Oleh : al-Haqir Apria Putra
Ditulis berdasarkan ziarah kepada Tuanku Ali Imran Ringan Ringan, Pariaman. Senin, 19 Maret 2012.
Foto: Penulis (kanan, memakai peci) saat berbincang-bincang dengan Syekh Tuanku Amran Ringan Ringan (berpeci haji).
Pertengahan bulan maret tahun ini, saya bersama beberapa peneliti IAIN Imam Bonjol berkesempatan mengunjungi berbagai sentra pendidikan Islam tradisional di Pariaman, yang dikenal sebagai pumpunan Tarikat Syattariyyah di Minangkabau. Dimulai dari pusatnya di Tapakis, Surau Tuanku Syekh Madinah yang telah disulap menjadi mesjid gaya modern, Makam Tuanku Syekh Burhanuddin yang selalu ramai dikunjungi oleh masyarakat dari berbagai daerah, Surau Gadang Syekh Burhanuddin di Tanjuang Medan yang masih asli dengan langgam lamanya, Surau Baru Bintungantinggi yang nampak muram mengingat kejayaan masa lalu dan terakhir pondok pesantren Ringan Ringan, penjaga tradisi keilmuan surau ala Syattariyyah yang terkemuka di tanah baik, barri aman ini.
Pesantren Ringan Ringan menjadi perhatian yang sangat menarik, meski banyak lembaga tradisional berupa surau dengan sistem halaqah-nya yang tetap eksis setelah memudarnya kejayaan pendidikan Islam masa lalu di rantau ini, Ringan Ringan dapat berdiri kokoh diatas keklasikannya dan atas keteguhannya dalam ber-Syafi’i dan ber-Syathari, kesuksesannya dibuktikan dengan pelajar-pelajarnya yang cukup ramai untuk ukuran sebuah pesantren di Minang saat ini, berikut beberapa prestasi dalam bidang keagamaan yang ditorehnya. Semua itu tentu tidak terlepas dari pimpinan Tuanku Syekh yang mempunyai dedikasi keilmuan dan kharisma dalam memimpin lembaga ini. Mungkin pemakaian istilah “pesantren”, yang notabenenya ialah istilah asing (baca: jawa), non Minangkabau tentunya (sebab di Minangkabau tidak dikenal istilah pesantren kecuali beberapa dasawarsa terakhir), membuat kita mempunyai kesan bahwa lembaga ini rombakan dari tradisi lama atau menunjukkan kemodernan, tapi semua kesan itu akan berubah ketika kita mengenal lebih dalam, pesantren ini tetap menjadi basis keislaman sebagai warisan keilmuan ulama-ulama Minangkabau masa silam. Pemakaian “pesantren” tentu tidak lebih karena menuruti kehendak Departemen Agama untuk menselaraskan nama-nama lembaga pendidikan agama tradisional, yang pastinya akan melunturkan istilah-istilah khas lokal.
Memasuki area Pesantren Ringan Ringan, kita akan melihat berbagai aktifitas santri, dimana mereka berbusana layaknya orang-orang siak masa silam, berkopiah dengan cemiri melilit leher dan bersarung, mereka bercengkrama sepanjang jalan; adapula yang sedang berolahraga bagi santri-santri yunior, sedang bagi santri senior mengulang-ulang kaji dengan kitab kuning ditangan.
Sore itu menjadi berkesan, meski kami datang bukan pada jam bertamu, kami disambut baik oleh Buya Amran Ringan Ringan di ruangan beliau, meski beliau sedang sibuk berzikir dengan untaian-untaian tasbih yang tidak lepas ditangan. Keramah-tamahan, layaknya ulama-ulama silam terpatri pada pribadi buya tersebut; meski dengan penyakit tua-nya, tubuh yang telah lemah akibat usia, kondisi mata yang tidak terang lagi. Maka dibukalah pembicaraan dengan kata-kata yang mendalam, perihal amalan-amalan Tarikat Syattariyyah, mengenai Taqwim menentukan puasa Ramadhan dalam tradisi Syattariyyah, mengenai Martabat Tujuh yang sering diperkatakan dan terakhir mengenai silang sengketa antara ulama Syattariyyah saat ini perihal pemahaman-pemahaman yang berseberangan dengan Ahlus sunnah wal Jama’ah, tepatnya kecaman beliau (Buya Amran) terhadap Tuanku Abdurrazak Pakandangan, dimana faham Tuanku ini menurut hemat Buya Amran mengarah kepada Jabbariyyah.
Perlu rasanya kita tulis disini hal riwayat hidup Syekh Tuanku Ali Imran ini, jejak intelektualnya dari masa belia hingga dikenal sebagai ulama mumpuni di belahan Pariaman. Syekh Amran lahir pada tahun 1926 dari keluarga yang taat beragama, ayahnya seorang alim dari garis Tarikat Syattariyyah. Beberapa saat setelah kelahiran Amran kecil, beliau dibawa ibunya menemui Tuanku Mato Aia nan Tuo Pakandangan. Sesampainya dihadapan Tuanku Mato Aia, Amran yang kala itu masih sangat kecil dihembus oleh Tuanku Mato Aia dari ubun-ubun sampai kaki, tentu dengan bacaan do’a-do’a untuk menuai berkah bagi Amran kecil. Tuanku Mato Aia kemudian berujar kepada sang ibu, “Jagolah anak ko elok-elok, karano anak ko beko nan ka mampartahankan pangajian kito, sebab nanti ka banyak urang-urang nan ka mambatalkan pengajian kito ko” (Jagalah anakmu ini baik-baik, karena dialah yang akan mempertahankan pengajian kita [maksudnya Syattariyyah], sebab nanti akan banyak bermunculan orang-orang yang akan membatalkan pengajian ini).
Setelah itu sang ibu membawa Amran kembali pulang. Sesuai dengan wasiat Syekh Mato Aia, yang adalah salah seorang ulama Tua yang terkemuka dikalangan Ahli Tarikat Syattariyah, Amran dijaga dengan sungguh-sungguh, diasuh dengan kasih sayang yang sangat, sampai-sampai ketika Amran kecil demam saja ditangisi oleh si-Ibu, selain karena sayang yang begitu halnya, juga karena takut mengingkari amanah Syekh Mato Aia tersebut.
Lama masa ditempuh, sampailah usia Amran menginjak baligh berakal. Sebab lingkungan keluarga yang kuat beragama, pun keturunan orang-orang alim, telah membentuk karakter Amran yang cinta ilmu. Mula kecil bertunas, kemudian tumbuh beransur-ansur seiring waktu. Hingga suatu waktu gejolak jiwa hendak pergi menuntut ilmu tak tertahan lagi, meski sudah mengaji di kampung halaman, keinginan Amran lebih besar menimba ilmu ke negeri yang jauh-jauh, mencari orang-orang alim ternama. Niat menimba ilmu itu beliau utarakan kepada sang ayah, Angku Hasan. Dengan berbagai pertimbangan, sang ayah menolak memberi izin untuk keluar kampungnya. Hal ini tidak serta merta membuat Amran patah arang, karena keinginan yang begitu menggebu, beliau lewat seorang tuanku (ulama setempat), mengancam akan tidur di rel kareta api, biar dilindas dan mati, kalau tidak diizinkan buat menimba ilmu ke tempat-tempat lain di Minangkabau. Mendengar itu, sang Ayah kemudian mengizinkan, walau dengan berat hati, anak kesayangannya itu akan pergi meninggalkan kampung. Hal ini terjadi pada zaman penjajahan Jepang.
Izin telah didapat, namun kemanakah kaki hendak dilangkahkan. Berpikir-pikir Amran, kalau hendak menimba ilmu di wilayah rantau saja, kita tidak akan berkembang, karena kita juga orang rantau. Baiknya menuntut ilmu ke Darek, disamping daerah baru yang ingin dijajaki, darek juga dikenal dengan ulama-ulama terkemuka dalam lautan ilmu. Maka berangkatlah Amran menuju Darek, pedalaman Minangkabau. Adapun tempat mula Amran belajar ialah di Koto Baru, Padang Panjang, kepada salah seorang Malin yang tidak disebut lagi namanya. Sambil menuntut ilmu di Padang Panjang, beliau mencari-cari orang alim yang cocok untuk didatangi. Beberapa bulan di Padang Panjang, beliau pamit menuju nagari Mungo, yang berada di kaki Gunung Sago, untuk berkhitmat menuntut ilmu agama kepada Buya Syahidan Syarbaini (w. 1984). Di surau yang dikenal dengan nama “Surau Baburai”, Amran mengisi dada mengaji ilmu agama, menelaah Kitab Kuning kepada Buya Syahidan selama 3 tahun. Setelah itu, Amran pergi ke daerah Tiakar, Payakumbuh, sebuah perkampungan orang siak yang cukup ramai dimasa itu. Disini Buya Amran menuntut ilmu kepada Syekh Ibrahim Harun (w. 1961).
Ketika meletus peristiwa PRRI di era 1950-an, yang memaksa sekolah-sekolah agama untuk menghentikan aktifitas mengajarnya, Amran tetap mencari tempat belajar agama, sebab Madrasah Tiakar ditutup. Beliau kemudian berangkat ke Padang Japang, karena beliau dengan sebuah perguruan Agama yang cukup ternama karena pembaharuannya, yaitu Training College, yang saat itu pindah dari kota Payakumbuh. Lembaga pendidikan agama bercorak modern ini dipimpin oleh Nasharuddin Thaha, salah seorang pembaharu, minantu dari Syekh Abbas Padang Jopang. Setelah berapa lama disini, cukup menimba ilmu-ilmu umum, beliau akhirnya meneruskan menuntut ilmu ke Malalo, daerah yang banyak dihuni oleh orang-orang Alim di tepiang Danau Singkarak. Disini beliau menimba ilmu kepada salah salah satu ulama terkemuka dalam Syariat dan Tarikat, yaitu Syekh Zakaria Labai Sati Malalo al-Khalidi Naqsyabandi. Disini beliau melengkapi ilmu-ilmu beliau, tepatnya di Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Malalo yang terkenal itu, sampai beliau dipercayakan sebagai guru Tuo (guru bantu) oleh Syekh Zakaria tersebut.
Begitulah sekilas perjalanan hidup Buya Amran. Sekembali dari Malalo, yaitu setelah zaman bergolak, setelah sekian lama belajar dan mengajar, beliau pulang ke Ringan Ringan. Di kampung halamannya beliau membuka pengajian Kitab Kuning, yang kemudian menjadi cikal bakal Pesantren Nurul Yaqin Ringan Ringan.
Kepiawaian beliau dalam ilmu agama, keteguhan hati mempertahankan Ahlussunnah, konsistensi beliau mewariskan lautan ilmu dari kitab Kuning itu, membuat nama Nurul Yaqin menjadi harum, sehingga berdatanganlah orang-orang Siak dari berbagai daerah buat berkhitmat ilmu agama ke kampung ini. sampai saat ini begitulah halnya. Inilah salah satu pesantren berwibawa yang tetap teguh di ranah Minangkabau, dikala pesantren-pesantren lain telah terkontaminasi oleh modernisasi total, sehingga menghilangkan ilmu-ulmu agam itu, disaat itu Pesantren Ringan Ringan mampu menemukan momentum sebagai lembaga tradisional penjaga Ahlussunnah wal Jama’ah, tetap ber-Syafi’i dan ber-Tarikat, khususnya Tarikat Syattariyah, sebagai yang diwariskan oleh Islam Minangkabau sejak dahulunya.
Cukup singkat pertemuan saya dengan Syekh Tuanku Amran Ringan Ringan ini; meski sekejap pandangan, namun kesan yang beliau berikan begitu mendalam, lidah beliau masih fasih, ingatan beliau masih kuat, kitab itu tak lekang di dadanya, burhan (penjelasan) yang beliau uraikan sangat terang. Memang luar biasa ulama-ulama silam, ungkapku dalam hati. Itu yang amat jarang saya temui saat ini, meski saya cukup kenal dengan professor-professor bidang agama, namun sedikit dari mereka yang ilmunya di-ilmui.
Azan maghrib hampir berkumandang. Namun Syekh Amran masih bersemangat menceritakan kisah, memberi penjelasan soal-soal agama yang saya sampaikan. Saya dan tim pamit sesaat setelah itu. Setelah berjabat tangan dan menciumnya, yang kemudian beliau balas dengan senyum simpul yang sangat manis, saya beranjak meninggalkan ruangan itu, sedang beliau, Syekh Amran, kembali erat memegang tasbih. Masing terngiang-ngiang pesan beliau, “Uthlubul ilma minal mahdi ilal lahdi” (tuntutlah ilmu dari ayunan sampai ke liang lahad). Rahimahullahu ta’ala... Amin.
Ditulis di Sukamiskin, Bandung.
Minggu, 27 Mei 2012