Minggu, 19 Februari 2012

Tudingan Kaum Muda dan Kaum Sufi Minangkabau: Fakta, keprihatinan dan harapan

oleh: Faqir yang Karam dalam laut Taqshir, Apria Putra


Suatu sore, dihari jum’at, saya berkesempatan menziarahi seorang ulama tua di Batuhampar. Beliau, Buya H. Sja’rani Chalil Dt. Majo Reno (lahir 1926), cucu dari ulama besar Minangkabau di Sumatera yaitu Maulana Syekh Abdurrahman bin Abdullah al-Khalidi “Beliau Batuhampar” (w. 1899), masih sehat bugar di usia senjanya di komplek Surau Dagang Batuhampar (sekarang Madrasah al-Manar), masih seperti keadaan dimana saya mengunjunginya dua tahun yang lalu. Air wajahnya menunjukkan kejernihan, lazim, sebab beliau turunan dari ulama-ulama Batuhampar yang terkemuka di Minangkabau, pewaris Tarikat Naqsyabandiyah sejak mula pelajaran agama tertancap kuat di Sumatera Tengah ini. Meski jernih wajah tetap menyinarkan semangat, namun ada gerangan yang mengganjal hati beliau. Bagaimana tidak, beberapa orang muda telah pula hendak mengoyang sendi Kaum Sufiyyah di daerah ini, hanya berbekal buku-buku yang dijual dengan promosi penuh rayuan akan para remaja dan orang muda. Beliau menggelengkan kepala membaca buku itu, sebab badan telah pula tua, suara tak selantang dulu semasa muda, mata telah kabur dimakan usia, sedang orang-orang muda masih kuat, tulang masih togok, pikiran masih nyalang menyala. Beliau berfikir, para generasi penerus tiada lagi yang mampu mempaham kitab kuning, Nahwu, Sharaf, Ma’ani, Bayan, Badi’, Mantiq dan Ushul, belum ada yang tajam, pisau-pisau yang dibawa masih tumpul belaka, bagaimana akan dibawa untuk mendedah dalil-dalil hendak membela Tarikat ini. dan ketika itu aku terhenyak, diam menekur. Sedangkan sedari dulu, lebih seratus tahun yang lalu, Batuhampar, adalah pusat agama Islam, turun-temurun mengajarkan Tarikat Naqsyabandiyah, dan Minangkabau sejak mula Islam mencapai jaya, telah dihuni oleh Ulama-ulama Sufi belaka, yang tak terpungkiri mereka telah memainkan peran sangat krusial dalam dakwah Islam ke berbagai belahan negeri, dari yang dekat hingga yang jauh-jauh. Kemudian beliau, Buya Sya’rani, bercerita tentang ulama-ulama Silam, mengenai laut ilmu mereka, dalam faham dan fasih lidahnya, seperti Syekh Abdul Wahid as-Salihi “Beliau Tabek Gadang” (w. 1950), atau yang kitab-kitab dalam benaknya, seperti Syekh Muda Wali Aceh. Dan aku terharu, tak berkedip, ditambah senyum merekah muda dari wajah tua Buya tersebut.

“dan kita harus rapatkan barisan”, sebab yang akan membuka langkah buat menghadang kita adalah mereka yang berpendidikan mesir, yang lancar bahasa Arab ‘Ammiyah-nya, yang retorika pidatonya jempolan, pandai benar mencari alasan-alasan buat menginjak Tarikat ‘Aliyah ini, ditambah hafal pula hujjah-hujjah Ibnu Taimiyah, telah pula tamat membaca kitab Ibnu Qayyim, tahu letak pendapat-pendapat Abdul Wahab, bergaya kesalafi-salafiyan, bila berbicara berhamburan ayat dan hadist, tiada kenal lagi Minhaj, Mughni, Qaliyubi, ‘Amirah, Tuhfah, Nihayah, tiada mau berpedoman pada Ihya’, Qusyairi, Qutul Qulub, melarang berpitua kepada Syafi’i dan Asy ‘Ary, apa lagi...

Bagaimana kita hendak menahan laju zaman, masa telah bertukar. Orang tua-tua yang alim Allamah, telah pula berganti dengan yang muda. Mulai dari Surau yang pernah mencapai keemasan, gilang gumilang di Alam Minangkabau, telah beransur bertukar dengan Madrasah, kemudian terakhir memakai nama Pesantren. Itulah kehendak zaman. Ada pula surau yang ditinggal lapuk saja, atau pula gonjong-gonjongnya yang bertingkat menarik hati, kemudian menjadi memujuk-mujuk mata, tempat berwisata, bahwa ini Minangkabau masa silam. Namun, sampai hatikah kita?? Sampai hatinya hendak merubah agama yang telah sejak semula diwariskan kepada kita, kemudian membelakangi kaji ulama-ulama Silam??? Sudah alim-kah kita dari mereka?? Sebab mereka tiada tahu dengan teknologi, tiada pandai bermanis-manis dengan retorika dan stilistika linguis, kita lihat mereka dalam keadaan usang, berbungkus kerisik. Tahukah kita??? Kalau ada intan, lukluk marjan, permata nilam, ratna manikam dalam kain yang telah lama itu???? Niscaya tuan-tuan tiadakan dapat menjawab.

Mereka, orang-orang yang mengaku ‘alim, yang hendak merongrong kaum Sufi itu, merasa bangga dengan “pembaharuan”, yang mereka gembar gemborkan dengan semboyan menggairahkan “memurnikan ajaran Islam, kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah”. Sebuah rayuan cantik, yang mampu menggoda para pelajar dan orang-orang muda yang tidak mempunyai dasar akar agama yang kokoh. Dengan kalimat sedemikian, berarti hanya mereka yang mengikut al-Qur’a dan Sunnah, sedangkan masyarakat banyak, berikut ulama-ulama silam telah jauh dari al-Qur’an!!! Na’uzubillah. Nyatalah telah tertipu mereka. Malah sebaliknya, ulama-ulama silamlah yang nyata memegang al-Qur’an dan Sunnah secara lurus, mengikut para Mujtahid yang telah ijma’ secara masyhur, mengikut akidah yang lurus, kitab dalam kepala, ilmu diamalkan, soal ibadahnya tiada orang-orang sekarang yang mampu menyaingi, bayangkan saja ulama-ulama silam itu hanya dengan berjalan kaki ke Mekkah, dan soal dengan dekat Allah tiadakan terkira sebab zhahir sekali karomah-nya. Bagaimana dengan orang-orang yang mengaku alim zaman sekarang???

Mulanya adanya pergolakan agama di Minangkabau, atau apa yang disebut dengan “pembaharuan” itu, mula terjadi pada awal abad XX (“Pembaharuan” dalam masa Paderi bukan pada konteks ini, para pemimpin Paderi nyata merupakan ulama-ulama sufi belaka), walau seabad sebelumnya ada serangan Syekh Salim Sumair dan Sayyid Usman bin Aqil terhadap Syekh Isma’il bin Abdullah al-Minangkabawi, namun serangan itu nyatanya hanya tertuju pada pribadi belaka, bukan pada Tarikat yang dianutnya, ini dapat dilihat pada kitab al-Wasiqatul Wafiyah fi ‘Uluwwi Syani Thariqatus Sufiyyah (terbitan Batavia, 1882). Pada awal abad XX tersebut, beberapa ulama muda di Minangkabau mulai mempertanyakan keabsahan Tarikat Naqsyabandiyah. Munculnya pertanyaan ini disinyalir besar karena bacaan-bacaan mereka terhadap Majalah al-Manar (Mesir) dan Majalah al-Imam (Pulau Penang). Nama seorang ulama besar asal Ampek Angkek (Agam), Syekh Ahmad Khatib bin Abdul Latief al-Minangkabawi (w. 1916) menjadi masyhur sekali sebab serangannya terhadap Tarikat Naqsyabandiyah lewat kitab Izhar Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bis Shadiqin (terbitan 1906), yang menyerupakan orang pakai rabithah dengan orang menyembah berhala. Kecaman ini telah dikupas habis oleh seorang ulama besar, pendekar Naqsyabandiyah, Syekh Muhammad Sa’ad bin Tintak al-Khalidi Mungka Tuo (w. 1922) lewat Irghamu Unufil Muta’annitin fi Inkarihim Rabitathal washilin (dalam Ayah-ku, Hamka, dengan rada menyindir menyebutkan bahwa Syekh Ahmad Khatib telah membasuh dalil-dalil Syekh Mungka, apakah benar demikian kejadiannya?? Apakah Hamka sudah membanding-bandingkan dua kitab ini?? sedangkan Hamka keliru menyebutkan judul kitab Syekh Mungka tsb). Perdebatan ini berlanjut antara dua ulama besar ini lewat kitab-kitabnya. Hingga akhirnya mereka merasa puas dengan pertahanan masing-masing. Dan dalam satu pertemuan jamuan makan di Mekkah, kedua ulama ini bertemu muka, Syekh Ahmad Khatib cukup tercengang dengan pribadi Syekh Mungka yang selama ini hanya dikenal melalui khabar lisan dari para jamaah haji. Keduanya kemudian berbincang-bincang dalam keramah-tamahan.

Kitab perbantahan dua ulama besar ini menjadi kajian ulama-ulama di Sumatera, mereka membanding-bandingkannya, untuk menilai dan memimbang mana yang tahqiq antara keduanya. Kemudian ulama besar seluruh Aceh, Maulana Syekh Muda Wali al-Khalidi Aceh, pendiri dayah besar Darussalam Labuhan Haji, mengomentari perdebatan ini, dengan menyatakan keunggulan Syekh Mungka, dan menyebutkan bahwa kitab Syekh Ahmad Khatib ibaratkan “Harimau yang telah dipancung lehernya”.

Dua orang ulama terkemuka Minangkabau lainnya juga mengomentari kitab Syekh Ahmad Khatib, diantaranya Syekh Muhammad Khatib ‘Ali di Padang, lewat kitabnya Miftahus Shadiqiyyah fi Istilahin Naqsyabandiyah (1908) dan, Ulama besar asal Bayang, Syekh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi (Syekh Bayang), selaku murid dari Syekh Abdurrahman Alahan Panjang, lewat kitabnya Targhub ila Rahmatillah. Keduanya menyatakan haq atas Tarikat Naqsyabandiyah.

Ketahuilah ikhwan!! Bahwa Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi adalah seorang ulama besar dalam Mazhab Syafi’i juga, meski dalam Tarikat beliau tidak sepakat dengan penggunaan rabithah, namun beliau itu pun juga seorang sufi belaka, dan mempunyai pandangan-pandangan khusu mengenai Tarikat, ini dapat kita lihat dalam kitab karangan beliau, yaitu Fathul Mubin fima yata’allaqu bi Umuriddin (terbitan Mekkah, tahun 1901). Beliau memang radikal dalam soal adat berpusaka kepada kemenakan, namun selain yang satu itu, beliau adalah seorang ulama bijaksana. Dengan demikian gugurlah anggapan para akademisi yang menilai bahwa Syekh Ahmad Khatib adalah sosok radikal tulen, yang memproduksi para pembaharu di dunia melayu, sedangkan murid-muridnya banyak pula yang menjadi ulama Tarikat ahli Sufi yang besar-besar.

Kemudian sebahagian murid-murid Syekh Ahmad Khatib yang pulang ke Minangkabau disebut menjadi pendebat Naqsyabandiyah ulung, seperti Syekh DR. Abdul Karim Amarullah (ayah Hamka), DR. Haji Abdullah Ahmad Padang (Direktur Adabiyah, redaktur al-Munir), ada lagi seperti Syekh Muhammad Jamil Jambek, ada pula seorang akademisi yang menyebut nama Syekh Muhammad Thayyib Umar Sungayang sebagai salah seorang mereka. Tahukah bahwa perjalanan dari setiap pribadi mereka sangat bersinggungan dengan Tarikat Ahli Sufi??? (hal ini akan penulis kupas agak panjang dalam tulisan lain), dan mereka adalah ulama-ulama dari Mazhab Syafi’i belaka.

DR. Abdul Karim Amarullah, anak dari seorang ulama besar atas dasar Tarikat Naqsyabandiyah di Maninjau, Syekh Amarullah Maninjau, adalah seorang ulama berjiwa Tasawuf pula, beliaupun telah mengambil Tarikat ‘Alawiyah dan Hadadiyah kepada ayahnya. Dan beliau tetap berpegang kepada pitua Syafi’iyah, meski dalam satu dua masalah beliau agak kasar.

Berikut, Abdullah Ahmad, redaktur majalah al-Munir itu, tetap pula berpegang pada kitab-kitab Syafi’iyah, sebagaimana kitab lihat dalam setiap bahasan majalah al-Munir.

Syekh Muhammad Jamil Jambek, ulama terkemuka ahli Falak itu, dikenal pula telah menerima Tarikat Naqsyabandiyah. 2 jilid karangan beliau, berjudul “Penerangan tentang Asal Usul Tarikat Naqsyabandiyah” (yang terbit agak lama, 1940-an), secara hati-hati mempertanyakan Naqsyabandiyah, tidaklah beliau berkeras. Setelah itu tiada pula terdengar gaungnya.

Perihal Syekh Muhammad Thayyib Umar sungayang, seorang ulama tokoh pendidikan, tak habis pikir kita bagaimana para akademisi memasukkan namanya menjadi seorang yang “radikal” itu. Beliau memang memajukan pelajaran agama dengan ilmu bantu, yaitu ilmu-ilmu umum, beliau juga memang suka sindir menyindir, suatu yang lumrah, suka berpantalon, meski nampaknya beliau lebih suka memakai sorban layaknya ulama-ulama besar masa itu. Beliaupun murid seorang Syekh Tarikat Naqsyabandiyah yang besar, Syekh Muhammad shaleh Padang Kandih (w. 1912, ayah “Beliau Tobekgadang” yang terkenal itu), andainya saja beliau tiada belajar Tarikat itu, mustahil beliau tiada mendengar atau menyaksikan dengan pikiran akan Tarikat Naqsyabandiyah di Munggu tersebut. Dan dalam “Soeloeh Melaju” (1914), terbit berita bahwa beliau tiada suka namanya disebut-sebut sebagai salah seorang corong al-Munir.

Jika disebut Syekh Thahir Djalaluddin, ulama besar asal Agam pula, yang hidup di tanah Malaya, sebagai penentang berat, tidak pula kita menemukan bukti. Sebagai seorang ulama lanjut, beliau tetap sebagai Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Memang beliau dalam al-Imam telah meniru gaya al-Manar, sebab beliau memang bertemu Abduh dan Rasyid Ridha di Mesir. Muridnya yang cukup dekat, Haji Bakhtiar Djamili, dalam biografinya, memberikan informasi bagaimana wirid-wirid Syekh Thahir, berikut Tarikat-tarikatnya, beliaupun juga seorang yang mahir silat, layaknya ulama-ulama tua Minangkabau lainnya.

Jika ditonjolkan dua tokoh pembaharu Mesir terkemuka, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, ketika kita mendalami riwayat hidup dua tokoh ini, nyatalah keduanya mempunyai riwayat kedekatan dengan para tokoh sufi berikut Tarikat-tarikat yang ada di Mesir, seamsal Rifa’iyah. Hal ini telah diungkap oleh Elizabeth Sirriyeh, pakar Sufisme dari University of Leeds, dalam “Sufis and Anti-Sufis”-nya
Dan sekarang kita lebih terperanjat lagi. Kalau pergolakan agama yang terjadi hampir seabad yang lalu itu lahir dari ulama-ulama besar, tahu kitab, satu guru, memakai kearifan “orang Minang”, dan mereka masih Syafi’iyah, yangmana mereka berdebat dengan mengarang kitab, mereka tiada mau mencaci terlalu kasar, tetap solit meski paham tak sama, namun sekarang apa yang kita lihat sudah sangat jauh.

Sekarang (abad 21), kebanyakan faham-faham yang membelakangi kaji ulama-ulama Minangkabau dulu itu dibawa oleh tamatan Timur Tengah, termasuk Madinah, Mesir, Sudan dan lainnya (meski tidak semuanya seperti itu, namun gerak langkah yang sebahagian itu telah begitu jauh). Meski beberapa dasawarsa silam (awal abad XX), ada pula orang Minangkabau yang belajar ke Mesir, seperti Syekh Thahir, Syekh Jalaluddin Thaib Bukittinggi (Pendiri Madrasah al-Indonesia di Mekkah), Prof. Mahmud Yunus, Prof. Mukhtar Yahya, Nasharuddin Thaha, Mukhtar Luthfi, dan lainnya, namun tidak seperti ini ronanya.

Memang, sebagai diutarakan Elizabeth Sirriyeh lewat risetnya, Mesir telah dipengaruhi oleh Abduh dan Rasyid Ridha. Keduanya memainkan peran penting dalam memberantas Tarikat-tarikat Sufi, lewat kedudukan Abduh sebagai Mufti Mesir, dan muridnya Rasyid Ridha yang aktif menulis dalam “al-Manar” yang begitu berpengaruh, berikut kecaman terhadap prilaku “Taqlid” dalam Mazhab fiqih tertentu. Begitu halnya.

Dengan slogan yang amat manis, “memurnikan ajaran Islam itu dari khurafat, kembali kepada al-Qur’an), mereka (keluaran Timur Tengah) berpidato penuh retorika, atau lewat blosur-blosur jum’at memberitahu kalau masyarakat telah terperosot jauh, telah syirik dan bid’ah, sehingga banyak orang-orang awam dan para pelajar terpedaya. Mereka pakar jargon “Salaf” sebagai tren untuk idola, sangat menawan dengan reklame: “mencontoh Salafus Shaleh”; indah, namun sangat perlu diwaspadai. “Salafi” sebuah nama populer bagi “Wahabi”, yang hendak pula mendangkalkan akidah dengan menyatakan bahwa Tauhid itu cuma mengerti “Uluhiyah” dan “Rububiyah”, sebuah keniscayaan. Generasi muda takkan kenal lagi istilah “Ta’luq Tanzihi Hadis” dan “Ta’luq Suluhi Qadim”, dan takkan mengerti lagi dengan “Kam Mufassal” dan “Kam Mujmal”, tak pula kenal dengan istilah “Duur” dan “Tasasul”, hingga tak tahu “Sifat Dua Puluh” yang membuat orang tua-tua kita dulu sampai kepada “Ma’rifat”. Sebab mereka hanya belajar Tauhid “Uluhiyah” dan “Rububiyyah”, TITIK. Wajar kalau mereka membatalkan suatu amal yang tidak termakan oleh otaknya, seperti ber-“Tahlil” dengan suara melengking khas “Sammaniyah”, atau tidak percaya dengan “Khariqul lil Adah” (peristiwa diluar logika, atau “Karomah”). Memilukan.

Kebanyakan brosur-brosur mengenai “Salafi” dikirim dari Saudi Arabia, dikeluarkan oleh sebuah departemen yang dikendalikan oleh ulama-ulama Wahabi, yaitu “Departemen Dakwah dan Irsyad”, kumpulan dari ulama-ulama resmi dari “Alu Syaikh” (keluarga/ yang sepaham dengan Syekh Abdul Wahab, sesepuh Wahabi), tersebut nama-nama Abdullah bin Bazz, Shalih Fauzan, dan lainnya, yang mengeluarkan fatwa ganjil-ganjil yang tiada dikenal dimasa Imam yang Empat. Kemudian diperparah dengan munculnya Nashiruddin al-Bani, yang dikatakan ahli Hadist, padahal dia hanya belajar secara otodidak, tidak menerima secara “musalsal” dari guru ke guru (layaknya seorang ulama Hadist yang sejati), yang telah dibuka kedok kesesatannya oleh puluhan ulama dari berbagai penjuru dunia, lewat berbagai macam “Risalah” dan “Kitab”.

Seperti itulah realita yang kita hadapi, mau bagaimanapun mesti kita lalui. Karena pepatah Arab memang benar: “Setiap yang jatuh, mesti ada yang memungutnya”. Maka salahnya dalam syara’, ialah hendak merobah sesuatu yang terlah di-“Ijma’”-i sejak dahulu kala. Kalau salah dalam adat, menyebarkan faham-faham baru yang menyalahi orang banyak disebut dengan DAGO-DAGI (mangguntiang nan lah bunta, manyubik nan lah rato), salah diundang-undang Duo Baleh. DAGO = membatalkan mufakat yang telah adil dalam Negeri (=Mufakat Agama). DAGI = membuat haru biru dalam Nagari (yaitu huru hara dengan memasukkan faham baru yang membuat ricuh masyarakat). Karena tersebut Minangkabau, Indonesia, Dunia Melayu umumnya, sejak dahulu telah kuat memegang Mazhab Syafi’i, ber-“I’tiqat” Ahlissunnah wal Jama’ah, dan memakai Kearifan Tasawuf lewat pengamalan Tarikat-tarikat “Mu’tabarah”. Bukan Ahlussunnah versi Wahabi, bukan pula Ahlussunnah versi Ibnu Taimiyah.

Itulah yang dipegang oleh umat Islam, sejak mula Islam itu masuk ke nusantara, diakui oleh sejarawan manapun. Bahkan ketika terjadi “Sumpah Satie Bukik Marapalam”, pengukuhan pertalian adat dan syara’ di Puncak Pato, Lintau, dimasa Paderi, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “Syarak nan Kawi, Adat nan Lazim” itu adalah agama Islam dengan I’tikad Ahlissunnah wal Jama’ah dan atas Mazhab Syafi’i dalam Fiqih. “Dipotong Kabau, Dagiang dilapah, Darah dicacah, Tanduak dibanam ka Tanah, di Mulai jo Fatihah, disudahi jo Do’a, Sia nan Malangga akan dimakan Biso Kewi, Kaateh Indak Bapucuak, Kabawah Indak Baurek, Ditangah digiriak Kumbang…”.
Begitulah keadaan yang kita terima. Tiada jalan hendak memperjuangkan agama di Ranah Minang ini, kecuali dengan merapatkan barisan, mewariskan ilmu yang kita terima dari ulama-ulama silam, kembali membuka kitab-kitab yang telah lama berdebu, mengisi kembali pengajian kita, mempertegak kembali tonggak-tonggak surau yang telah condong akibat masa. Intinya mendirikan pekerjaan agama, mendidik tunas muda dengan penuh kesungguhan, menyiapkan regenerasi buat memperjuangkan agama dizaman mendatang, melafazhkan kembali “kitab kuning” tanpa menghiraukan omongan kaum Modernis yang menganggapnya dengan sebelah mata, kita singkap intan berlian dari kain yang telah usang, biar berpindah ke kain yang baru. Biar cemerlang ranah Minang ini; “dalam nan indak tajangkau, dangka nan indak tasubarangi, buayo gadang maunikan”, sebagaimana dahulu. Biar zaman bertukar, meski gaya dan rono berganti, namun dalam agama tetap teguh dalam akidah, “Bagantuang ka Tali nan Indak Kaputuih, Bapagang ka raso nan Indak ka hilang”, itulah “Iduik nan ka dipakai, mati nan ka di tompang”.

Dan saya masih tertegun, diam menekur, sambil mengapit kitab lama bertuliskan tangan yang telah berusia lebih dari 200 tahun ini, Kifayatul Muhtajin ila Masyrabil Muwahidin bi Wahdatil Wujud karya Syekh Abdurra’uf Singkel, titipan Buya Sya’rani Khalil Dt. Majo Reno.