Oleh: al-faqir al-haqir Apria Putra
Toboh, seperti daerah-daerah lainnya di Pariaman, merupakan kampung yang agamis. Daerah Toboh berdekatan dengan pusat-pusat keislaman basis tarekat Syattariyah masa lalu, seperti Bintungan Tinggi dan Lubuak Ipuah. Bintungan Tinggi dikenal dengan “Surau Baru Bintungan Tinggi”, pusat pendidikan Islam dengan ulamanya yang masyhur Syekh Abdurrahman Bintungan Tinggi. Demikian juga Lubuak Ipuah juga merupakan salah satu sentra pendidikan Islam, tentunya kita kenal “Surau Lubuah Ipuah” dan “Syekh Lubuak Ipuah”.
Dari Toboh, lahirlah seorang tokoh ulama yang terkemuka di masanya. Beliau tidak banyak dikenal dengan generasi muda saat ini, namun beliau telah meninggalkan bekas tanggan, berupa jasa-jasa terhadap Islam dan ilmu pengetahuan bagi generasi kita saat ini. Tokoh ulama tersebut ialah Syekh Harun al-Rasyidi al-Tobohi al-Fariyamani. Kata-kata al-Tobohi al-Fariyamani merupakan nisbah beliau, berupa kampung halaman yang diabadikan pada namanya, yang berarti Syekh Harun al-Rasyidi yang berasal dari negeri Toboh di Pariaman.
Dalam inskripsi makam beliau, Syekh Harun Toboh diketahui wafat pada tahun 1959. Mengenai masa kecil beliau dan pengembaraan menuntut ilmu masih tertutup kabut sejarah. Namun mengenai perjuangannya dalam bidang agama masih dibaca oleh orang tua-tua dan masih tertulis dalam catatan-catatan lama.
Beliau –Syekh Harun Toboh- merupakan salah seorang ulama yang mengajar pada Diniyyah School, yang merupakan sekolah agama yang dikelola oleh Jam’iyyah Tarbiyah al-Khairiyyah al-Islamiyyah, di kampung Sunur. Pada sekolah agama ini beliau berstatus sebagai “akbar khadim thalabah al-Ilmi”, yaitu “guru besar”. Sunur, daerah tempat Diniyyah School ini berdiri, ialah salah satu negerinya ulama. Di abad 19, dikenal di kampung Sunur ini seorang ulama yang masyhur yaitu Syekh Daud Sunur, dengan karangannya yang monumental “Sya’ir Sunur” dan “Sya’ir Mekah Madinah”. Selain mengajar agama di Sunur, Syekh Harun Toboh juga mengajar agama di Batipuah, Pedalaman Minangkabau. Tepatnya di “Surau Lubuak Bauak”, Syekh Harun menggelar pengajian. Sampai beliau wafat di tahun 1959 dan dimakamkan di sini, Batipuah.
Foto: Surau Lubuak Bauak
Mengenai pribadi Syekh Harun Toboh, Buya Hamka (Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah) pernah bersua dengan Syekh Toboh di masa Belanda, dalam bukunya “Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao” menyebutkan Syekh Toboh sebagai ulama terkemuka di masa itu. Dr. Schieke, seorang orientalis kebangsaan Belanda yang lama bercokol di Minangkabau, dalam Bijdrage van de huidige godsdienstige beweging ter Sumatra’s Westkust (TBG 59,1919-1921) menyebutkan Syekh Harun Toboh sebagai ulama pejuang dari kalangan “Kaum Tua” lewat karya-karyanya, dan punya andil dalam perdebatan antara ulama modernis dan ulama tradisional di Minangkabau.
Sebagai ulama tempo dulu, Syekh Harun Toboh, bukan hanya dikenal karena keaktifannya mengajar agama, tapi juga produktif menulis karya-karya. Dalam catatan saya, terdapat 4 karya Syekh Harun Toboh yang dapat diinventaris. Karya-karya itu ialah (1) Falahan Mubtadi, sebuah karya apologetis, yang dicatat Schieke sebagai bantahan terhadap ulama modernis (kaum muda), (2) Sejarah Syekh Burhanuddin Ulakan, yang dipakai oleh Hamka sebagai rujukan mengenai biografi Syekh Burhanuddin Ulakan, (3) Mafatih al-Fikriyyah fi al-Ilm al-Manthiqiyyah, dan (4) Mafatih al-Mabahist fi Istilah al-Ahadist.
Mengunjungi Batipuah, ke surau Lubuk Bauak dan ziarah ke makam Syekh Harun Toboh.
Pada juni tahun 2011, saya sempat mengunjungi Surau Lubuak Bauak dan berziarah ke makam Syekh Harun Toboh di Batipuah. Dalam kunjungan itu saya bertemu dengan penjaga Surau Lubuak Bauak, seorang tua, yang ketika ditanya hanya menjawab “o... Haji Harun”. Penjaga Surau itu tidak lagi kenal dengan pribadi Haji Harun tersebut, namun ia menyodorkan satu kitab tua yang disimpannya sebagai kenang-kenangan, entah peninggalan Syekh Harun. Kitab itu ialah Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd cetakan lama, sebuah kitab perbandingan mazhab fiqih.
Foto: Saya (kiri) bercakap-cakap dengan penjaga Surau Lubuak Bauak.
Lama bercerita, sambil menikmati keunikan Surau Lubuak Bauak, yang saat ini telah menjadi salah satu cagar budaya. Penjaga surau kemudian membawa kami untuk menziarahi makam Syekh Harun Toboh. Makam itu terletak di tebing, di seberang Surau, yang harus ditempuh dengan mendaki semak belukar. Di atas tebing terdapat banyak makam yang tidak terurus lagi. Beberapa di antaranya ialah makam ulama yang tidak diketahui lagi siapa, hal ini ditandai dengan dinding dan nisannya yang unik. Makam Syekh Harun terletak di tengah-tengah, dalam kondisi juga ditumbuhi rumput liar.
foto: Makam Syekh Harun Toboh
Di sini, saya sempat membaca al-Fatihah dan berdo’a untuk beliau, al-Marhum.
Dua Karya Syekh Harun Toboh: Mantiq dan Musthalah
Terdapat dua karya Syekh Harun Toboh yang terbilang unik. Saya katakan unik karena jarang ulama-ulama Minang di masanya yang menulis karya mengenai bidang keilmuan ini, yaitu ilmu Mantiq dan ilmu Mustalah Hadist.
Dua kitab karya Syekh Harun Toboh mengenai dua fan keilmuan ini ialah, 1- Mafatih al-Fikriyyah fi al-Ilm al-Manthiqiyyah (kunci-kunci berfikir, dalam ilmu mantiq), dan 2- Mafatih al-Mabahist fi Istilah al-Ahadist (kunci-kunci dalam membahas masalah, dalam menjelaskan istilah-istilah hadis). Bersyukur, saya menjumpai dua karya langka ini, tepatnya di Balai Gurah, Ampek Angkek, Agam.
Ilmu Mantiq (Logika), atau disebut juga ilmu Nazhar, ialah salah satu ilmu alat yang mesti dimiliki oleh seorang ahli agama. Ilmu ini berdekatan dengan ilmu Ushul Fiqih. Secara sederhana Mantiq merupakan ilmu yang membahas metode berfikir lurus, logis, sehingga terhindar dari pemahan yang salah dan fikiran yang keliru. Kegunaan ilmu ini di antaranya untuk berhujjah, mempertahankan argumen didepan para mu’taridh (orang yang membantah). Ulama-ulama minang tempo dulu, khususnya, sangat menekuni ilmu ini, disamping belajar ilmu-ilmu agama lainnya secara mendalam.
Selain Mantiq, ilmu Mustalah Hadis merupakan ilmu alat lainnya yang mesti dimiliki oleh seorang yang ahli agama. Ilmu ini membahas kedudukan satu hadis, apakah hadis itu sahih, hasan atau dha’if. Biasanya keilmuan ini, dikalangan ulama-ulama silam, didalami dengan segenap aspeknya, sebelum memberikan fatwa di tengah-tengah masyarakat.
Syekh Harun Toboh, mengarang dua karya dalam disiplin ilmu ini. Seperti tertera pada mukaddimah, karya-karya ini ditulis untuk membantu “urang-urang siak” (baca: santri) dalam memahami dasar-dasar ilmu Mantiq dan ilmu Mustalah Hadist, sebelum melangkah mendalaminya lewat kitab-kitab muthawwalat (kitab-kitab besar).
Mafatih al-Fikriyyah dan Mafatih al-Mabahist karya Syekh Harun Toboh diterbitkan pada tahun 1928, diterbitkan oleh penulis sendiri dan Syarikah Muhammad Thayyib ibn Haji Ahmad Pasir Baru Padang Panjang. Dicetak oleh Mathba’ah Tsamaratul Ikhwan, Fort de Kock (Bukittinggi).
Demikian tipikal ulama-ulama silam, sebagai terpotret dalam pribadi Syekh Harun Toboh Pariaman. Semoga menjadi kaca bercermin bagi kita, disamping meneladani ulama lalu.
Ciputat, Jakarta.
Jum’at, di waktu Dhuha, 5 Jumadil Awwal 1434 H /15 Maret 2013.