Minggu, 10 November 2013

Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan Matematika

Oleh: al-faqir al-Haqir Apria Putra

Senin, 4 November 2013, Pemda Sumatera Barat mengadakan sebuah seminar bertajuk “Seabad Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi”. Seminar tersebut berlangsung di Pangeran Beach Hotel, Padang, dihadiri oleh berbagai pakar Islam Minangkabau, cendikiawan, akademisi dan tak ketinggalan alim ulama. Seketika mendapat kabar tentang seminar ini, saya cukup bergembira. Ternyata ulama besar Minangkabau yang telah didendangkan berpuluh-puluh tahun oleh para cendikiawan masa silam telah mulai dilirik oleh pemerintah daerah. Sebuah kesadaran untuk menghargai orang besar negeri ini, bukan sekedar ulama oposan, lebih dari itu ialah ulama internasional yang menghabiskan umurnya di Mekah sambil mendidik kader-kader ulama untuk dunia Melayu. Tak tanggung-tanggung, seminar itu menghadirkan 4 cendikiawan Minang sendiri, yaitu Prof. Azyumardi Azra, Prof. Mafri Amir, Dr. Putra Eka Wirman dan terakhir Yasrul Huda, Ph.D. Besar hati kita dengan terlaksanakan seminar tersebut. Terobat sudah penantian perhatian pemerintah buat ulama-ulama besar Minangkabau. Karena saya berhalangan untuk hadir pada seminar itu, saya ambil pena, saya tulis perihal Ulama besar Minangkabau ini. Hal ini sebagai pelengkap terhadap penelitian yang ada, tersebab saya telah lama melirik-lirik ulama besar ini, mengumpulkan peninggalan-peninggalan tangannya, sudah sepatutnya pula memberikan sedikit dari secuil pengetahuan tentang beliau ini. Semoga bermanfaat kiranya.

Biografi Ringkas

Berdasarkan penyelidikan sepintas saya, tokoh pertama yang menulis panjang lebar mengenai ketokohan dan dedikasi Syekh Ahmad Khatib ini ialah al-marhum Buya Hamka. Beliau menulis perihal Syekh Ahmad Khatib pertama sekali dalam bukunya “Sejarah Islam di Minangkabau” (1938), yang kemudian diuraikan secara lebih detail dalam buku “Ayahku” (1950), dan lengkapi hingga terbitan terakhir tahun 1981. Selain itu Buya Hamka menulis pula paper untuk Seminar Islam di Padang 1970, dengan topik “Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan Syekh Thaher Jalaluddin”, yang kemudian dimuat dalam “Islam dan Adat Minangkabau” (1982). Selain itu, Abuya Sirajuddin Abbas, ulama Minang yang semasa dengan Buya Hamka, juga menulis dalam “Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i” (1971) dan “Thabaqat Syafi’iyyah” (1978). Tulisan Hamka, tepatnya, kemudian banyak dikutip dan diperluas oleh peneliti-peneliti lainnya seperti Deliar Noer, Akhira Nazwar, Muhammad Sanusi Latief, Burhanuddin Daya, bertali-tali hingga saat ini.

Pada tulisan ini, kita akan mengambil informasi biografinya bukan dari sumber-sumber itu, melainkan dari “Siyar wa Tarajum Ba’d Ulama’ina fi Qarn Rabi’ Asyr Hijri”, yang ditulis oleh Syekh Umar Abdul Jabbar, seorang tokoh pendidik dan sejarawan di Arab Saudi. Sebelumnya perlu kita ketahui bahwa Syekh Ahmad Khatib pernah meninggalkan autobiografi yang ditulisnya sendiri, sayang kabarnya autobigrafi yang masih berbentuk manuskrip itu masih bersemayam di Perpustakaan Leiden, negeri Belanda.

Syekh Umar Abdul Jabbar memulai riwayatnya. Dimasa silam, datanglah salah seorang alim dari Mekah, beliau bernama Abdullah. Beliau menetap di Ampek Angkek, Agam. Karena kealimannya, oleh masyarakat beliau diangkat sebagai Khatib dan dinikahkan dengan gadis setempat. Beliau kemudian dikenal dengan Syekh Abdullah Khatib. Beliau mempunyai seorang anak laki-laki yang juga ‘alim, yaitu Abdullatif. Abdullatif inilah ayah dari Ahmad Khatib muda. Niscaya informasi Umar Abdul Jabbar ini berbeda dengan apa yang disebutkan Hamka dalam “Ayahku”. Hamka menyebutkan bahwa Datuk Syekh Ahmad Khatib merupakan turunan dari pejuang-pejuang Paderi, artinya keturunan orang Minang asli (lihat “Ayahku”, cetakan Umminda, 1982, halaman 271).

Syekh Ahmad Khatib dilahirkan pada hari senin, 6 Dzul Hijjah 1276. Sebelum belajar agama lebih intens, Ahmad Khatib berhadap dengan ayahnya untuk belajar dasar-dasar agama, dan membaca al-Qur’an.

Diwaktu masih belia, umur yang masih kecil, Ahmad Khatib telah dibawa ayahnya ke Mekah, selain menunaikan rukun Islam kelima, tujuan lainnya untuk menuntut ilmu agama di kampung halaman kakeknya. Mekah ketika itu sangat harum sekali sebagai pusat ilmu pengetahuan, disamping sebagai pusat ibadah kaum muslimin.

Di Mekah Syekh Ahmad Khatib menimba ilmu pengetahuan secara mendalam, diantaranya ialah menghafal al-Qur’an. Selain itu Syekh Ahmad Khatib juga belajar bahasa Inggris. Menurut informasi Umar Abdul Jabbar, Syekh Ahmad Khatib selama belajar di Mekah menimba ilmu kepada tiga orang ulama besar ketika itu, yaitu Sayyid Umar Syatha, Sayyid Usman Syatha dan Sayyid Bakri Syatha (Pengarang I’anah al-Thalibin). Beliau hanya menimba ilmu kepada tiga ulama ini. Berkat kesungguhan, keuletan dan kerajian, Syekh Ahmad Khatib dapat menangkap pelajaran dengan sangat baik, dan kemudian mampu memapankan karir ulamanya di Haramain tersebut.

Kecerdasan dan kealimannnya membuat seorang tokoh masyarakat Mekah, Syekh Shaleh Kurdi tertarik. Konon Syekh Shaleh Kurdi seorang pemilik toko kitab di Mekah. Syekh Ahmad Khatib ketika itu selalu Singgah untuk membeli dan membaca kitab. Syekh Ahmad Khatib kemudian diambil menjadi menantu oleh Syekh Shaleh Kurdi.

Setelah lama mengajar dan dikenal luas sebagai seorang yang ‘alim, Syekh Ahmad Khatib kemudian mencapai posisi prestius yaitu menjadi Imam dan Khatib dalam Mazhab Syafi’i di Mesjidil Haram. Hal mana posisi ini belum pernah dipegang oleh orang non-Arab.
Menurut Umar Abdul Jabbar (Siyar wa Tarajum, halaman 41), Syekh Ahmad Khatib meninggalkan 46 karangan dalam berbagai vak keilmuan. Namun sayang, karangan-karangannya tersebut sangat sulit kita dapati saat ini, tidak seperti rekannya sesama ulama, yaitu Syekh Nawawi Banten yang digelari “Sayyid Ulama Hijaz” (Penghulu Ulama Hejaz), yang masih banyak dicetak, dalam dan luar negeri, dan tetap dijadikan buku pokok pelajaran-pelajaran pesantren di dunia Melayu. Hanya ada 1 karangan Syekh Ahmad Khatib yang tetap dicetak ulang, dan menjadi pelajaran satu dua pesantren, yaitu “al-Nafahat ‘ala Syarah Waraqat”, kitab ushul fiqih Mazhab Syafi’i, syarah dari kitab Waraqat karya Imam al-Haramain.

Syekh Ahmad Khatib wafat pada 6 Jumadil Awal 1334 (1916). Beliau meninggalkan murid-murid yang cakap dan kemudian dikenal sebagai ulama-ulama besar dunia Melayu, diantaranya Syekh Sulaiman ar-Rasuli Candung (w. 1971, usia 99 tahun), Syekh Muhammad Jamil Jaho, Syekh Thaher Jalaluddin, Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Abdul Karim Amrullah, Syekh Muhammad Nur “Qadhi Langkat”, Syekh Hasyim Asy’ari (Pendiri NU), Kyai Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), dan lain-lain banyak lagi.

Pribadi yang disalah-tafsirkan


Syekh Ahmad Khatib menjadi kebanggaan sendiri bagi Indonesia, dengan segala kebesaran dan prestasi keulamaannya, sehingga banyak dikalangan akademisi, terutama dari Minangkabau yang mencoba menulis dan mendalami pribadinya. Namun sayang, dari beberapa tulisan, hasil penyelidikan, kita temukan beberapa kesimpulan tentang pribadi dan pemikiran Syekh Ahmad Khatib yang terlalu tergesa-gesa dan acap keliru. Di antara anggapan-anggapan tersebut dinyatakan bahwa Syekh Ahmad Khatib ialah anti taqlid, hal ini sangat keliru. Syekh Ahmad Khatib ialah pemegang teguh Mazhab Syafi’i dan Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy’ari dan Maturidiyyah). Beliaulah tiang tengah Mazhab Syafi’i di Indonesia awal abad 20 itu. Begitu pula murid-muridnya, pemegang teguh Mazhab Syafi’i. Dan itu tergambar dari karya-karya tulisnya yang puluhan banyak itu. Disini tampak para penulis biografi beliau tidak membaca karya-karya itu, kasihan. Bukankah beliau ialah Imam dan Khatib dalam Mazhab Syafi’i? Kita tentu maklum. Hal ini disebabkan oleh keterangan Hamka dalam Ayahku (dalam “Ayahku”, Hamka acap keliru menulis nama kitab karya Syekh Ahmad Khatib), dan karena akademisi Minang yang masih terbawa euforia “Kaum Muda” itu, sebab tentang Syekh Ahmad Khatib belum ada satupun “orang surau” yang menulisnya.

Kesimpulan kedua yang gegabah, ialah menyatakan Syekh Ahmad Khatib penyokong pembaharuan ala “Kaum Muda” atau ala “Wahabi” (sekarang bernama Salafi) di Indonesia. Ini keliru. Sebab Syekh Ahmad Khatib ialah tokoh yang tidak setuju terhadap paham “Muda” dan “Wahabi” itu. Beliau menulis sebuah kitab yang berjudul “al-Khuttah al-Mardhiyyah” sebagai kritik kerasnya terhadap Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim, dan sebagai pertahanan ulama-ulama Mazhab Syafi’i dan Ahlussunnah wal Jama’ah. Sayang, mereka tidak membaca.

Kritik Syekh Ahmad Khatib terhadap Tarekat Naqsyabandiyah yang dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap tradisi, bentuk pembaharuan orientasi Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Lagi-lagi ini keliru. Syekh Ahmad Khatib memang mengkritisi Tarekat Naqsyabandiyah, tapi hanya tertentu pada “Rabithah” (Bukankan Syekh Dr. Al-Buthi sebagai pengamal Tarekat Naqsyabandiyah juga tidak suka dengan Rabithah?). Bila tuan-tuan membaca Izhar dan al-Ayah, dua karangannya, tentu tuan akan mengerti. Kritikan Syekh Ahmad Khatib dibantah oleh ulama-ulama dari berbagai negeri ketika itu, misalnya dari Minangkabau Syekh Muhammad Sa’ad Mungka Payakumbuh, menulis “Irgham Unuf Muta’annitin” dan “Tanbihul Awam” (karangan terakhir tidak dijawab Syekh Ahmad Khatib lagi), Syekh Husein Madinah menulis “al-Suyuf al-Maslulah”, dan Habib Husen al-Attas. Sayang, banyak akademisi yang hanya bercermin dari “sumber kedua”, tidak membaca langsung kitab-kitab tersebut. (Hampir semua kitab-kitab tua itu ada dalam simpanan Kutubkhannah penulis artikel ini, al-Faqir Apria Putra)

Kesimpulan kita, Syekh Ahmad Khatib ialah ulama besar Syafi’yyah di zamannnya, peneguh Ahlussunnah wal Jama’ah. Beliau ialah sosok yang berjiwa tasawuf sebagai mana pendiriannya dalam kitabnya “al-Fath al-Mubin”.
Semoga tuan-tuan membuka mata.

Syekh Ahmad Khatib dan ilmu Matematika

Dalam tulisan ini kita akan melirik salah satu karangan Syekh Ahmad Khatib yang menurut hemat saya cukup mengagumkan. Karangan beliau itu berjudul “Riyadh al-Hussab fi ‘ilm al-Hisab” (cetakan Mathba’ah al-Maimuniyyah, Mesir, 1310 H). Kitab ini merupakan pembahasan panjang lebar mengenai ilmu Matematika. Kitab ini terdiri dari 176 halaman. Pada permulaan kitab ini, Syekh Ahmad Khatib memaparkan alasan penulisan kitab ini. beliau mengemukakan alasan agama, bahwa matematika diperlukan untuk mengukur kiblat, hisab falaki dan pembagian harta pusaka. Oleh sebab itu setiap muslim mesti mengetahuinya, lanjutnya. Selanjutnya, Syekh Ahmad Khatib menyebutkan bahwa guru pertama ilmu Hisab ini ialah Nabi Idris Alaihi Salam.
Pembahasan dalam kitab ini cukup mendalam, apakah trigonometri, logaritma dan lainnya. Kitab ini juga dipenuhi dengan “raqam-raqam” untuk pemudah penuntut ilmu.


Foto: Halaman depan Riyadh al-Hussab


Foto: Halaman pertaman kitab Riyadh al-Hussab


Foto: Halaman Riyadh al-Hussab yang dipenuhi raqam Matematika


Foto: Halaman Riyadh al-Hussab yang dipenuhi raqam Matematika

Ini sebuah karya, yang menurut saya dapat dikategorikan sebagai sains dari seorang ulama tradisional, yang hidup dan mengembangkan diri di lingkungan Madrasah.

Murid yang mahir “hitung-hitungan”

Matematika dalam kajian agama merupakan sesuatu yang sangat penting. Beberapa vak keilmuan yang urgen hanya bisa dikuasai dengan kemahiran hitungan-hitungan, seperti Ilmu Faraidh dan Ilmu Falak. Oleh karenanya, para ulama dalam konteks khusus, dapat dikatakan sebagai saintis Matematika. Seperti itu pula yang diusahakan oleh Syekh Ahmad Khatib dengan penulisan kitab-kitab bidang Matematika.
Salah seorang murid Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang mewarisi ilmu Hitung-hitung ini ialah Syekh Abdul Karim Amrullah, atau Haji Rasul. Dalam salah satu tulisan tangannya, ia pernah mengukur perjalanan seseorang dari suatu tempat ke tempat lainnya, dalam berapa menit, berapa panjang jaraknya.


Foto: Tulisan tangan hasil hitung-hitungan Syekh Abdul Karim Amrullah Maninjau

Ciputat, Jakarta. Awal November 2013.
Al-Faqir Apria Putra.