Rabu, 02 April 2014

Jejak Intelektualisme Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Pesisir Selatan

Oleh: al-Faqir Apria Putra

Tulisan ini sengaja ditulis memenuhi permintaan Ust. Heri Surikno, Mudarris di MTI Timbulun, Pesisir Selatan.

Rekam Jejak Masa


Sejarah Islam di Pesisir telah melewati waktu cukup panjang. Kita mendengar, misalnya cerita Kho Pin Ho, seorang jenderal Muslim dari benua Cina yang merapatkan kapalnya di sebuah pulau kecil di Pesisir, sehingga kemudian pulau itu bernama Pulau Cingkuak. Cingkuak ialah perubahan bahasa dari nama sang jenderal, Kho Pin Ho. Itu sudah lama, sudah berabad-abad yang lalu. Riwayat kedatangannya itu oleh sementara kalangan menjadi petanda bahwa di masa Kho Pin Ho telah terjalin kontak antara benua Ruhum (Cina) dengan Pulau Perca, tepatnya Pesisir. Hubungan yang terjalin itu tepatnya ialah tali keagamaan, yaitu agama Islam. Maka di disitulah perjalanan agama dimulai di ranah Banda nan Sapuluah ini. Itu yang diungkap Yulizal Yunus dalam “Islam di Gerbang Selatan Sumatera”.

Perjalanan agama Islam, yakninya I’tikad Ahlussunnah wal Jama’ah (al-Asy’ariyyah) dan Mazhab Syafi’i itu sebenarnya baru muncul kepermukaan sejarah ketika Syekh Buyuang Mudo Puluik belajar agama ke Aceh, tepatnya kepada Syekh Abdurra’uf Singkel, pada abad ke-XVII. Syekh Buyuang Mudo tidak sempat mengkhatam kajinya di Aceh, sesuai dengan saran gurunya itu, beliau kemudian melanjutkan pelajaran agamanya kepada Syekh Burhanuddin Ulakan, Pariaman. Di sana beliau memutus kaji dan memperoleh ijazah keilmuan, serta diakui sebagai salah satu khalifah Syekh Burhanuddin tersebut. Syekh Buyuang Mudo kemudian mengembangkan dakwah Islam ke kampung halamannya, Bayang. Di sana beliau mendirikan surau dan mengabdi untuk tegaknya agama hingga wafat.

Selain Syekh Buyuang Mudo, ada tokoh ulama lain yang mempunyai pengaruh besar dalam perjalanan agama di Pesisir, yaitu yang dikenal dengan Syekh Keramat Langgai. Tokoh ini disebut sebagai nenek moyang orang Pesisir. Dalam historiografi lokal disebutkan bahwa nenek moyang orang Pesisir turun dari Sungai Pagu, menembus hutan di belantara bukit barisan, dan sampai di tepian pesisir. Di sana mereka membuka pemukiman dan menaruko. Syekh ini, atau yang lebih dimasyhurkan dengan Aek Keramat Langgai lebih sebagai sufi yang mempunyai khariq lil ‘adah (kisah keramat – diluar nalar logis). Sampai saat ini sosoknya sebagai tokoh bertuah masih menjadi buah bibir. Makamnya berada di Langgai, sebuah daerah yang terletak di antara Pesisir dan Sungai Pagu, masih di ziarahi hingga saat ini. Konon, bagi siapa saja orang luar yang datang ke Langgai, niscaya akan dibasuh hujan. Salah satu peninggalan Aek Langgai ini ialah sebuah kitab tulisan tangan berusia lebih dari tiga abad. Kitab itu ialah Minhaj al-Thalibin karya agung Imam Nawawi. Jelas, Aek Keramat Langgai ialah ulama Syafi’iyyah.


Foto: Salah satu halaman Naskah Minhaj al-Thalibin peninggalan Aek Keramat Langgai (difoto di Surantih, Pesisisr Selatan, 2010)

Kita belum mempunyai rekaman tokoh-tokoh lain. Tentunya banyak ulama lain yang telah memancangkan perjuangan agama Islam sesuai dengan I’tikad Ahlussunnah wal Jama’ah di masa awal sejarah Islam di Pesisir. Kita mengenal Kesultanan Indropuro, kerajaan Bahari yang merupakan sapih belahan Kerajaan Pagaruyuang di abad-abad silam di Pesisir. Di masa kesultanan ini juga banyak ulama-ulama. Begitu juga kawasan Istana Mande Rubiah, daerah Bundo Kanduang yang bertuah itu. Juga banyak bukti-bukti keislaman yang kuat kita temui. Namun sayang, kita belum mempunyai catatan yang memuaskan untuk hal itu.

Di Lunang, kita kenal Syekh Ibrahim Lunang, murid Syekh Burhanuddin Ulakan angkatan pertama. Beliau berkhitmat mengajar agama di Lunang, khususnya Tarekat Syattariyah. Sejarah tetangnya belum kita dapati.

Di Koto Baru, Kambang, dikenal pula Mufti Kambang, seorang syekh ‘alim yang menjadi tumpuan masyarakat dalam soal-soal agama. Namun riwayat tentang itu belum juga ditelusuri secara mendalam. Dalam satu kesempatan saya sempat berkunjung ke Mesjid Raya Koto Baru Kambang. Di mihrab mesjid itu ditemui satu lemari kitab kuning. Kitab-kitab itu tak lain kitab-kitab Syafi’iyyah yang besar-besar dan berjilid-jilid, juga kitab-kitab mu’tamad dalam ilmu tasawuf. Dapat diterka, Mufti Kambang itu tak lain juga ulama Syafi’iyyah.

Pesisir Selatan dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah

Pesisir Selatan mempunyai peran penting dalam sejarah Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Selain, sebagaimana yang saya ungkap di atas, Pesisir Selatan di masa silam dihuni oleh ulama Syafi’iyyah yang berpengaruh luas, juga dikarenakan ulama-ulama Pesisir menjadi simpul jaringan intelektual ulama Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Paling tidak, terdapat dua ulama besar Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang mempunyai koneksi intelektual (isnad) dengan ulama Pesisir Selatan. Pertama Syekh Muhammad Dalil, atau yang dimasyhurkan dengan Syekh Bayang. Kedua, Syekh Khatib ‘Ali Padang. Syekh Bayang belajar agama pertama kali di kampung halamannya dengan ulama-ulama terkemuka ketika itu. Sedangkan Syekh Khatib ‘Ali Padang juga pernah menimba ilmu dengan ulama Pesisir, salah satunya Syekh Haji Saya di Air Haji.

Selain posisi jaringan intelektual itu, bukti posisi penting Pesisir dapat kita lihat pada keaktifan ulama-ulama Pesisir dalam kegiatan Persatuan Tarbiyah Islamiyah di masa lalu. Salah satunya, pada tahun 1954 diadakan konferensi Tarekat Naqsyabandiyah di Bukittinggi. Waktu itu hadir 180 masya’ikh Tarekat Naqsyabandiyah. Namun dari 180 itu, hanya terdapat 34 tokoh yang menonjol. Dua dari 34 tokoh terkemuka dalam konferensi itu berasal dari Pesisir Selatan, yaitu Syekh Abdul Wahab al-Khalidi Pelangai dan Syekh Qulan al-Khalidi Painan. Di samping itu di Pesisir terdapat pula sekolah-sekolah agama (baca: pesantren) Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang dimotori oleh ulama-ulama yang tergolong dalam Persatuan Tarbiyah Islamiyah.

Berdasarkan penelusuran saya, terdapat empat tokoh besar dalam perjalanan Persatuan Tarbiyah Islamiyah dan MTI di Pesisir Selatan. Empat tokoh itu ialah (1) Tuanku Syekh Bayang, (2) Syekh Kolang Koto Kandih, (3) Syekh Junaid al-Mashri, dan (4) Syekh Munaf Bakrin Tuanku Lubuak.

A. Tuanku Syekh Bayang


Tuanku Syekh Bayang ialah salah seorang ulama tua yang hidup pada pertengahan abad ke 19 hingga paruh pertama abad 20. Beliau lahir di daerah Bayang, Pesisir Selatan. Sebelum belajar agama di Mekkah al-Mukarramah, beliau belajar dasar-dasar agama di kampung halamannya. Setelah itu beliau melanjutkan pelajarannya di Mekkah. Di sana beliau belajar dengan ulama-ulama terkemuka. Beliau pulang ke Minangkabau pada awal abad 20, dan bermukin di Padang. Di sana beliau memapankan karier keulamaannya hingga wafat. Di Padang beliau mengajar bermacam ilmu-ilmu agama di Mesjid Ganting, mesjid tertua di Kota Padang. Ketika beliau wafat, beliau juga di makamkan di Mesjid ini.

Syekh Bayang termasuk salah seorang ulama tua yang bersinggungan langsung dengan benih-benih Persatuan Tarbiyah Islamniyah di masa awal, namun beliau tidak sempat melihat perkembangan Persatuan Tarbiyah Islamiyah selanjutnya karena beliau wafat pada 1923. Sebelumnya ia termasuk salah seorang ulama yang aktif pada Ittihad Ulama Sumatera yang ketika itu dipimpin oleh ulama-ulama kenamaan seperti Syekh Sa’ad Mungka dan Syekh Abdullah Halaban.

Syekh Bayang termasuk ulama yang gigih mempertahankan I’tikad Ahlussunnah wal Jama’ah dan Mazhab Syafi’i di Minangkabau, terbukti dengan keikut sertaannya dalam muzakarah-muzakarah bersama Ulama-ulama dari Kaum Muda. Beliau ‘alim dalam ushul syari’at, terutama dalam Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah. Beliau menulis sebuah risalah monumental di zamannya, berjudul Targhub ila Rahmatillah.

B. Syekh Kolang Koto Kandih


Riwayat perjalanan hidupnya belum terungkap lengkap, namun dipastikan beliau ialah ulama besar terkemuka di Pesisir di awal abad 20. Beliau belajar agama di Kelang, Malaysia, oleh sebab itu beliau digelari dengan Syekh Kelang atau Syekh Kolang. Setelah lama belajar agama, beliau kemudian pulang ke kampung halamannya, Koto Kandih. Di sana beliau mendirikan sebuah Madrasah yang dikenal dengan Madrasah Tarbiyah Islamiyah Koto Kandih, Kambang. Madrasah ini terkemuka di Pesisir zaman itu, dan termasuk yang tertua. Bagaimana hubungannya pribadi Syekh Kolang dengan Persatuan Tarbiyah Islamiyah, belum terungkap jelas. Namun, Madrasah ini mempunyai andil yang besar dalam membentengi faham Ahlussunnah wal Jama’ah dari rongrongan faham modernis.

C. Syekh Junaid al-Mashri: Dari Situjuah ke Pasisia


Syekh Junaid al-Mashri ialah murid dari Syekh Muhammad Ruslan Limbukan, Payakumbuh. Beliau berasal dari Situjuah Banda Dalam, Payakumbuh. Ketika MTI Koto Kandih kekurangan guru dalam mengajar agama lewat kitab-kitab kuning, maka beliau dijemput untuk menetap di Koto Kandih dan mengajar. Beliau sosok yang ‘alim, lagi keramat. Beliau mempunyai andil dalam melanjutkan eksistensi MTI Koto Kandih, dengan berhasil mengkader murid-murid yang ‘alim. Murid-muridnya inilah yang kemudian menyambung estafet keulamaan Ahlussunnah wal Jama’ah di Pesisir Selatan. Syekh Junaid wafat pada paruh terakhir abad 20.

D. Syekh Munaf Bakrin Tuanku Lubuak

Surau Lubuak, Baruangbaruangbalantai, ialah salah satu saksi bisu kejayaan ulama Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Pesisir Minangkabau. Surau ini pernah menjadi basis intelektual ulama Perti hingga akhir abad 20; mempunyai jariangan luas hingga daerah Mukomuko, Bengkulu. Tokoh utamanya ialah Syekh Munaf Bakrin, atau yang dikenal dengan “Tuanku Lubuak”.
Syekh Munaf Bakrin belajar agama kepada ulama-ulama generasi pertama Persatuan Tarbiyah Islamiyah, seperti Syekh Ibrahim Harun “Beliau Bomban” Tiakar, Payakumbuh. Dalam ilmu Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah beliau belajar intens kepada Syekh Muhammad Thaib di Pauah, Padang.

E. Pemandangan saat ini

Masa-masa cemerlang telah berlalu terlalu lama, namun sebagaimana hukum alam tentu ada “arus balik”-nya, ertinya masa-masa kejayaan Persatuan Tarbiyah Islamiyah tak mustahil akan terulang lagi. Melihat keadaan masa kini, dapatlah saya simpulkan bahwa terjadi satu ghirah besar dalam generasi muda Persatuan Tarbiyah Islamiyah; apatah lagi bisa menyaksikan perkembangan MTI Timbulun, dan semangat generasi mudanya. Insya Allah wibawa Persatuan Tarbiyah Islamiyah sebagai “NU”-nya Sumatera Barat dapat menggema se-antero negeri. Syaratnya satu, yaitu dengan menjalin kembali tali-temali yang sebelumnya rapuh oleh putaran zaman keegoan. Semoga.


Dalam Khalwat yang hening, Jakarta.

Januari 2014.