Padang (pendiri Adabiyah School) dan lainnya. Mereka menulis surat kabar untuk menyambung ide-ide pembaharuan itu di Padang, dengan nama “Majalah al-Munir” (senada dengan al-Manar di Mesir). Lalu kemudian diramaikan oleh Syekh Muhammad Jamil Jambek dengan buku Penerangan tentang asal Usul Tarikat Naqsyabandiyah (2 jilid, terbitan Tsamaratul Ikhwan Bukittinggi, 1940), dengan nada bantahan yang moderat.
Begitulah halnya kaum muda di Minangkabau, yang mencoba menanggalkan amal Tarikat di pulau perca ini. kemudian pada tahun 1925, masuk Muhammadiyah ke Minangkabau (kantor perwakilan pertamanya di Sungai Batang Maninjau), dibawa oleh ayah Hamka ytb. Sehingga pertentangn semakin alot, kemudian disusul dengan pembentukan “Sumatera Thawalib” di Padang Panjang, yang mempunyai pendirian radikal terhadap Tarikat.
Meski begitu, benteng telahpun terpasang, ulama-ulama Minangkabau lainnya terus membendung arus perubahan tersebut. Maka terkemukalah nama-nama seperti Maulana Syekh Sulaiman ar-Rasuli (w. 1970) yang mengarang berbagai risalah tentang Naqsyabandiyah, satunya yang terkemuka ialah Risalah Aqwalul Washithah fi Zikri wa Rabithah; kemudian Syekh Abbas Qadhi Ladang Laweh, Syekh Arifin Batu Hampar, kemudian Syekh Abdul Wahid “Beliau Tabek Gadang” Payakumbuh, dan banyak lagi lainnya. Dan Syekh Bayang sendiri, dengan untaian sya’ir-nya Darul Mau’izhah:
………
Nama nazham ini Darul Mau’izhah
Artinya pengajaran yang amat indah
Karena pemutusan hajat fitnah
Kepada ahli naqsyabandiyah

Karangan saya faqir yang ummi
Taqshir dan lalai sepanjang hari
Muhammad Dalil hamba haqiri
Nama ayahnya Muhammad Fatawi

Mula adanya di negeri Bayang
Sekarang ini di negeri Bayang
Di belakang mesjid tempatnya terang
Demikian lagi di pasar Gadang

Dosanya banyak tidak terhinggakan
Jikalau ada tuan kasihan
Tuan tolonglah minta ampunkan
Kepada Allah Tuhan ar-Rahman

Muhammad Shaleh bin Muhammad Saman
Di Alahan Panjang duduk kediaman
Nazham ini sungguhan betulkan
Patut sekali tuan amalkan

Ambillah nazham coba muthala’ah
Supaya nafsu jangan melengah
Nazham tarekat Naqsyabandiyah
Nyatalah suci sempurna jelah

Manalah tuan yang baik hati
Mana yang salah boleh baiki
Saya mengaku bukan ahli
Belumlah patut mengarang ini

Kalau mufakat kitab dan Sunnah
Muthabaqah pula dengan waqi’ah
Semua itu karunia Allah
Mengucap syukur alhamdulillah

Jikalau tuan menaruh dengki
Tuan membaca berhati benci
Tuan melengah kanan dan kiri
Mencari ikhtiar serta budi

Di mana orang ada menyalahkan
Nomor berapa ia sebutkan
Ambillah dawat lekas tuliskan
Ke dalam Koran boleh masukkan

Fasal tarekat Naqsyabandiyah
Asal mulanya dari Allah
Jibril membawa kepada Rasulullah
Dengan wahyunya azzal jalalah

Kemudian turun ke Abu Bakari
Sudah itu ke Salman al-Farisi
Sampai sekarang tali bertali
Dengan silsilahnya terang sekali

Jikalau tuan mau bertanya
Kalau tarekat ini Abu Bakar punya
Patut turun kepada anaknya
Mengapa kepada Salman tempat turunnya

Ini jawabnya yang amat indah
Anak Nabi Siti Fathimah
Patutlah ia jadi Khalifah
Menggantikan Nabi Rasul ar-Rahmah

Mengapa Abu Bakar khalifah Nabi
Diizinkan Allah Tuhan Ilahi
Dengan sepakat segala ashabi
Wallahu yakhtasshu bi Rahmatihi man Yasya’

Artinya Allah Ta’ala yang menentukan
Dengan rahmat-Nya buat yang dikehendakkan
Patut sekali kita benarkan
Demikianlah sebab hamba katakan
………

Dilanjutkan oleh wadah kaum Tua, Persatuan Tabiyah Islamiyah, 1930. begitulah adanya pergolakan agama, yang pernah diabadikan sejarawahan, entah negeri kita ataupun para intelek belanda. Hingga kini corak Tasawwuf itu, masih seperti dulu, tiadakan bertukar. Dan sayapun menemui satu scrit di akhir tahun lalu, tepatnya di Kutubkhannah Dr. Abdul Karim Amrullah, Sungai Batang Maninjau, perihal ijazah Tarikat ‘Alawiyah dan Hadadiyah yang diterima Inyiak rasul itu dari ayahnya Syekh Amrullah Tuanku Kisa’i al-Khalidi Naqsyabandi ad-Danawi.
Setelah masa pergolakan itu, kedua kelompok kemudian hidup berdamping, meski perang dingin pernah pula terjadi, namun tidak lagi meluas. Untuk kemudian, kehidupan “Tarikat” tetap berkembang di alam Minangkabau ini, bahkan menurut catatan-catatan peneliti meningkat dari tahun ke tahun. Dari dulu tetap menjadi kekhasan Islam di Minangkabau, dan pulau-pulau nusantara ini. semuanya terekam jelas, sebagai diurai oleh Wan Shaghir Abdullah, si-“Manuskript berjalan dunia Melayu” itu, juga dibeberkan oleh Prof. Aboe Bakar Aceh.
Untuk selanjutnya, para alim kita telahpun mengelompokkan Tarikat ke dalam 2 kategori besar, yaitu [satu] Tarikat Mu’tabarah (diakui), dan [dua] Tarikat ghair mu’tabarah. Saya tidak akan memperpanjang kalam dalam ini. dari Tarikat Mu’tabarah, disebutkan sebanyak 41 Tarikat yang diakui, memiliki sanad yang mu’an’an kepada Rasulullah dan pengamalannya tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Yaitu:
1. Umariyah
2. Naqsyabandiyah
3. Qadiriyah
4. Syaziliyah
5. Rifa’iyah
6. Ahmadiyah
7. Dasuqiyah
8. Akbariyah
9. Maulawiyah
10. Kubrawiyah
11. Sahrawardiyah
12. Khalwatiyah
13. Jalwatiyah
14. Bakdasyiyah
15. Ghazaliyah
16. Rumiyah
17. Sa’diyah
18. Gistiyah
19. Sya’baniyah
20. Kalsyaniyah
21. Hamzawiyah
22. Bairumiyah 23. Usysyaqiyah
24. Bakriyah
25. Idrusiyah
26. Ustmaniyah
27. Alawiyah
28. Abbasyiyah
29. Zainiyyah
30. Isawiyah
31. Buhuriyah
32. Hadadiyah
33. Ghaibiyah
34. Khadhiriyah
35. Syathariyah
36. Bayumiyyah
37. Malamiyyah
38. Uwaisyiyah
39. Idriyyah
40. Akabiral Auliyah
41. Matbuliyyah
42. Sunbuliyah
43. Tijaniyah
44. Samaniyyah
Begitulah perihal Tarikat-tarikat Sufiyah dikalangan penghulu kita Ahlis Sunnah wal Jama’ah, begitulah amalan ulama-ulama di Pulau perca ini, nusantara umumnya. Untuk dunia melayu, khusus di Minangkabau setidaknya ada tiga kearifan Tasawwuf yang berkembang pesat, yaitu Syathariyah, Naqsyabandiyah dan Samaniyah. Lebih khusus lagi di ranah Luak nan Bungsu ini, yang paling berkembang pesat ialah Tarikat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Adanya penambahan nisbah “al-Khalidiyah” mengiringi “Naqsyabandiyah” merupakan nama yang melekat setelah masa silsilah ke-30 dari Rasulullah, yaitu dimasa Maulana Syekh Khalid Kurdi. Periodesasinya ialah:
1. Dimasa Sayyidina Abu Bakar Shidiq ra. Hingga masa Syaikh Taifuriyah dinamai dengan Shidiqiyah
2. Dari masa Syekh Taifuriyah hingga masa Khawajah Syekh Abdul Khaliq Fajduani dinamai dengan Taifuriyyah
3. Periode Syekh Abdul Khaliq hingga Syekh Bahauddin al-Bukhari dinamai dengan Khawajakaniyah
4. Masa Syekh Bahauddin al-Bukhari hingga Syekh Ubaidullah Ahrar dinamai dengan Naqsyabandiyah
5. Masa Syekh Ubaidullah hingga Imam Robbani dinamai dengan Ahrariyyah
6. Darimasa Imam Robbani hingga Maulana Syekh Khalid dinamai dengan Mujaddidiyah
7. Dimasa Maulana Syekh Khalid hingga saat sekarang ini dinamai dengan al-Khalidiyah
Sejak masa Maulana Syekh Khalid inilah dinamai dengan al-Khalidiyah, lengkapnya dibaca “Tarikat Naqsyabandiyah al-Ahrariyah al-Mujaddidiyah al-Khalidiyah”, lebih lazim disebut dengan “Tarikat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah”. Dan inilah yang berkembang pesat di Bumi nan Permai ini, Minangkabau.
Itulah sekilas yang saya sebutkan mengenai “Tarikat” ulama-ulama kita tersebut, lebih dalam secara tafshili niscaya tiada mampu saya menguraikan.
Adalah suatu kerinduan bila kesejukan tetap ada di Luak Limopuluah ini, ranah yang sering saya rindui di perantauan, yang masih belum terkuak keajaiban-keajaiban yang ada di negeri kita ini. harapannya orang-orang yang telah terlanjur buruk sangka kepada Tarikat dapat arif bertindak, menimbang dengan ilmu dan bertanya pada ahli-nya. Sebab kadang kala orang buta sering mengatakan matahari itu tak ada. Apatah lagi sekarang, ulama-ulama tempat bertanya telah banyak berpulang kerahmatullah, surau-surau sudah hampir lapuk dan roboh, orang-orang tak ber-himmah lagi belajar agama dengan semantap-mantapnya. Sedang orang ramai hanya seperti orang nan diasak jalannyo, kaji lah diubah pakiah singgah, cupaklah acok dipapek rang manggaleh. Pantas saja mutiara telah dianggap batu biasa, kerisik sudah dianggap sebagai sutera. Dan jika itu terjadi, maka Luak nan Bungsu, dalamnyo akan tajangkau, dangkanyo ka tasubarangi, dan Buayo Gadang itu takkan lagi maunikan kampuang kito.
Jikalaupun ditangan kita ada kitab-kitab yang disurukkan itu, seumpama risalah-risalah yang “DALAM” karya Syekh Mudo Abdul Qadim (w. 1957) yang masyhur terbilang namanya dengan “Baliau Balubuih” itu, atau dapat membeli kitab al-Bahjatus Saniyyah fi Adabit Tariqatil Aliyah an-Naqsyabandiyah, atau Majmu’atur Rasa’il fi Ushulin Naqsyabandiyyah al-Mujaddi al-Khalidiyah karya Syekh Sulaiman Zuhdi yang sangat langka itu, ataupun mampu memperoleh kitab-kitab Tarikat yang sengaja disembunyikan itu, niscaya kita takkan faham maksudnya, sehingga akan kita ungkap saja “kitab apa pula ini???”, jikalau tanpa seorang guru yang alim allamah, yang terbilang silsilahnya dalam Tarikat Naqsyabandiyah. Sebab kato mereka basingkek-singkek, rundingan bamisa baumpamo, dibaliak tasurek ado nan Tasirek… mencakup Balaghah, lengkap bayan ma’ani badi’ dalam setiap ungkapannya.
Begitupula perihal rabithah yang terpakai pada sisi Tarikat Naqsyabandiyah, tiadakan memperoleh faham kalau hanya membaca buku saja, apatah lagi membaca buku yang bukan dikarang oleh si-ahli-nya. Dia mesti berhadap-hadapan dengan ulama-ulama yang “dalam” fahamnya mengenai hal tersebut. Perlu diketahui, beliau-beliau itu masih ada, namun beliau-beliau tinggal di dusun-dusun terpencil, jauh dari hiruk pikuk kota nan memusingkan. Beliau-beliau hidup selaku petani, orang biasa tiadakan tau kalau mereka adalam alim-nya. Untuk perkara rabithah yang musykil ini, maka hendaklah bertanya kepada ulama-ulama mumpuni.
Minggu, 27 Februari 2011, merupakan satu angin kesejukan bagi saya pribadi. Tepatnya di negeri yang sejuk, Koto Tangah – Kec. Bukik Barisan diadakan wirid bulanan oleh “Wirid Silaturahmi Sumatera Barat”. Dihadiri oleh tamu istimewa, Tuanku Raja Besar dari Negeri Sembilan – Malaysia, diiringin Wakil Bupati, dan diikuti oleh ribuan jama’ah yang bukan hanya datang dari Limapuluh kota, namun juga dari Agam, dimana kebanyakan beliau yang hadir ialah para Syekh dan Khalifah dari Tarikah Ahli Sufi yang ada di Minangkabau, apakah Naqsyabandiyah atau Sammaniyyah. Tuanku Raja Besar naik ke panggung, beliau membacakan sekilah hubungan kerabat antara Negeri Sembilan dengan Luak Limopuluah, disebutkan nama seorang ulama yang menjadi moyangnya yaitu Syekh Abdurrahman, teman dari Syekh Burhanuddin Ulakan. Rupanya beliau keturunan Sufi-sufi besar Minangkabau, ungkapku. Kemudian disambung pembicara Wakil Bupati, ketika sampai membicarakan faham Tarikat yang gencar-gencarnya dibicarakan itu, saya lihat para Tuanku dan Syekh tersimpul manis, entah apa gerangan yang mereka senyumkan. Kemudian tampil Buya Mangkuto Malin dari Sungai Beringin, mengupas Naqsyabandiyah dengan “dalam” dan berbekas, hingga hampir air mataku menganak sungai, haru. Saya hanya penonton luar lapangan, menyaksikan alim-alim itu duduk tenang berselimut khirqah. Andai saya adalah satu antara mereka, niscaya saya akan jahit mulut-mulut yang mengingkari “Tarikat” ini dengan kalam yang tajam. Namun saya memang terburu nafsu, mereka, para Tuanku Syaikh itu bukanlah termasuk orang yang suka memuncak bila kemafsadatan terhadap kaji lama itu marak, mereka masih senyum dan sabar dengan suasana yang ada. Ku ingat dalam Ijazah tertulis: “Jikalaulah Mereka atas Nama Tarikat, niscaya akan Kami tuangi dengan air Mata Ma’rifat”.
Demikianlah halnya yang dapat saya ungkap dalam surat yang sederhana ini, kehadapan ulama-ulama supaya Arif dan Bijaksana. Janganlah nila setetes membuat rusak susu sebelanga, angkatkan segera nila itu, bersihkan putihnya susu yang ada, hingga dapat diminum mensihatkan jasad dan ruh.
Terakhir, teringat ungkapan guru kito Maulana Syekh Mudo Abdul Qadim “Beliau Belubus” yang masyhur itu, beliau berpitua pada akhir Risalah Tsabitul Qulub-nya:
“Pegang Syari’at Tubuh nan kasar,
pegang tharikat tubuh nan halus,
pegang Hakikat tubuh nan Bathin,
pegang Ma’rifat Tuhan nan punya pegang.
Dicari pengenalan di dalam zikir, dipakai di dalam sembahyang,
disudahi tatakalo nyawa berpulang kerahmatullah…”


selesai ditulis 23.25, malam senin petang Rabu, 28 Februari 2011
ditulis dengan wajah yang khalis, memakai tinta nan sempurna hitamnya, diatas kertas yang seputih-putihnya.
Ditangan Fakir yang karam dalam lautan dosa
Diam bermain di Surau Batu Berair, Mungo