Selasa, 10 September 2013

Yang berjasa, yang terlupakan (Bag. 1): Syekh Abdullah Khatib (w. 1890) gelar “Beliau Ladang Lawas”

Oleh: Hamba Allah yang dha’if Apria Putra
Ditulis berdasarkan ziarah ke makam Syekh Abdullah Khatib “Beliau Ladang Lawas”, Banuhampu, Agam. Selasa, 27 Agustus 2013, bertepatan dengan Syawal 1434 H. Dilengkapi dengan catatan-catatan tua dari Prof. Mahmud Yunus, Syekh Yunus Yahya Magek dan Abuya H. Sirajuddin Abbas.

Ulama-ulama yang kita tulis ini, meskipun tercatat dalam lembaran sejarah, namun sayang hanya segelintir kecil diantara kita yang mengenal, dan masih mengenang jasa beliau-beliau tersebut. Padahal, bila ditinjau dimasa-masa silam, ulama-ulama ini menjadi tumpuan ilmu pengetahuan Islam, selalu menjadi teladan. Meski mereka telah lama tiada, mereka tetap dipanuti, makamnya tetap diziarahi sebagai bentuk ta’zhim kepada ulama-ulama yang berjasa terhadap Islam di Minangkabau. Tulisan bersambung ini dilansir sebagai pengingat bagi kita, generasi penerus, untuk mengenal serta meneladani, hingga mempererat tali rohani dengan ulama-ulama Minangkabau di masa yang lampau itu.


Ulama-ulama besar masa silam yang terlupakan dari Ladang Lawas

Ladang Lawas, Banuhampu, ialah sebuah daerah yang terletak di lereng gunung Merapi, termasuk kawasan Luak Agam. Sejak berabad silam Ladang Lawas telah menjadi salah satu pusat keilmuan Islam yang mempunyai nama yang harum seantero Minangkabau. Beberapa daripadanya merupakan ulama kosmopolitan yang menorehkan tinta emas dalam perjalanan agama Islam di bumi Minangkabau. Di antara ulama-ulama yang pernah mukim dan memapankan karirnya di Ladang Lawas, di antara yang dapat kita catat, seperti Syekh Abdussalam Banuhampu yang hidup pada pertengahan abad 19 hingga awal abad 20, Syekh Muhammad Abbas yang lebih dikenal dengan Syekh Abbas Qadhi Ladang Laweh (wafat pertengahan abad 20), Syekh Abdul Malik Gobah (wafat dipertengahan abad 20), sedangkan yang menjadi ulama tertua yang dapat dicatat dari daerah ini ialah Syekh Abdullah Khatib, atau yang lebih dimasyhurkan dengan “Beliau Ladang Lawas”, ulama besar di abad 19.
Pada tulisan kali ini kita akan mengenang ulama besar Minangkabau dari Ladang Lawas, yang menjadi salah satu mata rantai keilmuan Islam Minangkabau pada abad ke 19, namun sangat jarang dibicarakan, apakah oleh para “orang siak” (baca: santri) masa kini, ataupun oleh para peneliti. Beliau ialah Syekh Abdullah Khatib Ladang Lawas, ulama tua yang menjadi guru dan panutan generasi ulama-ulama Minangkabau dimasa selanjutnya.

Syekh Abdullah Khatib dan kejayaan pendidikan Islam Minangkabau

Pada mawam makam beliau masih jelas inskripsi nisannya. Di sana tertulis “al-Fadhil Syekh Abdullah al-Khatib”, dengan khat naskhi yang cukup rapi. Dari nisan yang hampir hancur dimakan usia itulah informasi ringkas tentang pribadinya kita dapati. Beberapa orang yang ditanyai di sekitar makam tidak mengetahui siapa beliau, yang terucap hanya “beliau ulama tertua”. Syukur beberapa literatur lama (yang mungkin sekarang tidak dibaca dan dibuka oleh generasi-generasi muda) memberikan beberapa catatan perihal beliau Syekh Abdullah Khatib tersebut, sehingga masih terbuka celah bagi kita buat mengenal ulama besar yang satu ini.

(foto: al-faqir di makam Beliau Ladang Lawas, Agustus 2013)

Al-‘Allamah Prof. Mahmud Yunus, seorang tokoh pendidikan terkemuka dan ulama dari Batusangkar mencatat dalam “Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia” bahwa di antara ulama-ulama Minangkabau di abad 19 yang menjadi ikon keilmuan Islam ialah Syekh Abdullah Khatib Ladang Lawas ini. Namun, beliau tidak mengemukakan lebih lanjut perihal riwayat hidup Syekh tersebut, yang pasti Syekh Abdullah Khatib bersama ulama-ulama sezaman telah memainkan peran penting dalam transmisi keilmuan Islam, sehingga keilmuan Islam di Minangkabau dapat disebut setara dengan keilmuan Islam di Mekah. Sedangkan ketika itu Mekah menjadi pusat keilmuan. Hal ini dikarenakan Syekh Abdullah Khatib bertahun-tahun belajar agama dengan berbagai vak keilmuan di Mekah. Ketika beliau kembali ke Minangkabau, melalui lembaga surau, beliau terapkan sistem Mekah di lembaga tersebut. Sehingga banyak orang-orang berdatangan menimba ilmu pengetahuan darinya, murid-murid ini kemudian meneladani pula sistem yang beliau pakai di daerahnya masing-masing. Demikian Prof. Mahmud Yunus.

Dalam catatan tua Syekh Yunus Yahya Magek (1908-2000) dijelaskan lebih lanjut bahwa “Beliau Ladang Lawas” mempunyai dua keistimewaan yang membuat suraunya di Ladang Lawas terkenal diantara penuntut-penuntut ilmu kala itu, yaitu (1) keilmuan yang dimilikinya dalam bidang keagamaan sangat mendalam; (2) sistem pelajaran dan kitab yang diterapkannya di Surau Ladang Lawas ialah sistem dan kitab yang dipakai oleh lembaga-lembaga pendidikan di Mekah. Maka wajar bila Surau Syekh Ladang Lawas mempunyai nama besar, sering menjadi model percontohan dikalangan ulama-ulama kala itu. Tercatat bahwa ulama besar Syekh Muhammad Sa’ad Mungka Payakumbuh (1954-1922) perlu mengadakan perjalanan ke Ladang Lawas, disamping untuk menemui Beliau Ladang Lawas tersebut, beliau Sa’ad juga mengadakan semacam studi banding, sehingga ketika Syekh Sa’ad pulang ke Mungka (Suliki, Payakumbuh), beliau berupaya pula untuk menerapkan model pendidikan yang dipakai Syekh Ladang Lawas tersebut.

Demikian catatan yang ada.

Syekh Abdullah Khatib dan ulama-ulama besar Minangkabau

Dalam catatan-catatan yang ada disebutkan bahwa Syekh Abdullah Khatib mempunyai 2 orang murid yang menjadi ulama besar dikemudian hari. Dua ulama besar itu ialah (1) Syekh Yahya al-Khalidi Magek; dan (2) Syekh Abdullah “Beliau Halaban” (w. 1926).

Syekh Abdullah Halaban, atau yang lebih dikenal dengan gelar “Beliau Halaban” (Beliau Loban), ulama besar yang diakui kealimannya di Tigo Luak (Tanah Datar, Agam dan Lima Puluh Kota). Beliau terkemuka dikalangan ulama-ulama semasa karena kemahirannya dalam ilmu-ilmu keagamaan yang pelik-pelik, seperti fiqih, ushul fiqih dan mantiq. Di antara murid-muridnya yang terkemuka ialah (1) Syekh Sulaiman ar-Rasuli Candung; (2) Syekh Muhammad Jamil Jaho; (3) Syekh Ibrahim Harun Tiakar Payakumbuh; (4) Syekh Syarif Lintau; (2) Syekh Muhammad Ruslan Limbukan Payakumbuh; (3) dan lain-lainnya.
Syekh Yahya al-Khalidi dikenal sebagai ulama besar, seorang sufi yang memegang tarekat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Syekh Yahya mempunyai surau terkemuka di Magek Kamang. Surau tersebut bernama Surau Baru, yang kemudian menjadi salah satu pusat keilmuan pula di Luak Agam. Di antara murid-murid Syekh Yahya Magek yang kemudian menjadi ulama besar ialah, (1) Syekh Sulaiman ar-Rasuli Candung; (2) Syekh Abbas Qadhi Ladang Laweh Banuhampu; (3) Syekh Sulaiman Ghani Magek; (4) Syekh Mahmud Abdullah Tarantang Harau Payakumbuh; (5) anak beliau, Syekh Yunus Yahya Magek; (6) dan banyak lagi lainnya.

Dari jaringan murid-murid yang berhulu dari “Beliau Ladang Lawas” ini, dapat dikatakan bahwa “Beliau Ladang Lawas” sebagai guru dari guru ulama-ulama besar Minangkabau. Beliau menjadi teladan, mata rantai keilmuan, hingga sampai kepada ulama-ulama kita saat sekarang ini, terutama ulama-ulama yang tergabung dalam Persatuan Tarbiyah Islamiyah.

Mawan Syekh Abdullah Khatib dan situasi masa kini

Lebih seabad sudah Syekh Abdullah Khatib “Beliau Ladang Lawas” wafat. Makamnya masih dapat dikenali meski telah rimbun ditumbuhi semak-semak liar. Makamnya terletak dalam satu kubuh yang masih kokoh meski berusia tua. Dalam kubah tersebut, selain makam beliau, terdapat pula batu mejan lainnya, yang tidak dikenali siapa yang bermakam di situ.
Demikianlah sepenggal riwayat seorang ulama besar Minangkabau, guru dari guru ulama-ulama Minangkabau. Semoga kita semakin mempunyai kesadaran dalam mengenang, meneladani perjuangan ulama silam, dan mempunyai kesadaran untuk merawat pusaranya, serta kesadaran dalam menghargai orang-orang yang berjasa terhadap Islam di Minangkabau ini.


Sungai Antuan
Mungka, negerinya ulama-ulama di masa silam.

al-faqir Apria Putra al-Khalidi Naqsyabandi