Oleh: Yang karam dalam laut dosa, Apria Putra
Sebelum menggerakkan pena menulis ini, saya teringat 2 bait sya’ir dalam kitab Mawahib Rabbil Falaq Syarah Qashidah Bintil Mailiq buah tangan Maulana Syekh Isma’il bin Abdullah al-Khalidi Naqsyabandi Simabur al-Minangkabawi (terbitan Maktabah Islamiyah, Bukittinggi, tahun 1928). Dimana bait ini yang selalu membuat saya rindu ulama-ulama silam, membuat air mata tidak tertahan. Gubahannya ialah:
لى سادة من عزهم # أقدامهم فوق الجباه
إن لم أكن منهم فلى # فى حبهم عز و جاه
“Bagiku ada tuan-tuan,
Dimana mereka dimuliakan,
Tapak kaki mereka di atas segala dahi.
Walaupun aku bukan bagian dari mereka,
Namun mencintai mereka adalah kemuliaan dan tuah.”
Ramadhan telah diambang pintu, adalah sebuah tradisi masyarakat yang baik ketika akan memasuki Ramadhan yaitu menziarahi makam karib kerabat, untuk mendo’akan orang-orang yang mendahuluinya di hari baik dan bulan baik ini. Bagi jama’ah-jama’ah muslimin yang memiliki silsilah keilmuan, mereka melakukan ziarah ke makam ulama-ulama, para guru dan para mursyid yang telah wafat. Untuk kawasan Limapuluh kota, ada banyak pusara ulama-ulama besar, karena memang tersebut dalam sejarah penyebaran Islam bahwa kawasan ini merupakan satu diantara gudang ulama di Minangkabau dulunya.
Meskipun surau-surau besar, dimana ratusan tahun lalu menjadi sentra pendidikan Islam telah rapuh dan lapuk dimakan usia dan tak dihuni, namun kita masih beroleh bukti makam para ulama, sebagai isyarat keemasan Islam di masa lalu. Kita dapat sebutkan ulama-ulama besar itu, diantaranya Syekh Keramat nan Tuo di Taram (abad XVII), Syekh Surau Durian di Taram (Abad XIX), Syekh Abdurrahman al-Khalidi Naqsyabandi “Beliau Batu Hampar” (w. 1899), Syekh Abdullah Surau Gadang di Padang Japang (w. 1901), Syekh Muhammad Shaleh Beliau Munggu di Padang Kandih (w. 1912), Syekh Muhammad Thaha di Limbukan (w. 1916), Syekh Muhammad Arsyad Batu Hampar (w. 1924), Syekh Muhammad Sa’ad al-Khalidi di Mungka Tuo (w. 1922), Syekh Abdullah Beliau Halaban (w. 1926), Syekh Ahmad Abdullatif di Baruah Gunuang (w. 1938), Syekh Arifin Beliau Batu Hampar (w. 1939), Syekh Mudo Abdul Qadim Belubus (w. 1957), Syekh Ibrahim Harun di Tiakar (w. 1961) dan banyak lainnya, kita dapat menyebutkan ratusan nama lainnya. Mereka ulama-ulama terkemuka, sebagai suluah bendang dalam Nagari, berpitua kepada Ahlussunnah, memakai ilmu yang diibaratkan dengan dua sayap lahir dan batin. Di masa beliau hidup, namanya harum segenap negeri Minangkabau, bukan hanya di ranah kelahirannya ini, kemasyhuran mereka sampai ketanah seberang, melintasi lautan hingga tanah Malaya dan tanah suci Mekah al-Mukarramah.
Meski beberapa nama dan biografinya telah dikenal dan dicatat oleh sejarawan Islam di negeri ini, namun ada kiranya 2 ulama besar yang jarang disebut, entah dilupakan atau pun terlalu pelik untuk digali. Kedua beliau itu merupakan diantara penghulu-penghulu ulama di abad XIX di ranah Minang ini, beliau ialah Syekh Muhammad Thahir Barulak dan Syekh Muhammad Jamil Tungkar.
Sebelum Ramadhan tahun ini saya berkesempatan mengunjungi makam kedua ulama besar ini di Barulak (Tanah Datar). Kesan yang saya dapatkan sungguh menarik, baik dalam suasana dan keadaan Kubah makam beliau yang berdekatan dengan Mesjid masih menyiratkan kesejukan sebagai ciri khas surau-surau Sufi masa lalu, meski telah lewat seabad sejak kepergian beliau.
Dalam catatan Belanda, seperti Verkerk Pistorius dan Werner Kraus, disebutkan bahwa Syekh Muhammad Thahir Barulak merupakan salah seorang ulama terkemuka dan pemegang Tarikat Naqsyabandiyah terkemuka di abad XIX. Mempunyai pengaruh yang luas di pedalaman Minangkabau. Beliau, Syekh Thahir, merupakan salah seorang khalifah dari Syekh Isma’il al-Minangkabawi (w. 1857) yang terkenal itu. Namun dalam sebuah catatan silsilah Tarikat Naqsyabandiyah di Limapuluhkota disebutkan bahwa Syekh Thahir menerima dari Sulaiman al-Qarimi di Jabal Abi Qubais, dua generasi setelah Syekh Isma’il yang dimaksud. Berikut mengenai posisi beliau sebagai ulama besar di Minangkabau di masanya, disebutkan dalam naskah-naskah lama bahwa fatwa beliau diperpegangi dalam Mazhab Syafi’i dan Tarikat Naqsyabandiyah di abad XIX. Nama beliau disejajarkan dengan ulama-ulama masyhur lainnya, seumpama Syekh Jalaluddin Fakih Shaghir Cangking, Syekh Muhammad Shaleh Silungkang, Syekh Abdul Halim al-Khalidi Labuh, Syekh Mustafa al-Khalidi Sungai Pagu, Syekh Muhammad Yatim Padang dan banyak lainnya. Begitu keterangan yang kita terima dari Risalah Miftahus Shadiqiyyah fi Istilahin Naqsyabandiyah (terbitan Pulo Bomer-Padang, 1905) dan sebuah naskah tulisan tangan dari Syekh Abdul Majid Kinali Pasaman Barat.
Mengenai Syekh Muhammad Tungkar, kita mendapat informasi yang agak terang. Salah seorang keturunannya yang dapat diwawancarai di Situjuh Tungkar, menyebutkan sekilas hidup beliau tersebut. Beliau, Syekh Tungkar, merupakan salah seorang murid terutama dari Syekh Muhammad Thahir Barulak tersebut. Beliau memakai gelar adat Datuak Paduko Sirajo. Konon kabarnya, Syekh Jamil-lah yang mula-mula mendirikan jum’at di Tungkar. Setelah menimba ilmu di berbagai surau terkemuka di Minangkabau, pun telah menerima ijazah dari guru besar Syekh Muhammad Thahir Barulak, beliau kemudian mengabdikan diri untuk mengajar agama. Mulanya beliau membuka pengajian kitab di Muara Parik, disana beliau mendirikan sebuah surau yang cukup besar, 9 ruang. Masih memakai kayu-kayu-an, berdinding tadir dan beratap rumbia. Cukup banyak murid-murid yang berdatangan ke Muara Parik untuk berkhitmat mengaji agama kepada beliau. Setelah beberapa tahun, beliau pindah ke Tungkar, dan mendirikan sebuah surau pula yang agak besar. Disini beliau memapankan karirnya sebagai ulama terkemuka, dan masyhur di dataran tinggi Minangkabau. Murid-murid beliau ini tercatat sebagai ulama besar pula dikemudian hari, diantaranya yang termasyhur Maulana Syekh Abu Bakar Tabiang Pulai (w. 1988), Tuanku Syekh Abdullah Beliau Halaban dan Syekh Muhammad Sa’ad al-Khalidi Mungka Tuo. Murid-murid beliau inilah yang terkemuka berjalan dengan jalan Naqsyabandi ke daerah yang jauh-jauh di Ranah emas Minangkabau ini. begitulah sekilas riwayat yang kita terima mengenai dua ulama besar abad XIX tersebut.
Kemudian setelah beliau wafat, makamnya pun di dekat-dekatkan. Hal ini mengisyaratkan betapa eratnya bertalian “rabithah” antara guru dan murid, hingga pusaranya pun diperhampirkan di sebuah ruangan Kubah, Mesjid Taqwa Barulak.
Melihat keadaan Mesjid ini, maka tak sulit bagi kita untuk mengatakan bahwa dulunya kawasan mesid ini ialah sebuah kompleks surau yang besar. Dimana ratusan bahkan ribuan orang-orang siak mengaji agama kehadapan Syekh Thahir tersebut. Letak mesjid, sama halnya dengan tipe surau-surau Naqsyabandiyah di Darek, yaitu berada di bawah tebing, sehingga menimbulkan nuasa ketenang dan keheningan yang nyata. Meski tampak telah beberapa kali pemugaran, namun suasana hening itu masih terasa, walau zaman telah bertukar, dan Naqsyabandi itu entah dimana adanya lagi.
Ada keanehan yang dirasa, ketika memasuki mesjid itu, sekonyong-konyong dingin menusuk tulang, meski hari tengah panas terik. Walau dingin begitu, tapi menentramkan hati. Wallahu a’lam dengan yang kurasa ini.
Foto: Mesjid Taqwa Barulak,bekas Surau Tuanku Sjech Barulak
Namun disayangkan, nampak roda zaman telah mengikis nilai-nilai yang ada. Mesjid ini pastinya tak seperti dulu lagi. Tak ada regenerasi sang Syekh, tak ada tampak aktifitas Suluk Naqsyabandi sebagai dulu digembar-gemborkan, sedangkan makamnya pun tampak kurang diperhatikan. Entahpun orang-orang telah menganggap semua itu bid’ah??? Telah seperti orang-orang baru yang mengaku alim zaman sekarang, serta merta mengatakan “tidak sesuai Syari’at”??? Entahlah. Yang dilihat, nama organisasi modernism telah terpampang di Surau besar Tarikat Naqsyabandiyah ini. Hal ini sungguh membuatku pilu, membuat batin menangis, membuat air mata mengalir...
Akankah kita akan hanya mengenang sejarah yang tersuruk ini, dan tertawa dalam seminar-seminar keislaman yang dengan bangga mengatakan: “Minang ini gudang ulama!!!”, dulu, dulu sekali, kemudian terlena dengan masa lalu dalam memori kolektif, padahal kita banyak membelakangi kaji ulama-ulama silam...
Kemudian, aku membaca kembali sya’ir bertuliskan tangan, “Nazham Ziarah Kubur” karangan Haji Abdul Wahid Ketinggian, disitu didendangkan:
………
Sudah sembahyang kami ziarah,
Bersama-sama ke dalam kubah,
Dua orang mursyid dilebihkan Allah,
Maulana [Syekh] Muhammad Jamil lagi bertuah.
Maulana Muhammad Thahir pula kedua,
Hari Isnain wafatnya nyata,
Tahun seribu dua ratus tujuh puluh dua,
Demikian tersurat pada tempatnya.
Maulana Muhammad Jamil Pula diterangkan,
Tahun seribu tiga ratus sembilan,
Hari rabu dalam catatan,
Begitulah pula menurut keterangan.
Kita tulis mana yang dapat,
Untung ke kita menjadi syafa’at,
Dihari kemudian mendapat manfaat,
Selamat perjalanan dunia akhirat. (bait 9-16)