Oleh: al-Faqir Apria Putra
Hampir setiap sore terdengar lantunan nazham dari santri-santri, terdengar merdu dengan ritme dan alunan suara yang khas. Kadangkala mereka melantun nazham al-Baiquniyah, karya populer mengenai ilmu Mustalah Hadist, kadangkala nazam Adab al-Thullab, mengenai tata krama menuntut ilmu. Pada hari-hari tertentu dilantunkan nazham istighasah. Sungguh menarik, menggugah hati untuk kembali giat menuntut ilmu agama. Begitulah suasana di tempat saya tinggal, di rantau orang, persis di sebelah Darus Sunnah International Institute for Hadith Sciences, pondok pesantren Mahasiswa khusus pendalaman ilmu Hadist yang dipimpin oleh Prof. DR. KH. Ali Mustafa Ya’qub, imam besar Mesjid Istiqlal itu.
Seketika itu, teringat hati akan kampung halaman yang jauh di sana, Minangkabau. Demihal mendengar nazham-nazham santri Darus Sunnah, aku terkenang akan surau, akan kitab-kitab tua yang ku baca, dan orang-orang alim di Minangkabau dimasa lalu. Jika kita kembali ke surau, tidak berbeda keadaannya. Surau dengan segala hal ihwalnya telah menjadi lahan tumbuhnya tradisi-tadisi keagamaan yang luar biasa kayanya. Termasuk ber-nazham, dendang ilmu pengetahuan yang mengakar pada sistematika dan estetika sya’ir Arab.
Secara umum nazham (secara bahasa berarti susunan) hampir sama dengan sya’ir (dalam istilah sastra Arab dibaca Syi’ir). Ungkapan kalimat yang indah, mempunyai ritme, intonasi teratur dan susunan yang metris. Perbedaannya, Sya’ir lebih kepada ungkapan hati si-penggubah, disertai lompatan-lompatan khayal yang terangkum dalam kalimat yang penuh ungkapan majaz. Sedangkan nazham, meskipun disusun seperti halnya sya’ir Arab, namun muatannya bersifat ilmiah, sehingga seringkali nazham disebut dengan nazham ‘ilmi. Namun untuk konteks nusantara, Minangkabau khususnya, antara nazham dan sya’ir tidak terlalu dibedakan. Bisa saja istilah sya’ir untuk ungkapan bermuatan ilmiah, seperti Sya’ir Burung Nuri (pengajaran ilmu al-Qu’an), dan nazham untuk ungkapan yang penuh khayal seperti Nazham Kanak-kanak.
Ulama-ulama silam lebih senang menulis karya dibidang keilmuan agama dengan memakai susunan sastra, salah satunya nazham. Karya-karya ini biasanya ditujukan untuk penuntut-penuntut ilmu pemula. Karya-karya pemula ini dikenal dengan istilah matan. Tapi kita mesti tahu, bahwa walaupun karya-karya itu ditulis ringkas, biasanya para ulama silam memakai kalimat ringkas dan padat, serta simbol-simbol dalam karya itu, sehingga kalau satu karya itu di-syarah (diuraikan) bisa menjadi berjilid-jilid kitab. Banyak kitab matan dalam bentuk nazham yang tersebar di Nusantara, misalnya matan Zubad (fiqih), matan Alfiyah (gramatikal Arab), matan Baiquniyah (Ilmu Mustalah Hadist), Jauhar al-Maknun (Balaghah-Strilistika), ‘Imrithi (Nahwu), nazam al-Maqsud (Sharaf), matan Sullam (mantiq-Logika), ad-Durr al-Yatimah (Nahwu) dan lain-lainnya. Karakteristik Nazham ini sama, memakai susunan sya’ir dan ditulis dalam bahasa Arab.
Di Nusantara, selain diajarkan kitab-kitab matan di atas, para ulamanya juga mengadopsi gaya penulisan nazham Arab ini ke dalam tradisi lisan dan tulisan mereka. Tetap bernama nazham, namun telah memakai bahasa Melayu. Setidaknya ada beberapa aspek dari Nazham Arab yang melekat dalam Nazham Melayu, yaitu (1) tata letak penulisannya yang masih serupa dengan sya’ir dan nazham Arab, dengan memakai sathar awal (penggal pertama) dan satar akhir (penggal kedua), (2) memakai jumlah suku kata yang berjumlah sama antar bait, seperti taf’ilah pada Sya’ir Arab, (3) akhir suku kata tiap kalimat yang sama, seperti qawafi pada sya’ir Arab.
Kembali kita kepada Minangkabau. Di Minangkabau, ber-nazham (ber-sya’ir) merupakan
satu tradisi yang khas dari ulama-ulama surau. Dalam memberikan pelajaran dasar kepada orang-orang siak (baca: santri), ulama-ulama surau mengarang sya’ir-sya’ir untuk memudahkan penghafalan, selain itu berguna untuk menyemangati murid-murid dengan bersenandung bersama-sama ketika belajar. Selain itu gaya bersya’ir juga digunakan untuk menjelaskan kisah perjalanan, riwayat dan ilmu tasawuf yang tinggi-tinggi. Hal ini membuktikan betapa ber-nazham (ber-sya’ir) menempati posisi penting paling tidak dalam dunia tulis menulis kala itu. Kita dapat melihat bahwa betapa karya-karya sya’ir Syekh Daud Sunur Pariaman begitu digemari, sehingga dicetak berulang-ulang kali di berbagai tempat. Atau nazham-nazham karangan Labai Sidi Rajo Sungai Pua tetap dapat pasaran sampai saat ini. Dalam satu katalog kitab-kitab yang dijual di toko kitab Haji Ahmad Chalidi Bukittinggi pada awal abad XX, kita lihat betapa karya-karya sya’ir (nazham) mendominasi dibandingkan karya-karya prosa.
Kita dapat mencatat beberapa tokoh ulama besar Minangkabau yang menjadikan nazham sebagai tren karya-karyanya. Di abad XIX tersebut nama ulama terkemuka di Pariaman, Syekh Daud Sunur (kajian tentang sya’ir-sya’irnya telah dilakukan salah satunya oleh Suryadi, Leiden) yang menulis sya’ir populer, sya’ir Sunur dan sya’ir Mekah Madinah. Selain tokoh ini kita catat Syekh Isma’il al-Minangkabawi, ulama yang sukses berkarir di Mekah, beliau banyak menulis Nazham dalam bahasa Arab yang menunjukkan tingkat intelektualnya yang tidak bisa diabaikan. Di antara karyanya Nazham al-Miqat an-Naqsyabandi, Nazham Silsilah Naqsyabandi dan lainnya. Tokoh ulama besar lainnya, Syekh Jalaluddin Cangkiang, menulis Nazham menunjukkan tuah kebesaran Tuanku Koto Tuo. Dan yang terakhir yang kita catat, nazham-nazham Buya Mansuruddin Tuanku Bagindo Lubuak Ipuah, yang konon masih dibaca dan didendangkan oleh komunitas terbatas.
Pada awal abad XX terdapat banyak karya-karya Nazham kita temui. Tersedianya informasi yang banyak mengenai nazham-nazham ulama di awal abad XX ini disebabkan karena karya-karya itu dicetak dan diedarkan secara luar di berbagai daerah. Di sini kita catat karya-karya Nazham yang populer, seperti Nazham Darul Mau’izhah tertang apologetis tarekat Naqsyabandiyah karya Syekh Bayang, Nazham Thalaq al-Shalah karya Qasim Bakri Talawi, Nazham Sifat Dua Puluh yang ditulis oleh beberapa tokoh. Syamsul Hidayah karya Syekh Abdul Karim Amrullah. Salah satu ulama yang intens menulis dengan Nazham dalam karya-karyanya ialah Syekh Sulaiman ar-Rasuli Candung, diantaranya Kitab Enam Risalah, Dawa’ul Qulub, Tsamarat al-Ihsan, Sya’ir Yusuf dan Ya’qub dan lain-lainnya.
Ulama Tasawuf dan kegemaran ber-Nazham
Dalam beberapa manuskrip karya ulama Minangkabau kita temui berbagai nazham (sya’ir) yang ditulis dengan penuh keindahan. Nazham-nazham yang memiliki muatan yang“dalam”, penuh filosofi dan dirangkai dengan kata-kata indah tersebut biasanya ditulis oleh ulama-ulama sufi untuk menjelaskan pelajaran tasawuf.
Kita teringat dengan Sufi besar yang bermakam di Damaskus, yang digelari Syekh Akbar (Guru besar) dan Kibrit Ahmar (Belerang merah), yaitu Ibnu ‘Arabi. Sya’ir-sya’ir tasawuf-nya telah berpengaruh luas diberbagai belahan dunia, diakui bukan hanya para ulama juga para orientalis yang terpiut dengan karya ini, dan menjadi prestise reputasinya yang memang luar biasa. Sya’ir-sya’irnya sangat indah menawan, dirangkai dengan kata-kata yang indah, balaghi yang tinggi. Satu hal yang perlu digarisbawahi dari sya’ir-sya’ir yang sufi ini ialah ramziyyah (simbol) yang digunakan. Pembaca yang tidak mengerti akan “rumuz” (simbol) niscaya akan tersesat membaca karya-karyanya ini. oleh karena itu sampai saat ini masih banyak, baik para akademisi yang mencap Ibnu ‘Arabi sebagai tokoh yang ghulat (sesat), karena antologi sya’ir-nya Tarjuman al-Asywaq (diterbitkan oleh RA. Nicholson dalam The Tarjuman al-Ashwaq: a collection of Mystical odes by Muhyiddin Ibn ‘Arabi, 1911) yang dianggap menyimpang. Hamka sendiri dalam Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya menyindir “pengajian” Ibn ‘Arabi dengan judul “cinta membawa larat”, beliau menyebut sang sufi sebagai pencetus panteis dengan teori wahdah al-wujud. Sampai dimana kebenaran ungkapan Hamka? Apakah Ibnu ‘Arabi meyakini bersatu dua zat yang berbeda??? Sudahkah Hamka membaca Dzakha’ir al-A’laq syarah Tarjuman al-Asywaq (terbit di Beirut, 1891) itu? Kita dapat menduga.
Hamzah Fansuri, Sufi besar Aceh sekaligus pujangga mistik Melayu sepanjang masa, juga dikenal dengan sya’ir-sya’ir-nya (nazham) yang penuh simbol, disusun dengan kata-kata sarat estetik dan bermakna dalam.
Dalam al-Hubb al-Ilahy fi Tasawuf Islamy, Dr. Muhammad Mustafa Hilmi menyebutkan sebab dibalik kegemaran ulama sufi menulis sya’ir yang indah-indah itu. Beliau mengemukan: “semuanya karna cinta”. Cinta kepada ilahi menjadi menjadi ghayah (tujuan) utama dari hidup kesufian. Cinta menjadikan semuanya indah. Dengan cara apapun, para sufi ingin menyampaikan keindahan-Nya itu, apakah tulisan-tulisan indah (kaligrafi), puisi-puisi menawan, untaian kata-kata indah bersayap yang penuh makna. Maka hadirnya karya-karya sastra sufi besar, antologi-antologi sya’ir dalam bertuk matsnawi, ruba’i, qashidah dan lainnya.
Begitu pula ulama-ulama sufi di Minangkabau, mereka cenderung bertutur dan menulis dengan kalimat-kalimat sastra; penuh simbol. Ulama-ulama yang produktif menulis nazham (sya’ir) di Minangkabau kebanyakannya ialah ulama-ulama tasawuf belaka. Di sini kita akan melihat 2 nazham yang sarat dengan estetik dan simbolik, yaitu Sya’ir Nuraniyyah Rabbaniyyah dan Sya’ir Ma’rifat.
Sya’ir Nuraniyyah Rabbaniyyah masih berupa manuskrip yang dtulis dengan Arab Melayu. Penulisannya di-nisbah-kan kepada seorang ulama sufi di Alahan Panjang, Tuanku Syekh Talang Babungo. Sya’ir ini menguraikan tasawuf tingkat tinggi (muntahi). Di antara cuplikan sya’irnya:
Wa fi dubdari alam sempurnanya
A’udzubillah penolak balanya
Bismillah itu hendak disya’irkannya
Supaya ‘asyiq segala saudaranya
Johan perkasa Syah(i) alam
Menentang qaba qausain pada siang dan malam
Ke bahrul adam ia tenggelam
Bijaksana dzuq-nya dalam
Tuanku daulat sultan andar (?) bangsawan
Masyhur terbilang lagi perempuan
Pengasih penyayang lagi pahlawan
Kepada ma’rifat jua tertawan
…………
Hendaklah kau pandang kapas dan kain
Bangsanya satu namanya berlain
Satukah allahumma zhahir dan batin
Itulah ilmu kesudahan main
…………
Hendaklah engkau pejamkan kedua matamu
Gilang gumilang rupa[m]u
Itulah cahaya karunia Tuhanmu
Bukannya cahaya tubuh dan nyawamu
Nur yaqin sangat cahayanya
Tanda cahaya dari pada sebenarnya
Anbiya’ dan auliya’ di sanalah hari rayanya
Lailatul qadar-pun namanya
……………
Sya’ir Ma’rifat Tuanku Aluma Koto Tuo, manuskrip salinan Tuanku Isma’il. Di dalamnya terlihat filosofi yang “dalam” dari sebuah sya’ir ulama Minangkabau:
……………
Jalan syari’at sebelum hiasi
Dimana dapat jalan mengingati
Dinding yang tebal sebelum hanci
Mustahil hamba dapat badami
Siapa tuan ma’rifat hakikat
Jalan yang panjang hendaklah lipat
Halus dan kasar jangat bertekat
Siapa sanang kita melompat
Pandang muntahi bukan melangkah
Hanyalah adam sempurna fanah
Dari pada mengingati sudahlah lengah
Tiada sana kenal mengenal[lah]
Patutlah ia bernama qadim
Halus dan kasar sudahlah licin
Dihadirat Allah hanya bermain
Apa kehendak sudahlah amin
Jalan syari’at sebelum terang
Diam disana jadi belarang
Tidak siapa tempat berpegang
Hanyalah amal tempat menompang
Maqam ma’rifat bukanlah begitu
Hanyalah wahid jamaknya satu
Zhahir dan batin pandangnya satu
Tiada berlarang diam disitu
…………
Begitulah ulama tasawuf mengepresikan keindahan dalam bait-bait penuh makna. Di mana menjadi sebuah tren kehidupan Surau Minangkabau di masa lalu.