Selasa, 31 Maret 2015

Pusat-pusat Keilmuan Islam di Pedalaman Minangkabau pada Abad 19 dan 20

Oleh: al-Faqir Apria Putra Engku Mudo

Telah masyhur dikalangan kaum intelektual kita bahwa Minangkabau adalah salah satu pusat keilmuan Islam pada masa silam di Sumatera, selain Aceh. Tersebab oleh putaran zaman, pergantian generasi, tak banyak lagi yang tahu dimanakah letaknya pusat-pusat keilmuan Islam tersebut di Minangkabau. Perhatian terhadap keilmuan Islam telah menurun, meski kecenderungan beragama secara instan menyeruak di tengah masyarakat. Apakah keadaan ini merupakan perputaran roda zaman untuk mencapai titik nadir, kemudian kembali jaya semasa dulu, entahlah. Perhatian yang telah menurun itulah yang menjadi penyebab banyaknya generasi muda kehilangan jati diri, itu pulalah yang telah membuat orang-orang lupa dengan sejarah, yakni sejarah kegemilangan Islam di negeri emas Minangkabau ini.
Di masa lalu, prestasi keilmuan seseorang urangsiak (santri) dipatok dari tempat dia belajar. Misalnya ketika seorang belajar agama di Tobekgodang, maka dia seorang ahli fiqih, ushul, lughah, dan tasawuf. Bila seorang siak belajar di Candung misalnya berarti ia faqih. Dan begitu seterusnya. Masyarakat telah mafhum kemampuan intelektual urangsiak tersebut dari nama tempat dimana mereka memperdalam agama, sebab tempat-tempat itu telah menjadi lokus pencetak ulama yang mumpuni. Maka jangan heran, di zaman nenek-nenek kita dulu, orang-orang akan merinding bulu kuduknya mendengar nama tempat seorang urangsiak belajar. Misalnya, mendengar Mungka, maka orang-orang tak akan berani mendebat, karena telah paham bahwa urangsiak itu seorang alim ‘allamah dalam ilmu agama Islam.
Untuk mengingat-ingat masa silam, lebih dari sekedar bernostagia tentang kejayaan Islam di Minangkabau ini, alangkah rancaknya bila kita mengenal pusat-pusat keilmuan Islam di abad-abad silam di negeri kita ini. Nama-nama tempat ini, berikut kebesaran dan ketokohan ulamanya, saya simak dan saya dengar dari orang tua-tua dan ulama-ulama sepuh yang pernah saya kunjungi disepanjang perjalanan saya menziarahi pusara-pusara ulama besar di alam Minangkabau ini.

Selasa, 23 Desember 2014

Madrasah-madrasah Tarbiyah Islamiyah bersejarah di Pedalaman Minangkabau

Oleh: al Faqir Apria Putra

Pada tulisan ini, kita akan mengenal beberapa Madrasah (baca: Pondok Pesantren) yang mempunyai sejarah dan peran penting mencerdaskan kehidupan bangsa khususnya pada bidang intelektual islam di Pedalaman Minangkabau. Madrasah-madrasah yang kita bicarakan ini hanya tinggal nama dan cerita untuk dikenang-kenang saja. Tulisan ini sengaja ditulis karena diinspirasi oleh “Muzakarah Eksistensi Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah Mengahadapi Tantangan Global“ yang diadakan oleh Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Asrama Haji, Tabing, Padang, pada Selasa tanggal 9 Desember 2014 atau 16 Shafar 1436 H. Meskipun saya tidak hadir pada acara yang menghadirkan Menteri Agama RI tersebut, namun sebagai seorang yang hidup dan tumbuh dilingkungan ulama-ulama PERTI, maka sewajarnya saya menyambut apa yang disebut “muzakarah” itu dengan euforia. Euforia itu dituangkan dalam tulisan singkat ini, sebagai alat pembuka mata kepada pimpinan-pimpinan organisasi keagamaan khas Minangkabau, “Persatuan Tarbiyah Islamiyah”, itu sendiri. Terhadap apa “mata” itu mesti dibuka? Terhadap kenyataan bahwa banyak sekolah agama kita, sekolah agama yang sangat bersejarah dan mempunyai peran signifikan di masa lalu, kini telah terabaikan, seakan tak dipedulikan, atau bahkan telah dilupakan sama sekali. Itulah yang pernah saya kemukakan: “Kita seperti surau besar tak berpenghuni.” Semoga kita dapat memetik hikmah dari tulisan ini, paling tidak sekedar menambah perbendaharaan sejarah kita.

Kamis, 13 November 2014

Senandung Negeri Seribu Shalawat: Dala’il Khairat di Minangkabau dari Masa ke Masa


Oleh: al-Haqir Apria Putra Engku Mudo Khalis

            Shalawat merupakan salah satu amal yang diperintahkan kepada setiap muslim. bershalawat ialah ‘alamat cinta kepada Rasulullah, junjungan alam. Ulama-ulama yang shaleh, sejak permulaan Islam menjadikan shalawat sebagai rutinitas, wirid harian. Hal ini membuat seorang ulama besar di Maghrib, yang digelari dengan Qutub Da’irah al-Muhaqqiqin dan Sayyidul ‘Arifin, yaitu Sayyid Abu Abdillah Muhammad bin Sulaiman al-Jazuli menghimpun lafaz-lafaz shalawat yang diamalkan oleh para ulama dari zaman salafus shaleh. Shalawat-shalawat yang yang dihimpun itu adakalanya ma’tsur dari Rasulullah, dan adakalanya merupakan susunan para shalihin sendiri. Kitab himpunan shalawat itu diberi judul dengan Dala’ilul Khairat wa Syawariqul Anwar (Penunjuk kepada kebaikan dan sumber cahaya). Kitab ini, sejak disusun, menjadi kitab shalawat paling masyhur di dunia Islam, di Timur dan Barat, bahkan sampai ke Timur Jauh, yaitu Asia Tenggara. Salah seorang peneliti Belanda, yang konsen dalam penelitian ilustrasi Kitab Dala’il Khairat, menyebutkan bahwa salinan kitab Dala’il Khairat merupakan paling banyak di dunia, setelah al-Qur’an al-Karim. Hal ini menunjukkan bahwa Dala’il Khairat sangat populer di mana-mana negeri. Kemanapun kita pergi, di sana mesti ada Dala’il Khairat barang satu buah.

Kamis, 02 Oktober 2014

Sullam al-Arab ila Lughah al-‘Arab: Kamus Arab “Ammiyah-Minang” Pertama, Karya Syekh Abdul Latif Syakur Ampek Angkek (w. 1963)

Oleh: al-Faqir Apria Putra E. Mudo Khalis
 
Tuan-tuan jika ditanya tentang Kamus Arab-Melayu di masa awal-awal, tentu tuan akan dengan mudah menjawab: Kamus Idris Marbawi atau Kamus Zahabi-nya Mahmud Yunus. Tapi bila datang soal tentang Kamus Arab Ammiyah-Minang, tentunya sebagian besar akan menunjukkan ekspresi yang sama yaitu kerut di dahi tanda penasaran. Buat apa belajar Arab Ammiyah? Bukankah kitab-kitab pelajaran Agama semuanya ditulis dalam Bahasa Arab Fushah? 

Kehadapan tuan-tuan tentu akan dijelaskan terlebih dahulu, bahwasanya Bahasa Arab itu dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu (1) Arab Fushah, dan (2) Arab ‘Ammiyah. Arab Fushah ialah Bahasa Arab yang baku, sesuai dengan kaedah-kaedah gramatikal Arab, atau dengan tepatnya Bahasa Arab al-Qur’an. Bahasa Fushah inilah yang menjadi pengantar ilmu pengetahuan agama yang dipergunakan sejak dahulu, sejak al-Qur’an diturunkan hingga saat ini. Tuan tentu bisa menghitung berapa lama sudah itu. Sedangkan ‘Ammiyah ialah Bahasa Arab harian, kasarnya Bahasa Pasaran. Bahasa Arab jenis ini tidak terikat kuat dengan sintaksis Arab, elastis mengikuti zaman, dan berpeluang besar dipengaruhi oleh bahasa-bahasa lainnya. Bahasa jenis terakhir ini dipakai oleh masyarakat Arab sehari-hari.

Kamis, 25 September 2014

Khazanah Tafsir al-Qur’an karya Ulama Minangkabau


Oleh: al-Faqir Apria Putra

Tafsir al-Qur’an ialah salah satu vak keilmuan terpenting yang dipelajari oleh seorang urangsiak (santri) di surau. Ketika surau masih menjadi pusat intelektual Islam, jauh sebelum adanya sistem klasikal di awal abad 20, Tafsir al-Qur’an menjadi bidang yang diminati. Sakin diminati, ada surau-surau tertentu di Pedalaman Minangkabau yang mengebangkan spesialisasi Tafsir al-Qur’an, sehingga terdengar pameo di kalangan urangsiak: “Bila hendak belajar Tafsir maka pergilah ke Surau Tuanku itu, Tuanku ini, dan sebagainya.” Hal ini, selain menunjukkan bahwa surau pada masa itu (Abad 19) telah membangun ciri khas keilmuan masing-masing, juga membuktikan bahwa Tafsir al-Qur’an saat itu cukup berkembang.

Dari kalam nostalgia orang tua-tua kita dengar, di masa kanak-kanak setelah mengkhatam al-Qur’an dengan perayaan yang meriah mereka akan belajar tata bahasa Arab, kemudian dilanjutkan belajar Tafsir al-Qur’an. Kitab tafsir yang sangat populer saat itu ialah Tafsir Jalalain yang ditulis oleh dua Imam dari kalangan Mazhab Syafi’i, yaitu Imam Suyuthi dan Imam Mahalli. Konon, sebab populernya tafsir ini karena pemahamannya yang mudah dan sifatnya sangat membantu urangsiak dalam mengasah Bahasa Arab. Tafsir ini mempunyai kekhasan, yaitu tafsir perkata, di mana ketika seorang urangsiak telah tuntus mempelajari, maka ia telah mempunyai kosa kata yang kaya, siap untuk melanjutkan pelajaran ke tingkat yang lebih tinggi, apakah fiqih, ushul, hadis, dan tasawuf. Umumnya Tafsir Jalalain dikhatam ketika masih remaja. Tak jarang seorang remaja mengkhatamnya berulang-ulang, sebab di sebagian surau terdapat tradisi tadarusan Tafsir Jalalain, di mana di bulan Ramadhan mereka bukan hanya mentadarus al-Qur’an tapi juga Tafsir Jalalain yang ditamatkan berulang kali. Demikian lah kejadian di masa lalu.

Niscaya dari kecintaan kepada al-Qur’an dan Tafsir yang dilandasi oleh Jalalain itulah ulama-ulama Minangkabau kemudian hari menulis Tafsir al-Qur’an tersendiri. Sebenarnya, sebelum para ulama Minang menulis tafsir, telah beredar Tafsir Tarjuman al-Mustafid karya Syekh Abdurra’uf al-Fanshuri Aceh. Syekh Abdurra’uf begitu masyhur di Minangkabau, terutama di Pesisir Barat, karena beliau merupakan guru dari ulama sufi besar Syekh Burhanuddin Ulakan. Namun tak banyak rekaman sejarah mengenai posisi Tafsir Tarjumanul Mustafid dalam komposisi kurikulum surau waktu itu. Hampir semua surau menjadikan Jalalain menjadi kitab daras, bukan yang berbahasa Melayu sebagai Tarjuman Mustafid.

Sabtu, 09 Agustus 2014

Catatan Harian Ulama Minangkabau (Bagian 1): Catatan Harian Syekh Muhammad Sa’ad al-Khalidi Mungka (w. 1922) yang dimasyhurkan dengan “Baliau Surau Baru” atau “Baliau Mungka”

Oleh: al-Faqir Apria Putra

Para akademisi sepakat bahasanya ulama merupakan pencerdas kehidupan bangsa jauh sebelum adanya sekolah dan madrasah sebagaimana yang kita kenal sekarang. Selain transmisi intelektual, ulama memainkan peran penting untuk menyebar luaskan sistem tulisan. Minangkabau yang sebelumnya dikenal sebagai wilayah yang menggunakan tutur lisan semata, dengan masuknya Islam dan lahirnya surau-surau di Darek atau di Rantau maka mulai lah dikenal tulisan Arab-Minang yang kemudian populer dengan sebutan “Arab Melayu”. Riwayat-riwayat lama kemudian diaksarakan, apakah dalam bentuk tambo-tambo atau bari balabeh. Itu semua ditulis dalam tulisan Arab, ertinya kesadaran terhadap tulisan itu ada setelah pengaruh Islam, kalau ditelusuri lagi semuanya ialah karena ulama di belakangnya. Selain itu, ulama telah membawa kesadaran pentingnya sejarah sebagai cermin berkaca bagi generasi-generasi selanjutnya. Salah satu, dan mungkin dilupakan oleh ilmuan-ilmuan moderen saat ini, dibuktikan dengan pencatatan aktivitas hidup seorang ulama oleh ulama itu sendiri. Catatan itu lazim disebut dengan “catatan harian”.

Catatan harian berisi informasi-informasi peristiwa yang terjadi pada masa seorang ulama hidup dan berkarir. Isinya antaranya lain catatan kelahiran seorang tokoh, wafat seorang tokoh, tanggal-tanggal penting seperti kapan berangkat ke Makkah, kapan mulai mengaji kitab, kapan sebuah surau didirikan, kapan sawah diteruka, dan tak jarang berisi catatan pinjaman, gadai, atau utang piutang. Dus informasi ini penting bila ditinjau dari sisi historis, demi keberlanjutan sejarah tentunya.

Selasa, 15 Juli 2014

Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi Mengajarkan Pentingnya Tarekat Sufi

Oleh: al-Faqir Apria Putra

Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi ialah salah seorang tokoh ulama Nusantara dari Minangkabau yang mempunyai reputasi penting dalam jaringan ulama negeri bawah angin pada awal abad 20. Ketokohannya barangkali bisa disetarakan oleh Syekh Nawawi al-Jawi Banten yang dikenal sebagai Sayyid Ulama Hijaz tersebut, meskipun dalam segi keilmuan Syekh Ahmad Khatib berada di bawah level ulama Banten tersebut. Ulama-ulama besar yang umumnya yang berkarir di Dunia Melayu hampir semuanya merupakan murid Syekh Ahmad Khatib. Ketokohan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan kepopulerannya disebabkan oleh prestasinya sebagai Imam dan Khatib dalam Mazhab Syafi’i di Mesjid Haram, Makkah. Selain itu, hal yang membuat namanya melambung ialah polemik-polemiknya dengan ulama-ulama se zaman dengannya. Untuk kasus Minangkabau, ia merupakan sosok yang kritis terhadap adat pusaka dan amalan Tarekat Naqsyabandiyah. Mengenai adat pusaka, ia menentang tradisi mewariskan harta pusaka yang telah menjadi adat kebiasaan di kampung halamannya itu. Dalam risalah “al-Da’i al-Masmu’ yang kemudian ia terjemahkan sendiri ke dalam bahasa Melayu dan diberi judul Minhaj al-Masyru’ ia mengecam pembahagian harta pusaka kepada kemenakan. Menurutnya adat pusaka itu terlarang di mana harta tersebut jatuh kepada syubhat. Ia menekankan pentingnya Faraidh dalam pembahagian harta pusaka itu. Kecamannya terhadap harta pusaka mendapat tanggapan dari ulama-ulama Minangkabau, di antaranya Syekh Muhammad Sa’ad al-Khalidi Mungka Payakumbuh (w. 1920) yang menyindirnya dalam kitab “Tanbih al-‘Awam ‘ala Taghrirat Ba’dhil Anam” (1910). Tantangan terhadap Khatib di Makkah ini juga datang dari murid-muridnya, salah seorang di antara mereka ialah Syekh Abdul Karim Amrullah yang dikenal dengan Inyiak Rasul, ia menyatakan bahwa yang harta yang diwariskan di Minang secara adat itu hanya harta pusaka tinggi yang termasuk kategori harta Musabalah yang pewarisannya berdasarkan hibah, sedangkan untuk harta pencarian tetap diwariskan menurut Faraidh (Tulisan terbaik mengulas Harta Pusaka dan pewarisannya di Minangkabau itu ialah disertasi Prof. Amir Syarifuddin yang berjudul “Hukum Kewarisan Islam di Lingkungan Adat Minangkabau”).

Sabtu, 28 Juni 2014

Para Pewaris Ulama Minangkabau abad 21 (bagian I): Buya Sya’rani Khalil Dt. Majo Reno (lahir 1926), Penyambung Estafet Ulama-ulama Besar Batuhampar, Payakumbuh

Oleh: al-faqir Apria Putra

Satu ketika saya tertegun, salah seorang teman berujar, “Mengapa tuan hanya menulis tentang ulama-ulama silam, bukankah baik menulis ulama-ulama kita sekarang, supaya kami dapat berkunjung dan menyauk ilmu dari beliau-beliau itu. Dekat akan disilau, jauh akan dijalang.” Saya berpikir, baik juga hal itu. Namun, perjalanan saya belumlah jauh, jalan yang telah ditempuh tak seberapa, akankah saya adil menulis hanya sebagian orang yang saya ketahui di depan mata saya keharibaan tuan-tuan. Bukankah ulama-ulama kita di Ranah Minang saat kini banyak yang mastur (tersembunyi), beberapa di antara mereka tak dikenal layaknya muballigh yang prestisius, di antaranya ada yang menjauh dari publisitas seperti kebanyakan orang sekarang. Tapi, saya timbang-timbang adalah positif bila memperkatakan ulama-ulama yang ada saat ini, meskipun pengetahuan saya tentang beliau-beliau itu tidak seberapa. Kita ketengahkan saja kaedah yang masyhur di kalangan Ushuliyyin, “Sesuatu yang tidak dapat dikerjakan semua, sebahagiannya jangan ditinggalkan.” Semoga ikhtiar saya bermanfaat kiranya bagi sidang pembaca, pun pribadi saya sendiri; sehingga dapat menghela do’a orang-orang shaleh, para ulama yang mempunyai dua sayap; lahir dan batin, di Ranah Minang bertuah ini. Amin ya Rabbal ‘alamin.

Batuhampar Payakumbuh, Negeri Hijau, Negeri Seribu Urangsiak

Sesawahan terhampar luas ibarat permadani kaki langit. Sejauh mata memandang, sejauh itu pula hijau cerah dari dedaunan apakah padi-padi, kebun dan ladang-ladang petani terlihat. Demikianlah keadaan alam Batuhampar sebagai anugerah ilahi. Di balik semuanya, terdapat hal yang lebih dikenal dari sekedar pesona alam itu, itulah “Kampung Dagang”, komplek urangsiak (baca: santri) yang telah ada sejak dua abad yang lalu. Komplek inilah yang lebih dari seabad itu menjadi bebauan harum semerbak yang masyhur ke mana-mana negeri di dataran Melayu, sebagai tempat belajar agama, pusat ilmu al-Qur’an, dan sentra Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah terkemuka dan tertua di Minangkabau ini.

Minggu, 04 Mei 2014

Khazanah Surau II: Tulisan Tangan Syekh Amrullah Tuanku Kisa’i Maninjau

Oleh: al-Faqir Apria Putra
Ditulis berdasarkan kunjungan ke Sungai Batang Maninjau; menelusuri karya-karya tulis, surau dan makam Syekh Amrullah Maninjau, Februari 2013.

Ulama-ulama Maninjau


Jika mendengar kata Maninjau, seseorang tentu akan teringat dengan keindahan Danau Maninjau yang mempesona itu. Pesona Maninjau telah menggaet pelancong-pelancong alam dari berbagai belahan daerah, bahkan dari mancanegara. Barangkali orang-orang akan melihat dan mengenang sisi eksotik danau ini saja, tanpa melihat sisi lain yang membuat nama daerah Maninjau menjadi terkenal seantero negeri. Sisi yang terlupakan; dan hanya dikenang segelintir akademisi, ialah keadaan sosial keagamaan di Maninjau. Jauh sebelum menjadi pusat wisata sebagaimana yang disaksikan saat ini, Maninjau adalah salah satu pusat keilmuan Islam di Minangkabau.

Ketenaran Maninjau sebagai pusat keagamaan dapat kita lihat dari jejak rekam aktifitas intelektual di abad-abad yang lalu. Sejak abad XIX telah tercatat nama ulama Maninjau yang mempunyai pengaruh besar di Pedalaman Minangkabau. Begitu juga paruh pertama abad XX. Keadaan itu dirasa sangat kontras ketika memasuki milenium baru. Beberapa pusat keilmuan masa lalu yang tertulis dengan tinta emas dalam sejarah itu banyak menjadi puing. Hal ini tentu tidak disesalkan, sebab pergeseran nilai dengan masuknya pengaruh weternisasi dan modernisasi yang membadai; yang tak ayal menjadi salah satu ancaman bagi agama dan kearifan lokal setempat.

Di abad XIX dikenal tokoh ulama yang berpengaruh luas, antara lain Syekh Abdussamad Maninjau, Syekh Abdullah Koto Baru Maninjau, dan Syekh Amrullah Maninjau. Sedangkan di abad XX terdapat nama-nama antara lain Syekh Muhammad Salim Bayur Maninjau, Syekh Abu Bakar Maninjau, Syekh Hasan Bashri Maninjau dan Syekh Abdul Karim Amrullah Maninjau. Aktifitas yang menjadi prestasi dalam bidang keagamaan ulama-ulama Maninjau tersebut bukan hanya mengajar, namun mereka juga berperan dalam mendirikan lembaga pendidikan, seperti surau dan madrasah. Lebih dari itu beberapa di antara mereka juga menerbitkan jurnal (majalah), seperti Syekh Hasan Basri yang tercatat sebagai redaktur Majalah al-Mizan yang terbit di Maninjau (sebelum terbit di Bukittinggi). Selain itu di Maninjau juga didirikan penerbit dan pencetak kitab-kitab keagamaan, antara lain Syarikat al-Ihsan Maninjau. Sayang, sebagian besar dari hasil tangan ulama-ulama itu hanya tinggal cerita.


Foto: Mesjid Syekh Amrullah Maninjau yang telah dipugar (2013)

Dalam artikel pendek ini, kita akan melihat sekilas tentang Syekh Amrullah, ulama besar Maninjau abad XIX. Selain meninjau tentang kehidupannya, kita sigi juga beberapa tulisan yang sempat terselamatkan dari ulama yang satu ini.

Syekh Amrullah: Ikon Jaringan Ulama Minangkabau abad XIX

Syekh Amrullah lahir pada permulaan bulan Rajab 1256. Hamka, berdasarkan penjelasan ayahnya, bercerita tentang riwayat datuknya itu (Dalam buku “Ayahku”, hal. 40-51). Menurut riwayat yang diuraikannya itu, Syekh Amrullah, lengkapnya Syekh Muhammad Amrullah, ialah keturunan dari ulama-ulama terkemuka. Ayahnya ialah Syekh Muhammad Shaleh yang digelari dengan “Tuanku Syekh Guguk Katur”, seorang ulama sufi yang terkemuka. Konon, beliau hafal kitab Hikam karangan Syekh Atha’illah al-Sukadari yang masyhur itu. Sedangkan neneknya ialah Tuanku nan Tuo Ampek Koto, atau yang dikenal dengan “Tuanku Pariaman”. Beliau ialah salah seorang ulama Syattariyah. Muridnya ialah Tuanku Sutan, guru dari Tuanku Aluma Koto Tuo. Tuanku Aluma (w. 1963) ialah ulama besar Syattariyah abad XX.

Dari jalur keturunan, jelas bahasa Syekh Amrullah lahir dari lingkungan ulama. Lingkungan keluarga ini membawa dampak dalam perkembangan Syekh Amrullah di masa kecilnya. Di usia yang masih terbilang belia, Syekh Amrullah telah belajar al-Qur’an dengan ayahnya. Di tahun 1853, ia dibawa ayahnya itu menemui neneknya di Ampek Koto, untuk melanjutkan pelajaran agama. Di Ampek Koto, Syekh Amrullah sama-sama belajar dengan Syekh Tuanku Sutan.

Pada tahun 1864, Syekh Amrullah kembali ke kampung halamannya. Beliau telah menerima ijazah dari neneknya, Tuanku nan Tuo, sebagai tanda bahwa keilmuannya telah diakui. Di Maninjau, berdasarkan kesepakatan tokoh-tokoh adat dan agama, Syekh Amrullah diberi gelar dengan “Tuanku Kisa’i” dengan sebuah perhelatan cukup besar. Konon, gelar “Tuanku Kisa’i” itu dilekatkan karena Syekh Amrullah hafal al-Qur’an. Al-Kisa’i adalah nama seorang ahli Qira’at al-Qur’an yang muktabar.

Tak berapa lama setelah itu, Syekh Amrullah berangkat ke Makkah. Di sana beliau, di samping ber-haji, juga belajar kepada ulama-ulama terkemuka, seperti Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dan Syekh Muhammad Hasbullah. Cukup lama beliau bermukim di Makkah, kabarnya bertahun-tahun.

Setelah itu, Syekh Amrullah kembali ke kampung halamannya dan berkhitmat mengajar agama. Setelah kepulangannya itu, namanya semakin harum dikalangan penuntut-penuntut ilmu. Seiring kemasyhurannya, ia diundang ke berbagai daerah untuk mengajar agama, antara lain ke Sungai Landai, Koto Tuo, Banuhampu, Kapas Panji dan daerah-daerah lainnya. Kabarnya, dalam mengunjungi daerah-daerah itu beliau tidak berjalan, malah ditandu oleh murid-muridnya; sebagai alamat bahasa beliau ialah seorang ulama yang sangat dihormati.


Foto: Makam Syekh Amrullah Tuanku Kisa'i Maninjau

Selain terkemuka sebagai ulama yang mahir dalam ilmu al-Qur’an, Syekh Amrullah juga masyhur selaku ulama besar Tarekat Naqsyabandiyah. Namun, sampai saat ini belum ditemui informasi gurunya dalam tarekat ini, padahal Syekh nan Tuo ialah tokoh Syattariyah, dan berdebatan Syattariyah versus Naqsyabandiyah masih hangat saat itu.

Berdasarkan runut jaringan intelektual ulama Minangkabau, Syekh Amrullah termasuk jaringan inti di abad XIX. Ia telah mendidik beberapa ulama yang kemudian berperan dalam jaringan ulama setelahnya. Salah satu ulama besar hasil didikannya ialah Syekh Abbas Qadhi Ladang Laweh, salah seorang ulama besar, pimpinan Ittihad Ulama Sumatera dan sesepuh Persatuan Tarbiyah Islamiyah.

Tulisan Tangan Syekh Amrullah Maninjau

Tak banyak karya dan tulisan Syekh Amrullah yang dapat kita temui saat ini. Meskipun dua generasi setelahnya, yaitu Syekh Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dan Hamka, adalah ulama yang sangat menghargai buku dan kitab, namun hanya satu dua saja yang terselamatkan. Itupun wakaf orang kepadanya. Berikut adalah hasil fotografi kitab-kitab tulisan tangan Syekh Amrullah tersebut:


Foto: Tulisan tangan Syekh Amrullah-1.


Foto: Tulisan tangan Syekh Amrullah-2

al-Faqir al-Haqir Apria Putra
Dalam khalwat yang hening, Jakarta.

Senin, 07 April 2014

Syekh Jamaluddin Pasai di Minangkabau

Oleh: al-Faqir Apria Putra

Dalam menelusuri sejarah persebaran ilmu tasawuf di Minangkabau, kita akan dihadapkan dengan nama-nama tokoh sufi pengembara yang datang, adakalanya bermukim atau sekedar tinggal beberapa saat di Minangkabau. Kita catat nama-nama seperti Syekh Burhanuddin Kuntu di Minangkabau Timur, yang riwayatnya tidak begitu dapat dipastikan (riwayat mengenainya hanya diberikan oleh Mahmud Yunus, 1982). Adalagi tokoh yang dikenal dengan Syekh Keramat Taram. Tokoh ini dikenal sebagai sosok misterius, yang konon datang dari Negeri Madinah al-Munawwarah bersama Syekh Abdurra’uf Singkel. Ia, setelah tinggal beberapa saat di Aceh, kemudian mengembara sepanjang pantai timur sumatera, hingga sampai di pedalaman Minangkabau. Di Pedalaman, tepatnya di Taram, Lima Puluh Kota, ia tinggal dan memapankan karir ulama dengan mengajar ilmu agama. Layaknya sufi-sufi lain, riwayat hidupnya penuh dengan peristiwa yang tergolong “khariq lil ‘adah” (di luar manusia) yang di dalam literatur Sunni disebut “karomah”.

Selain dua tokoh tersebut, terdapat tokoh lain yang ternyata mempunyai andil dalam persebaran Tarekat Sufi Naqsyabandiyah. Tokoh ini ialah Syekh Jamaluddin Pasai. Azyumardi Azra (2007) dalam karya fenomenalnya “Jaringan Ulama” menyebutkan tokoh ini sebagai penyebar pertama Tarekat Naqsyabandiyah di abad 18. Selain itu, informasi ini juga dikuatkan oleh Cristine Dobbin dalam “Islamic Revivalism”. Namun ketokohan Jamaluddin Pasai yang dimaksud oleh dua peneliti kenamaan ini tidak lengkap. Penulisnya tidak membeberkan siapa sebenar Jamaluddin, bagaimana pengaruh, dan jaringan intelektualnya. Oleh karenanya, ketokohan Jamaluddin sebagai sufi pembawa Tarekat Naqsyabandiyah pertama dibantah oleh peneliti-peneliti setelahnya. Penelitian setelahnya menekankan peran Syekh Isma’il al-Khalidi al-Minangkabawi, tokoh penting jaringan ulama Nusantara abad 19 yang bermukim di Makkah asal Simabur Batusangkar. Tokoh terakhir disebut sebagai pembawa pertama Tarekat Naqsyabandiyah; mengaminkan Schrieke (1919).

Mengenai Jamaluddin yang kita sebut, Van Ronkel mempunyai informasi lain yang bersumber dari sebuah naskah fiqih berorientasi Naqsyabandiyah yang tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden. Naskah itu berjudul “Lubab al-Kifayah”. Pengarang naskah tersebut tak lain ialah Syekh Jamaluddin Pasai. Naskah ini, menurut Chambert-Loir, diperkirakan ditulis pada perempat pertama abad 18 (buku “Naik Haji di Masa Silam I: 1482-1890”, 2013: 210). Benar kiranya, pengarang, dalam hal ini jamaluddin, merujuk karya ulama Naqsyabandiyah terkemuka di Makkah di abad sebelumnya, yaitu Ibnu ‘Alan al-Naqsyabandi. Ibnu ‘Alan pernah menulis syarah terhadap “Qashidah Bintil Milaq” yang menjadi acuan oleh tokoh-tokoh Naqsyabandi dan Syattariyah di Minangkabau pada abad 19.

Chambert-Loir telah membuat edisi teks salah satu bagian naskah ini, berdasarkan hasil transkripsi Van Ronkel (1919), kemudian memasukkan dalam buku “Naik Haji di Masa Silam” jilid I (terbitan KPG bekerjasama dengan Ecole francaise d’Extreme-Orient, November 2013). Naskah ini berkisah tentang perjalanan hidup Jamaluddin, mulai dari Timur Tengah seperti Makkah, Zabid (Yaman), dan Mesir lalu pulang ke Sumatera, ke Batak dan akhirnya ke Minangkabau, yaitu ke Pariaman dan pedalaman. Dalam teks ini pengarang menyebut namanya dengan Jamaluddin ibnu Jawi.

Bagian naskah ini berupa bait-bait sya’ir dalam bahasa Melayu, yang ditranskrip oleh Van Ronkel dalam bentuk prosa. Hal ini membuat Chambert-Loir yang mengedit kemudian merasa “pusing” memahami teks ini. Meski begitu, dari hasil editan Chambert-Loir kita dapat mengikuti beberapa fragmen dari kisah perjalanan tokoh ulama Pasai ini.

Terkait dengan Minangkabau, menarik kita simak bagian akhir bait Jamaluddin. Ia mengemukakan:

(35) Dari sana pula lalu berlayar,
Ke negeri Pariaman nama bandar,
Sampai di sana nyatalah khabar,
Pada pendeta alam (?=alim) yang besar-besar.

.....
(37) Mencari bicara meninggalkan zaman,
Lalu ke Agam bertanam-tanaman,
Ke Lima Puluh Kota sampai Palangan,
Menghasilkan tanaman dan perbuatan.

(Chambert-Loir, 2013: 218)

Dari dua fragmen bait ini berisi kisahnya di Minangkabau. Pertama di Pariaman, di mana di daerah ini Jamaluddin bertemu dengan ulama-ulama besar yang menyampaikan berita gembira padanya. Kedua, di pedalaman Minangkabau, yaitu Agam dan Lima Puluh Kota. Di sana ia menghasilkan “pekerjaan” yaitu berdakwah dan mengajar agama. Kita ketahui bahwa sejak abad 18 dua daerah terakhir, yaitu Agam dan Lima Puluh Kota menjadi basis pendidikan Islam ala sufi yang padat di Minangkabau. Ordo sufi yang berkembang di daerah ini, sejak dahulu, ialah Naqsyabandiyah dan Syttariyah. Apakah memang Jamaluddin pernah menancapkan pengaruh di daerah ini, hingga kedua daerah ini menjadi sentra tasawuf? Sampai saat ini belum ada analisis tuntas mengenai pengaruh ulama luar terhadap transmisi keilmuan Islam di alam Minangkabau. Paling tidak, apa yang dikemukakan Chambert-Loir dan Van Ronkel membuktikan bahwa pada abad 18 telah ada ulama sufi Pasai ber-Tarekat Naqsyabandiyah singgah dan “menghasilkan pekerjaan” di pedalaman Minangkabau, Agam dan Lima Puluh Kota. Oleh karenanya, apa yang dikemukakan Azra dan Dobbin mengenai sosok Jamaluddin dan pengaruhnya di Minangkabau menjadi lebih agak jelas dari sebelumnya.

Perpustakaan Riset Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta
Ciputat, 7 April 2014.