Selasa, 21 Januari 2014

Mengenang Drukkerij al-Islamiyah Fort de Kock: Penerbit Turats Ulama Minangkabau di Masa Pemerintahan Belanda

Oleh: al-Faqir Apria Putra

Data dalam artikel ini bersumber dari beberapa literatur, antara lain buku “Riwayat Hidup Ulama Syafi’iyyah” (Syekh Yunus Yahya Magek, 1976), “Ayah Kita” (Abuya Baharuddin ar-Rasuli, 1978) dan “Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i (Abuya Sirajuddin Abbas, 1973).

Minangkabau, di masa penjajahan Belanda dikenal sebagai salah satu pusat percetakaan Arab di Indonesia. Hal ini dibarengi dengan tingginya minat baca seiring lahirnya karya-karya tulis ulama di kawasan ini. Dengan demikian tak heran bila Minangkabau waktu itu menjadi pusat intelektual Islam yang ditandai dengan berdirinya ratusan Madrasah hasil formulasi dari surau-surau yang ada di abad sebelumnya.

Terdapat puluhan penerbit dan percetakaan Arab saat itu, antara lain yang terkenal Tsamaratul Ikhwan (Bukittinggi), KAHAMY (Bukittinggi), Limbago (Payakumbuh), Percetakan Alam Minangkabau (Payakumbuh), Tandikat (Padang Panjang), Sa’adiyah (Padang Panjang), al-Moenir (Padang), de Voltherding (Padang), Percetakan Orang Alam Minangkabau/ Datuk Sutan Maharaja (Padang), Pulobomer (Padang), dan Mathba’ah al-Islamiyah (Bukittinggi). Dari sederetan nama penerbit dan percetakan yang ada dan tertulis dalam catatan kolonial awal abad 20 tersebut, Mathba’ah Islamiyah merupakan penerbit dan percetakan yang menarik untuk ditinjau lebih jauh. Ketertarikan kita terhadap penerbit ini cukup beralasan, karena (1) Mathba’ah Islamiyah didirikan oleh seorang tokoh yang mempunyai reputasi di kalangan ulama Minangkabau (2) Mathba’ah Islamiyah konsen dengan penerbitan Ulama Minangkabau, serta kitab-kitab untuk madrasah dan surau, (3) Percetakan ini tercatat sebagai percetak al-Qur’an pertama di Sumatera, (4) Penerbit ini berjasa menerbitkan karya-karya langka secara cuma-cuma dan dibagi-bagikan demi kemaslahan Kaum Muslimin ketika itu, (4) penerbit ini mempunyai pengaruh luas dalam mengadangkan faham Ahlussunnah wal Jama’ah dan Mazhab Syafi’i di Minangkabau.

Keberhasilan Mathba’ah Islamiyah di sokong oleh pendiri sekaligus pimpinannya, yaitu al-Marhum HMS. Sulaiman, seorang wara’ dari golongan ‘urang siak’ (santri) yang dikenal dermawan. Ketokohan HMS. Sulaiman sangat menonjol dikalangan ulama, terutama ulama dari Persatuan Tarbiyah Islamiyah, wadah persatuan ‘Ulama Tuo’ Minangkabau.


HMS. Sulaiman Bukittinggi

Dalam buah bibir kalangan ‘urang siak’, terdapat dua Sulaiman yang populer sebagai tokoh keagamaan. Sulaiman pertama, yaitu Syekh Sulaiman ar-Rasuli (1871-1970), ulama besar Minangkabau yang terkenal sebagai salah seorang pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) sekaligus pendiri dan pemimpin Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung. Sulaiman kedua, HMS. Sulaiman, seorang ‘alim pendiri Mathba’ah Islamiyah Bukittinggi. Kedua Sulaiman ini tidak hanya sedekar dikait-kaitkan karena kesamaan nama, tapi memang kedua tokoh yang terpandang ini mempunyai hubungan yang erat.

HMS. Sulaiman lahir pada paruh terakhir abad 19. Ia besar dan tumbuh dalam keluarga yang agamis dan cinta ilmu. Ketika usianya menanjak remaja, ia diserahkan ayahnya untuk belajar agama ke beberapa surau, sampai ia dikenal sebagai seorang malin (alim kecil). Ia kemudian bukan hanya tumbuh sebagai seorang malin, namun juga mempunyai ciri kecintaan dan kedekatan dengan ulama-ulama Minang di zaman itu. Selain itu ia juga dikenal dermawan. Ketika penerbit (waktu itu dikenal dengan Drukkerij atau Firma) Islamiyah Bukittinggi dibuka, ia secara berkala menerbitkan beberapa karya ulama dengan dananya sendiri. Hal ini dapat kita buktikan dari beberapa kitab cetakan Islamiyah, yang pada sampulnya tertulis: “atas nafkah HMS. Sulaiman Fort de Kock.” Di samping kitab-kitab, al-Islamiyah juga menerbitkan al-Qur’an, di mana sebelumnya al-Qur’an disalin dengan tangan atau dicetak batu. Konon al-Qur’an hasil cetakan al-Islamiyah ialah mushaf cetakan pertama di Indonesia.

Selain itu HMS Sulaiman juga sangat senang kepada ulama, sehingga ia secara cuma-cuma mewakafkan banya kitab kepada ulama dimaksud. Salah seorang ulama yang banyak mendapat wakaf kitab dari HMS. Sulaiman ialah Syekh Muda Wali al-Khalidi, ulama besar Aceh yang saat itu berada di Minangkabau.

Pada tahun 1928, diadakan pertemuan ulama-ulama Minangkabau di Bukittinggi dan membuahkan keputusan mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah sebagai benteng ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah di Minangkabau. Ketika itu hadir ulama-ulama dari berbagi penjuru Minangkabau, antara lain Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Syekh Muhammad Arifin Batuhampar, Syekh Abdul Wahid Tabek Gadang dan lain-lainnya, juga hadir HMS. Sulaiman. Dengan demikian, HMS. Sulaiman juga termasuk salah satu dari sederetan tokoh yang membidani berdirinya Persatuan Tarbiyah Islamiyah.

Di antara ulama-ulama yang mempunyai kedekatannya dengannya ialah tiga serangkai ulama Perti, yaitu Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Syekh Muhammad Jamil Jaho dan Syekh Abbas Qadhi Ladang Laweh. Ketiga ulama inilah yang menyarankan kepada HMS. Sulaiman untuk mendirikan toko kitab sekaligus drukkerij (penerbit dan percetakan), yang kemudian ia namai Drukkerij/ Mathba’ah al-Islamiyah Bukittinggi.

Penerbit dan Percetakan Arab terkemuka di Sumatera Tengah


Drukkerij al-Islamiyah sonter menjadi salah satu dari sederetan toko dan penerbit kitab di Sumatera Tengah ketika itu. Untuk melengkapi keperluan kitab-kitab agama yang dipelajari di Madrasah (pesantren) Tarbiyah Islamiyah yang jumlahnya ketika itu lebih dari 300 buah, HMS. Sulaiman mendatangkan kitab-kitab terbitan Mesir, kemudian menjadikan tokonya untuk mendistribusikan kepada sekolah-sekolah agama yang membutuhkan. Selain itu, usahanya yang paling besar ialah mencetak kitab-kitab karya ulama Minangkabau sendiri. Untuk itu HMS. Sulaiman melengkapi Drukkerij al-Islamiyah dengan sebuah mesin cetak aksara Arab. Dengan itulah kitab-kitab ulama dicetak dan disebarkan. Kitab hasil cetakan al-Islamiyah terbilang rapi dan hampir menyamai kitab cetakan Mesir ketika itu.

Al-Islamiyah menjadi satu dari sekian penerbit yang terkenal dan yang mampu melewati tiga zaman hingga periode kemerdekaan RI. Dari zaman Belanda, Jepang dan zaman mendeka, al-Islamiyah telah berjasa dalam menyebarkan kitab-kitab ulama serta turats ulama Minangkabau seiring dengan tingginya minat baca dikalangan urang siak (santri) saat ini.

HMS. Sulaiman wafat di Padang pada 1972 setelah lama menderita sakit. Setelah wafatnya, kabar mengenai Drukkerij al-Islamiyah yang terkenal itu tidak kita dengar lagi. Mungkin percetakan ini diteruskan oleh anak-anaknya dan kemudian bergelut dengan percetakan modern, hingga hilang ditelan zaman. Atau masih ada namun tak setenar dulu, seperti halnya Maktabah Isa al-Babi al-Halabi di Kairo itu.

Salah satu kitab Melayu yang tampak baru karena dicetak ulang ialah “Nazham Nabi Bercukur” karangan Labai Sidi Rajo Sungai Pua. Saya mendapatinya pada deretan kitab-kitab berdebu di sebuah toko Aua Kuniang, Bukittinggi. Pada sampul kitab itu tertulis: dicetak oleh Mathba’ah al-Islamiyah Bukittinggi. Sempat saya tanyakan kepada pegawai toko dimanakan percetakan Islamiyah ini berada, ia menggeleng mengisyaratkan ketidaktahuannya. Saya rasa tinggal kenangan sudah.

Beberapa contoh: al-Qur'an dan Turats Ulama cetakan al-Islamiyah Fort de Kock


Foto 1: al-Qur’an al-Karim dan Terjemahnya dalam Bahasa Indonesia (Arab-melayu). Terbitan Mathba’ah al-Islamiyah – HMS. Sulaiman, Bukittinggi.


Foto 2: “Kitab al-Jawahir al-Kalamiyah fi Bayan aqa’id al-Imaniyyah” karangan Syekh Sulaiman ar-Rasuli Candung (Drukkerij al-Islamiyah – HMS. Sulaiman, 1927)


Foto 3: “Kitab Tarbiyah al-Islamiyah fi Durus al-Fiqhiyyah” karangan Syekh Abdul Latif Syakur Ampek Angkek Bukittinggi (Drukkerij al-Islamiyah – HMS. Sulaiman)


Foto 4: “Kitab at-Tarbiyah wat Ta’lim Qismut Tauhid” karangan Syekh Abdul Latif Syakur Ampek Angkek Bukittinggi (Drukkerij al-Islamiyah – HMS. Sulaiman, 1927)


Foto 5: “Dawa’ul Qulub fi Qishah Yusuf wa Ya’qub” karangan Syekh Sulaiman ar-Rasuli Candung (Drukkerij al-Islamiyah – HMS. Sulaiman, 1927)


Semua Hanya Kenangan

Sayang, kita tidak mempunyai rekaman yang lengkap tentang penerbit ini. beberapa informasi singkat pernah diberikan oleh orientalis Belanda. Namun itu hanya sepintas, tidak sampai memberikan gambaran utuh tentang berbagai hal, seperti buku-buku yang pernah diterbitkan, riwayat akhir penerbit hingga lokasi dan lainnya.

Seperti halnya penerbit-penerbit Arab lainnya di Minangkabau, Mathba’ah Islamiyah hanya kita kenal dari catatan-catatan sepenggal dan hanya menjadi kenangan masa lalu; salah satu tonggak sejarah; di mana kaum agamawan haus ilmu dan mempunyai minat baca yang tinggi. Kontras dengan zaman sekarang tentunya.

Secercah Harapan

Dalam sebuah percakapan dengan seorang alumni Madrasah Tarbiyah Islamiyah, melompat keinginan untuk menerbitkan kembali turats ulama Minangkabau. Hal ini muncul karena telah teriventarisnya beberapa karya ulama Minangkabau yang dulunya menjadi master peace di zamannya. Keinginan itu disambut baik oleh teman-teman. Langkah awal ialah mendirikan penerbit sesuai prosedur yang berlaku, membentuk badah tahqiq dan pengelola penerbit tersebut. Kesadaran ini muncul karena motivasi keadaan kaum santri di Jawa yang begitu giat menjaga, merawat dan menerbitkan turats ulama.

Sempat terucap, “Sudah saatnya kita berinisiatif mengkhitmati ulama kita. Tak perlu lagi kita berharap banyak dengan persatuan-persatuan kaum agama di Sumatera Barat sendiri untuk menjaga kekayaan intelektual ulama silam. Bila tidak kita, siapa lagi!”.

Semoga terwujud dengan segera.


Dalam khalwat yang Hening,
Jakarta, medio Januari 2014


Apria Putra