oleh: al-Faqir Ilallah Apria Putra
Tulisan ini berdasarkan kitab “Tabligul Amanah fi Izalati Khurafat wa Syubhah” (Syekh Sulaiman ar-Rasuli, ditambah surat panjang dari Syekh Yunus Yahya Magek, 1954), “Gerakan Kaum Tua di Minangkabau” (Disertasi Prof. Sanusi Latief, 1988), “Kitab Lima Serangkai”, “Majalah Sinar Keemasan” (1964), “Rahasia Mutiara Tarikat Naqsyabandiyah”, “Pertahanan Tarikat Naqsyabandiyah” (1950), “Buku Penutup Umur” (Karangan H.Jalaluddin)
Ulama-ulama Minangkabau, yang notabene-nya merupakan para alim yang memegang Tarikat-tarikat Ahli Sufi telah memainkan peran penting dalam perjalanan agama di pulau perca ini. keadaan ini paling tidak tetap berlaku hingga awal abad XX, sebelum datangnya angin pembaharuan yang di bawa oleh apa yang disebut sebagai “Ulama Muda” atau “Kaum Muda”, dimana mereka dengan segala daya, berikut hujjah-hujjah yang keras dan kasar menghantam pengalaman ulama-ulama Silam. Untuk hal ini, tulisan Martin van Bruinessen (berjudul “Tarikat: Amalan Dunia dan Akhirat?” dalam Kitab Kuning-nya) telah membuka tabir realita andil kaum Tarikat dalam dinamika Islam berikut dalam pencapaian kemerdekaan republik ini. Ini tidak terbantah.
Pada tulisan kali ini kita akan melihat satu peristiwa penting, dikalangan ulama-ulama Tarikat di Minangkabau dalam merespon dinamika intelektual Islam di daerah ini. peristiwa, yang mungkin kurang dibicarakan para sejarawan Islam di daerah ini ialah Konferensi Ulama-ulama Tarikat Naqsyabandiyah yang diadakan di Bukittinggi, pada tanggal 17-18 januari 1954. Konferensi ini diadakan oleh Dewan Tarikat Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), yang dihadiri oleh oleh 280 ulama-ulama, guru musyid dan khalifah-khalifah Naqsyabandiyah se-Sumatera Tengah, diantara ulama-ulama besar yang hadir dalam konferensi tersebut:
1. Syekh Abdul Ghani Batu Basurek – Kampar, Riau. Beliau Syekh Tarikat Naqsyabandiyah terkemuka setelah Syekh Abdul Wahab Rokan al-Khalidi. Yang sewaktu konferensi tersebut, Beliau –Syekh Ghani Batu Basurek- berumur 143 tahun (wafat 1961 dalam usia yang sepuh 150 tahun).
2. Syekh Sulaiman ar-Rasuli Candung, ulama besar Perti. Waktu itu beliau berusia 83 tahun (wafat ditahun 1970, dalam usia senja 99 tahun).
3. Syekh Muhammad Sa’id al-Khalidi – Bonjol. Diwaktu itu beliau berusia 74 tahun (beliau wafat di Bonjol pada tahun 1979, dalam usia 99 tahun).
4. Syekh Mudo Abdul Qadim Belubus (wafat pada tahun 1957).
5. Syekh Adam Palembayan – Agam.
6. Syekh Ibrahim Harun Tiakar Payakumbuh (wafat di tahun 1961)
7. Syekh Abdul Majid Koto nan Gadang – Payakumbuh.
8. Syekh Darwisy Arsyadi Batu Hampar Payakumbuh, cucu dari yang mulia Syekh Abdurrahman Batu Hampar.
9. Syekh Muhammad Zain Kumpulan – Lubuk Sikaping.
10. Syekh Abdussalam Bangkinang – Kampar.
11. Syekh Mansur Kamang Bukittinggi
12. Syekh Ma’shum Penampungan – Bukittinggi.
13. Syekh Muhammad Yunus Tuanku Sasak – Talu, Pasaman
14. Syekh Yunus Yahya Magek – Bukittinggi
15. Syekh Husen Amini al-Khalidi Pasia – Bukittinggi
16. Syekh Yahya al-Khalidi Malalo – Tanah Datar
17. Syekh Umar Lubuk Sikaping, Pasaman
18. Syekh Hasyim al-Khalidi Pariaman
19. Syekh Abdurrahman al-Khalidi Simalanggang – Payakumbuh
20. Syekh Dzulqarnain al-Khalidi Situjuh – Payakumbuh
21. Syekh Abu Bakar al-Khalidi, Maninjau
22. Syekh Abdurrahman Kuran-kuran, Lubuk Sikaping
23. Syekh Abdul Wahab al-Khalidi Pelangi PSK
24. Syekh Muhammad Rasyad Koto Marapak, Pariaman
25. Syekh Muhammad Syafi’i al-Khalidi Pandai Sikek, Padang Panjang
26. Syekh Muhammad Kanis “Tuanku Tuah”, Batu Tanyuah.
27. Syekh Abu Syamah al-Khalidi Tigo Baleh, Bukittinggi
28. Syekh Sulaiman al-Khalidi Malampah, Lubuk Sikaping
29. Syekh Zakaria Labai Sati Malalo, Tanah Datar
30. Syekh Sulaiman al-Khalidi Magek, Bukittinggi
31. Syekh Qulan al-Khalidi Painan, Pesisir Selatan
32. Syekh Mahmud Abdullah “Beliau Tarantang”, Payakumbuh
33. Syekh Arifin Jamil “Tuanku Solok” Kamang, Bukittinggi
34. Syekh Jamaluddin al-Khalidi Padang Luar Kota
Salah satu agenda konferensi itu ialah mengoreksi buku-buku H. Jalaluddin (beliau ini mertua dari Prof. Kadirun Yahya yang terkenal dengan konsep “Suluk Metafisika”-nya itu) yang kala itu banyak beredar. Buku-buku itu banyak memuat pelajaran Tarikat Naqsyabandiyah, yang menurut hemat konferensi tersebut banyak terdapat kesilapan. Hal ini penting sebab H. Jalaluddin diketahui bukan sebagai seorang ulama yang mumpuni untuk membahas masalah-masalah Tarikat, dalam riwayatnya disebutkan bahwa H. Jalaluddin tidak belajar agama layaknya orang-orang siak masa itu, kebanyakan pengetahuannya disinyalir hanya diperoleh dari bacaan buku saja, dan mengenai ijazah Tarikatnya yang dikatakan berasal dari Syekh Ali Ridha jabal Qubais patut dipertanyakan keabsahannya.
Foto: Sampul kitab "Pertahanan Tarikat Naqsyabandiyah" karangan H.Jalaluddin, terbitan Tsamaratul Ikhwan (Bukittinggi) tahun 1950. salah satu kitab yang dikoreksi oleh Konferensi Tarikat Naqsyabandiyah di Bukittinggi
Hasil dari konferensi tersebut kemudian ditulis oleh Syekh Sulaiman ar-Rasuli dalam sebuah risalah yang berjudul Tablighul Amanah fi Izalatil Munkarat wasy Syubhah, yang berarti menyampaikan amanat untuk menghilangkan kemungkaran dan syubhat yang dimasukkan dalam Tarikat Naqsyabandiyah.
: Sampul Kitab Tablighul Amanah susunan Syekh Sulaiman ar-Rasuli (cetakan kedua oleh Maktabah Nusantara, Bukittinggi, 1954), kitab ini disertai satu surat panjang dari Syekh Yunus Yahya Magek
Di dalam risalah ini disebutkan sebanyak 33 kesalahan H. Jalaluddin dalam karangan-karangannya. Keputusan dari konferensi tersebut disebutkan:
a. Bahwa buku-buku yang dikarang oleh pengarang tersebut yang berkenaan dengan tarikat banyak sekali mengandung kesalahan
b. Bahwa membaca buku-buku itu haram atas orang yang belum membedakan salah dan benar yang tersebut dalam buku-buku tersebut.
c. Bahwa menaruh buku-buku tersebut haram kalau tidak dicoreng mana yang salah
d. Wajib memberitahukan orang yang belum tahu akan kesalahan buku tersebut.
Risalah ini diterbitkan pada tahun 1954 pada percetakan KAHAMY, Bukittinggi. Kemudian dicetak ulang pada percetakan Nusantara, Bukittinggi, 1954, disertai dengan satu surat yang panjang dari H. Yunus Yahya, isinya membantah keras pembelaan H. Jalaluddin (yaitu dalam buku “Lima Serangkai”) yang dinilai merendahkan Syekh Sulaiman ar-Rasuli.
Meskipun buku-buku H.Jalaluddin telah diberi lampu merah oleh ulama-ulama Minangkabau di tahun 50-an itu, namun beberapa bukunya yang kemudian masih dicetak ulang masih mempunyai banyak peminat, yang tentunya mereka yang belum membaca “Tabligul Amanah”. Setelah wafatnya, kepemimpinan PPTI (Persatuan Pengamal Tarikat Islam) yang didirikannya dipimpin oleh muridnya Syekh Mustary, Tarikat-nya pun mempunyai cabang yang lumayan banyak, bahkan sampai ke Malaysia.
Foto: Sampul "Kitab Lima Serangkai" (1964) karangan H.Jalaluddin, dimana dalam tulisannya ini disebutkan pembelaannya, buku ini dipandang sebagai bentuk merendahkan Syekh Sulaiman ar-Rasuli, karena disertai dengan kata-kata yang tak pantas.