Senin, 10 Maret 2014

Warisan Intan Permata Minangkabau: Intelektualisme Islam, Transmisi Keilmuan dan Karya Tulis

Oleh: al-Haqir Apria Putra

Minangkabau, terkenal bukan hanya karena keelokan alamnya, kekayaan budayanya, pengaruhnya yang melebihi zaman, tapi lebih dikenal karena tokoh-tokoh intelektual yang lahir dari rahimnya. Intelektualisme di Minangkabau telah berlangsung lama, sejak Islam masuk, dan hadirnya ulama-ulama kenamaan di ranah ini.

Ulama, ialah salah satu dari tungku tigo sajarangan, satu unsur inti dari kehidupan adat Minangkabau. Dia mempunyai posisi penting, bukan hanya dalam tugasnya mengayomi umat, namun juga berperan kehidupan sosial masyarakat. Ketika Islam mulai tersebar luas, yang ditandai dengan pengaruh ulama-ulama Aceh di abad XVII, ulama-ulama Minangkabau juga mempunyai andil besar dalam islamisasi dunia Melayu tersebut. Lewat lembaga surau yang terus tumbuh menjamur pada abad-abad itu, yang tumbuh dibarengi meningkatnya aktifitas transmisi keilmuan Islam, ulama-ulama di ranah Andalas ini memainkan peran krusialnya. Malah menembus batas-batas wilayah Minangkabau sendiri, Malaya, Mindanao (Filipina), Brunei, Sulawesi dan pulau-pulau lainnya. Kemasyhuran Minangkabau sebagai pusat agama Islam dan gudangnya para ulama telah menjadi daya tarik yang luar biasa, sehingga berdatanganlah pelajar-pelajar dari berbagai belahan negeri, berbagai bangsa buat berkhitmat menuntut agama. Hingga pelajar-pelajar itu dinamai dengan Orang Siak, orang dari tempat jauh (Siak). Sampai-sampai orang tua-tua dulu ketika mengingat-ingat euforia di masa di surau, menggambarkan dengan sangat indah. Lampu-lampu damar terpasang di surau-surau, ibaratkan bintang-bintang di tengah gelap malam gulita. Bunyi mendaras kaji bagaikan bunyi lebah terbang. Sungguh meriah. Bukan hanya itu, terjadi islamisasi di segala bidang. Silat misalnya, diajarkan lewat adagium lahia silek mancari kawan, batin silek mancari Tuhan; langkahnyo ampek, Alif, Lam, Lam, Ha, ALLAH. Konon gerakan-gerakan silat itu diciptakan dari huruf-huruf arab dari kitab-kitab kuning yang dibahas setiap malam di surau bersama Tuanku Syaikh.

Mengingat masa-masa silam kebesaran ulama di Ranah Minangkabau, kita teringat dengan satu artikel berjudul De Priester en Zijn Invloed op de Samenleving in de Padangsche Bovenlanden tulisan AWP. Verkerk Pistorius. Dalam artikel ini digambarkan dengan bahasa sastra akan kebesaran seorang ulama di pedalaman Minangkabau abad XIX, Syekh Muhammad Shaleh Silungkang, kemasyhuran, tuah, berikut keadaan surau dan murid-muridnya. Kita juga akan terkaget, dalam kamus-kamus biografi Arab, ulama-ulama Minangkabau telah dicantumkan. Misalnya bila merujuk Umar Abdul Jabbar dalam Siyar wa tarajim ba’d ulama’ina fi Qarn rabi’ asyara, jelas memasukkan al-Minangkabawi sebagai ulama terkemuka di shaf ulama-ulama Mekah kala itu. Juga bila kita membalik-balik kamus yang cukup tebal, Natsar al-Jauhar wa Durar fi Ulama Qarn Rabi’ Asyara, kita akan temui Syekh Muhammad Janan Thaib asal Bukittinggi, pendiri Madrasah al-Indonesi (sekolah Indonesia) jauh sebelum Indonesia bernama Indonesia.

“Menengok ke belakang buat melangkah jauh ke depan”, begitu Hamka dalam Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi-nya. Tiada guna kita membaca masa silam, kebesaran Islam tempo dulu, kenangan Minangkabau di masa dulu, bila kita tiada dapat mengambil pelajaran untuk menyongsong hari depan. Niscaya itu akan menjadi nostalgia dalam memori kolektif semata. Apa yang hendak kita lihat, bagaimana kita membangkitkan ghirah (semangat) agama seperti yang telah dicapai ulama-ulama silam itu? Salah satu jawabannya bercermin dengan pribadi mereka, lebih konkrit lagi kepada karya-karya besar yang mereka tinggalkan.

Orang boleh saja berkata, ulama-ulama dulu kuno, sistem pendidikannya kolot, tidak tahu teknologi dan lainnya. Tapi jangan salah, yang berkata tentunya akan terdiam. Beberapa penelitian mutakhir secara eksplisit membuktikan betapa canggihnya ulama-ulama silam. Betapa banyak sarjana-sarjana setingkat doktor berbondong-bondong mengkaji pendidikan tradisional di surau-surau atau pondok pesantren. Mereka yang dulu dianggap kuno, kini telah ibarat emas yang di cari. Dalam lapangan agama, misalnya, betapa banyak kita lihat saat ini lulusan-lulusan luar negeri yang dianggap menempuh pendidikan agama ala modern itu terperangah ketika mendengar seorang guru tamatan pesantren tradisional ketika menjelaskan Nahwu. Kita mendapat riwayat bagaimana Syekh Thaher Jalaluddin al-Falaki, Ulama Minangkabau di Pulau Penang itu membuat takjub ilmuan-ilmuan di Inggris karena hitungan astronomi yang begitu akurat. Dan kita mungkin melupakan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, yang pernah menulis Riyadhul Hisab (taman hitungan) dalam ilmu matematika. Atau Syekh Muhammad Sa’ad Mungka Payakumbuh yang lancar menulis sya’ir-sya’ir Arab seperti halnya pujangga-pujangga Timur Tengah. Dalam adagium orang tua-tua disebutkan, dikumpa sagadang kuku, dikambang saleba alam, begitulah keilmuan di surau.

Keilmuan surau memiliki beberapa karakteristik. Ulama-ulama surau menjaga keotentikan keilmuan dengan adanya sanad (mata rantai) yang mengharuskan orang-orang siak (murid) untuk ber-talaqqi (face to face). “Adab” lebih diutamakan dalam sistem pendidikan surau. Sopan santun kepada guru sangat ditekankan, selain itu juga kepada teman-teman belajar. Di surau juga dikenal istilah ijazah. Dalam pengertian sederhana ialah izin guru untuk mengajarkan kepada orang lain. Seorang murid mendapat ijazah setelah melengkapi beberapa syarat, terutama kemampuannya dalam menyerap pelajaran di surau. Ijazah biasanya dituliskan pada selembar kertas lengkap dengan mahor guru. Klasifikasi keilmuan di Surau lebih cendrung kepada apa yang dijelaskan al-Ghazali dalam Ihya’, yaitu terdiri dari 3 garis besar, Tauhid, Fiqih dan Tasawuf. Tauhid dengan mempelajari aqidah Ahl Sunnah wal Jama’ah atau i’tiqat Asy’ariyah; Fiqih mengikut Mazhab Syafi’iyah; dan Tasawuf dengan mengamalkan tarekat-tarekat mu’tabar, seperti Syattariyah, Naqsyabandiyah dan Sammaniyah. Ulama-ulama yang menguasai ilmu-ilmu ini, meminjam istilah dalam Tubsirah al-Fashilin ‘an Ushul al-Washilin, disebut ulama yang mempunyai dua sayap, lahia dan bathin. Begitu sekilas transmisi keilmuan Islam di Minangkabau.


Foto: Salah satu surat Ijazah seorang ulama di Pasaman Barat.

Siapa-siapa saja ulama Minangkabau yang mempunyai karya besar? Jawabnya sangat banyak sekali. Di antaranya ialah Syekh Burhanuddin Ulakan, Syekh Jalaluddin Faqih Shaghir Cangkiang, Syekh Isma’il al-Khalidi Simabur al-Minangkabawi, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Muhammad Sa’ad Mungka Payakumbuh, Syekh Muhammad Dalil Fatawi Bayang, Syekh Khatib ‘Ali al-Fadani, Syekh Thaher Jalaluddin, Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Syekh Abdul Karim Amrullah Danau Maninjau, Syekh Muhammad Jamil Jaho, Syekh Mudo Abdul Qadim Belubus, Syekh Muhammad Zein Simabur, Syekh Ibrahim Musa Parabek, Syekh Janan Thaib Bukittinggi, Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim dan Syekh Abdul Jalil Tuanku Mudo Bonjol Khatulistiwa.

Jakarta, 26 September 2012